Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa ia akan bertemu dengan Presiden ke-5 RI dan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, sebelum pelantikannya pada 20 Oktober 2024. Meski demikian, Prabowo belum memberikan informasi lebih lanjut mengenai tanggal pasti pertemuan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Insyaallah (akan bertemu). Mudah-mudahan sebelum pelantikan," kata Prabowo saat ditemui di kompleks gedung DPR, Selasa, 1 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara, Arifki Chaniago, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan PDIP untuk menjadi oposisi atau bergabung dalam koalisi, terutama terkait wacana pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.
Pertemuan ini muncul kurang dari dua minggu sebelum pelantikan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Rencana tersebut dianggap sebagai sinyal bahwa PDIP mungkin bergabung dalam pemerintahan baru.
Arifki menambahkan bahwa PDIP memiliki daya tawar politik untuk memilih posisinya, baik di dalam maupun di luar kekuasaan, dan telah terbukti sebagai oposisi yang kritis selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Lalu, bagaimana dengan gaya PDIP selama menjadi oposisi di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Dalam disertasinya, Tuswoyo menyatakan bahwa setelah kalah dalam Pileg dan Pilpres 2004, Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan PDIP sebagai partai oposisi dan melarang kadernya bergabung dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK). PDIP kemudian merumuskan Format Oposisi yang menekankan kritik terhadap kinerja pemerintah yang merugikan rakyat, serta menawarkan alternatif yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai partai oposisi, PDIP tidaklah baru; sejak awal berdirinya, partai ini selalu berhadapan dengan rezim Orde Baru yang menolak keberadaan oposisi. Namun, saat memegang tampuk kekuasaan, PDIP juga menerapkan orientasi liberal yang sama dengan SBY-JK. Tuswoyo mencatat bahwa untuk menjadi oposisi yang efektif, partai harus memiliki justifikasi ideologi yang berbeda dari pemerintah, agar dapat mengoreksi kebijakan penguasa.
Setelah kritik terhadap kesamaan ideologi, PDIP menyusun kembali Format Oposisi yang menekankan kepentingan rakyat kecil dan menjelaskan pergeseran orientasi ideologinya dari liberal ke ekonomi nasionalistik, sebagaimana ditetapkan dalam Kongres Kedua PDIP di Bali pada 2005. Dalam konteks ini, PDIP berusaha mengedepankan peran negara dalam ekonomi untuk mencegah dominasi asing yang dapat mengancam kedaulatan bangsa.
Dengan mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, PDIP berkomitmen untuk menegakkan prinsip-prinsip yang mengatur perekonomian negara. Ketika kebijakan pemerintah dinilai tidak sesuai, PDIP akan mempertanyakannya. Namun, pertanyaan muncul apakah posisi oposisi ini benar-benar berkontribusi pada institusi parlemen atau hanya meningkatkan daya tawar dalam politik.
Meskipun banyak skeptisisme terhadap keputusan PDIP menjadi oposisi, perubahan pandangan publik terjadi seiring laporan kegiatan oposisi PDIP. Penolakan terhadap kebijakan kontroversial seperti penetapan ExxonMobil sebagai operator Blok Cepu dan kenaikan harga BBM menunjukkan konsistensi PDIP dalam melawan kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat dan tidak nasionalistis, sehingga memperoleh dukungan masyarakat.
“Tak menutup kemungkinan hal itu terjadi lagi di era Prabowo, jika PDIP memilih sikap sebagai oposisi total,” kata Arifki lewat keterangan tertulis kepada Tempo, Jumat, 27 September 2024.
Arifki Chaniago menilai bahwa masuknya PDIP ke pemerintahan Prabowo tentu bakal menambah kekuatan politik pemerintah, terutama di parlemen. Posisi PDIP sebagai pemenang pemilihan legislatif 2024 menjadi kekuatan untuk berperan sebagai “oposisi” yang kritis terhadap pemerintah.
MYESHA FATINA RACHMAN I EKA YUDHA SAPUTRA I NANDITO PUTRA I HENDRIK KHOIRUL MUDHID