Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Survei Charta Politika yang membandingkan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY mendapat tanggapan keras dari Partai Demokrat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Renanda Bachtar mengungkapkan bahwa perbandingan kinerja Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpotensi bias dan menyesatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Orang lapar itu nyata, orang tidak punya pekerjaan juga nyata. Ini bukan masalah persepsi, tapi fakta yang nyata. Tidak bisa ditanya sekarang lebih baik daripada dulu atau tidak," kata Renanda dalam pernyataan tertulisnya pada Sabtu, 24 Desember 2022.
Menurutnya, mengukur keberhasilan kinerja pemerintah bukan berdasarkan perkataan seseorang atau via survei, tetapi berdasarkan data.
"Pakai fakta, bukan persepsi," kata Renanda melanjutkan.
Dia menilai, pengukuran kinerja pemerintah harus berbasis indikator kondisi fundamental ekonomi secara faktual. Seperti berapa pertumbuhan ekonomi, bagaimana angka dan rasio pengangguran, tingkat inflasi, neraca pembayaran, kekuatan fiskal, makro - mikro ekonomi, kekuatan cadangan devisa, debt to GDP ratio, dan lain-lain.
"Sekali lagi, jangan mendagangkan persepsi untuk memuja-muji pemerintah demi tujuan dan kepentingan politik," ujar Renanda.
Kemudian, katanya, jika ingin membandingkan dapat dihitung dengan angka penurunan orang miskin selama 10 tahun era SBY yang tercatat hampir 6 persen poin. Sedangkan era Jokowi, dalam 5 tahun pertama hanya mampu mengurangi 1 persenan poin. Bahkan pada periode ke-2 pemerintahan, penurunan tingkat kemiskinan di era Jokowi makin kedodoran.
"Fakta, bukan persepsi," katanya.
Tidak hanya itu, terdapat juga indikator ekonomi baik makro maupun mikro, seperti APBN pada era SBY yang dapat ditingkatkan 4 kali lipat, dari 400-an triliun saat hand over dari era Megawati, menjadi 1.800-an di era SBY. Dibandingkan era Jokowi, bahkan sebelum pandemi, selama lima tahun memerintah hanya mampu naik 400-an triliun.
"Ini kita pakai angka sebelum pandemi saja, karena kalau setelah pandemi makin jauh jaraknya," ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengutarakan bahwa era Pemerintahan SBY jauh lebih baik dalam mengelola ekonomi negeri ini. Jauh lebih baik dalam memastikan kemiskinan dan pengangguran yang turun drastis.
Menurut Renanda, pencapaian kinerja ekonomi nasional era SBY merupakan hasil dari keseriusan kebijakan atau politik anggaran SBY yang berhasil mengelola dan mengkapitalisasi peluang yang ada. Faktanya lagi, SBY berhasil melewati badai krisis ekonomi yang menerpa Indonesia pada 2008 dan situasi ekonomi yang tidak mudah di 2012.
Pada era Jokowi, pemerintah melarang ekspor dan membuat belasan juta petani sawit nasional menderita saat booming harga kelapa sawit dunia.
"Jangan salahkan situasi ekonomi dunia, kalau situasi ekonomi dunia lagi bagus dan bisa menguntungkan kita, tapi pemerintah sekarang malah memilih kebijakan yang merugikan rakyat," tuturnya.
Oleh karena itu, survei yang membandingkan 8 tahun kinerja Jokowi dengan 10 tahun pemerintahan SBY, terlebih dengan basis persepsi, amat sangat berpotensi bias dan menyesatkan.
Hal ini juga harus diukur dengan pencapaian kinerja Jokowi pada 2023 dan 2024 nanti. Dengan kondisi fundamental ekonomi negara yang tidak menggembirakan saat ini, situasi ekonomi bisa semakin memburuk ke depan.
"Walhasil, capaian kinerja Jokowi bisa semakin terpaut jauh dengan pencapaian di era SBY. Proyek penggiringan opini ini juga harus dihentikan. Jangan dijadikan pembenaran dari ketidakbecusan pemerintah mengelola ekonomi," ujarnya.
Sebelumnya, lembaga survei Charta Politika merilis hasil survei terkait pandangan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi dengan era SBY. Hasilnya, 47,5% responden menganggap pemerintahan Jokowi lebih baik ketimbang era SBY.
Survei yang digelar pada 8-16 Desember 2022 itu dilakukan dengan wawancara tatap muka secara langsung menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 1.220 responden yang tersebar di 34 provinsi. Sampel dipilih menggunakan metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ± 2,83% pada tingkat kepercayaan 95%.
NESA AQILA