RULLY Chaerul Azwar masygul bukan kepalang. Dia tak habis pikir kenapa Ketua Partai Golkar di Bengkulu, Sulaeman Effendy, begitu ngotot ingin jadi calon anggota legislatif nomor satu. Padahal, dalam tiga kali pemilu sebelumnya, posisi itu selalu ia tempati tanpa ada yang berani mengusik. Pendek kata, kursi itu selama ini cuma buat Rully.
Sulaeman mbalelo? Itulah yang bikin pengurus Golkar di Slipi terperangah. Maklum, kecuali Akbar Tandjung yang menolak masuk daftar calon legislatif, semua pengurus teras partai berlambang beringin itu umumnya duduk nyaman di "nomor topi". Tapi malang bagi Rully. Posisi sang Wakil Sekjen sekaligus Sekretaris Departemen Pemenangan Pemilu di ujung tanduk.
Sejumlah utusan akhirnya dikirim ke Bengkulu. Misinya, membujuk Sulaeman. Tapi hasilnya nihil. Bahkan Ketua Umum Akbar Tandjung sampai harus beberapa kali mengontak langsung via telepon. Toh, hasrat Sulaeman untuk berkiprah di Senayan tak jua bisa diluluhkan. "Sampai menit-menit terakhir, pendekatan terus dilakukan, tapi beliau tak berubah sikap," kata Wakil Ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi, Yahya Zaini, kepada TEMPO.
Rully akhirnya bertengger di bawah urutan Sulaeman. Ini bisa dilihat dalam daftar calon yang diserahkan Golkar ke KPU, Senin malam di akhir Desember lalu. Meski nomor dua, peluangnya lolos ke Senayan amat tipis. Sebab, Bengkulu terbilang punya jatah sedikit, empat kursi. Pada Pemilu 1999, selain Golkar, yang berhasil meraih kursi di sana adalah PDIP, PKB, dan PAN. "Sudahlah, saya mengalah saja," kata politikus yang cukup populer ini, lemas.
Sulaeman bukan tokoh sampiran. Selain memimpin Golkar, saat ini ia men-jabat Ketua DPRD. Ia juga pernah menjadi wali kota di salah satu wilayah di Provinsi Bengkulu. Usianya pun tak muda lagi, sudah mencapai 70 tahun—uzur untuk ukuran figur legislatif. Artinya, sudah cukup makan asam-garam di politik dan birokrasi. Lalu, ada apa di balik sikap ngototnya ingin tercatat sebagai wakil rakyat di tingkat pusat?
Ada yang bercerita ihwal perlawanan Sulaeman. Menurut sumber TEMPO, ia digosok-gosok seorang tokoh penting partai yang kerap berseberangan dengan Akbar agar tetap bercokol di nomor puncak. Alih-alih untuk menutup karier politik sang kakek, agar tercatat dalam lembaran sejarah Republik. Tapi sikap ini sekaligus "mengunci" posisi Rully, yang dikenal loyal pada Akbar.
Tapi Fahmi Idris selaku Koordinator Wilayah Sumatera Barat dan Bengkulu menilai sikap Sulaeman sebagai hal manusiawi. Apalagi penempatan nomor urut calon legislatif berdasar aspirasi dari bawah. Pula, diputuskan dalam rapat partai di tingkat wilayah secara terbuka, awal Desember lalu. Rully pun turut hadir di sana. "Waktu itu dia tak ber- komentar apa-apa. Artinya kan setuju," kata Fahmi.
Nasib seperti Rully nyaris menimpa sejawatnya, Akil Mochtar dan Agun Gunandjar Sudarsa. Petinggi Golkar di Kalimantan Barat dan Ciamis, Jawa Barat, yang menjadi daerah pemilihan Akil dan Agun itu semula berkeras ingin berada di nomor satu. Beruntung alokasi kursi di sana cukup banyak. Para pengurus daerah akhirnya bersedia di- tempatkan di nomor berikutnya.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga sempat diterpa riak kecil. Pen- calonan kembali Lukman Hakiem Saefuddin, yang saat ini duduk di Komisi VI DPR, dicibir sejumlah pengurus teras partai berlambang Ka'bah itu. Lelaki yang selalu tampil necis di Senayan itu dianggap tak cukup komunikatif dalam bergaul dengan daerah konstituennya. Cabang-cabang di Jawa Tengah tak ada yang mau mencalonkannya.
Namun, Lukman Hakim tak sampai dihakimi lebih jauh. Sumber TEMPO di PPP menyebut dia punya kartu penting. Selain putra mantan Menteri Agama Saefuddin Zuhri, Lukman dekat dengan Ketua Umum Hamzah Haz. Mau tak mau pengurus wilayah bersedia mencalonkannya. "Dia jago dalam berteori, tapi mungkin tak pernah tahu wilayah binaannya di mana," sindir seorang pengurus teras PPP yang tak mau disebut namanya sambil tertawa.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tak kalah seru. Mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, A.S. Hikam, terkena getahnya. Ia terpaksa "diungsikan" ke daerah pemilihan di Cirebon, Jawa Barat, karena jauh-jauh hari segenap pengurus cabang dan wilayah PKB di Jawa Timur menolak penempatannya di wilayah tersebut. Penolakan itu disampaikan lewat memorandum hasil pertemuan di Pandaan, Pasuruan. Alasannya, Hikam, yang sebetulnya Koordinator PKB se-Pulau Jawa, dianggap perilakunya terlalu kasar dan birokratis.
Mantan Sekjen PKB, Muhaimin Iskandar, juga sempat ditampik. Saat dicalonkan di nomor satu untuk daerah pemilihan Sidoarjo dan Surabaya, ia sempat ditolak sejumlah badan otonom di bawah Nahdlatul Ulama setempat. Tapi akhirnya ia selamat. Rapat tim majelis penetapan calon yang dipimpin Ketua Dewan Syuro Abdurrahman Wahid tetap memasangnya di peringkat pertama. Kebetulan Muhaimin masih kemenakan Gus Dur.
Sekjen Saifullah Yusuf, kemenakan Gus Dur lainnya, boleh berkibar di puncak klasemen di daerah Pasuruan dan sekitarnya—yang jadi basis penting PKB. Tapi sejumlah politikus muda yang dekat dengan Saifullah belakangan harus rela ditempatkan di nomor pinggiran. Atau, kalaupun ditempatkan di nomor atas, daerah pemilihannya dilempar ke luar Jawa yang jumlah kursinya amat terbatas.
Sumber TEMPO mencontohkan Andi Muawiyah Ramly. Salah satu Ketua PKB asal Sulawesi Selatan ini semula di- unggulkan di daerah pemilihan Yogyakarta. Tapi, dari daftar yang dikirim ke KPU, dia terdepak ke Kalimantan Tengah. Wakil Sekjen Yahya C. Staquf bernasib serupa. Semula putra Wakil Ketua Dewan Syuro K.H. Cholil Bisri itu sudah diplot di daerah pemilihan tiga Jawa Tengah yang mencakup Blora, Grobogan, Rembang, dan Pati. Tapi akhirnya dia dilempar ke Kalimantan Timur.
Nomor satu di luar Jawa jelas nomor maut buat keduanya. Peluang Andi dan Yahya untuk melenggang ke DPR tergolong tipis. Sebab, pada Pemilu 1999, PKB tak meraih satu kursi pun dari kedua wilayah tersebut. Mereka yang saat ini berkantor di Senayan pun ikut terkena imbas. Ketua Komisi VI Taufikurrahman Saleh, anggota Komisi VII Rodjil Ghufron, dan Chatibul Umam Wiranu, misalnya, terancam gagal bertahan duduk di DPR karena ditempatkan sebagai calon legislatif di nomor urut bawah. Padahal pengurus wilayah Jawar Timur semula mengajukan mereka pada nomor urut jadi.
Menggusur "orang-orang Saifullah"? "Ah, itu kompetisi biasa. Yahya dan Andi justru dicarikan tempat yang lebih potensial," kata Muhaimin Iskandar. Tapi begitulah suara yang terdengar dari balik dapur partainya kaum nahdliyin ini. Oktober lalu, Saifullah disokong sejumlah kiai beken di Jawa Timur, melakukan perlawanan terhadap rencana pencopotannya selaku sekjen, meski ongkosnya mahal: frontal berhadapan dengan Gus Dur. Sang paman melihat gerak-gerik Ipul tak sesuai dengan garis partai. Tapi rapat voting elite partai memutuskan menunda tindakan atas Saiful sampai usai pemilu.
Saiful bukan tak peduli terhadap manuver itu. Masalahnya, ia bersama Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu, Khofifah Indar Parawansa, sibuk dengan persoalan administrasi dan harus melayani berbagai keluhan dari cabang-cabang. Suaranya pun kerap diveto oleh Gus Dur. "Bu Khofifah sampai nangis dengan kondisi tersebut," katanya. "Ini betul-betul zero sum game. Aspirasi daerah tak direken lagi," kata sumber TEMPO di PKB, kesal. Daerah boleh usul, Jakarta yang menentukan. Sistem politik tampaknya masih berkiblat ke pusat.
Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini