BANYAK peristiwa penting terjadi sebelum Presiden Soeharto
membawakan pidato RAPBN 1980/1981 di sidang paripurna DPR Senin
pagi lalu. Di hadapan ekonomi dunia yang masih penuh
ketidak-pastian, setelah serangkaian kenaikan harga minyak,
wajah ekonomi Indonesia nampak tak semuram tahun lalu tahun
Kenop. Sebaliknya, RAPBN yang dikemukakan Presiden 7 Januari itu
banyak mencatat kemajuan ekonomi.
Naiknya tak kepalang tanggung, sampai 52,2% dibanding APBN
1979/1980, menjadi Rp 10.556,9 milyar. Unsur yang paling penting
di balik kenaikan yang cukup besar itu, seperti sudah diduga,
datang dari penerimaan minyak. Harga minyak, primadona setiap
RAPBN, telah naik 7 kali selama 1979. Kalau kenaikan terakhir
per 1 Januari lalu dimasukkan, maka harga minyak sejak awal
tahun lalu itu telah meningkat lebih 100%.
Penerimaan dari minyak diperkirakan akan meliputi 71% dari
seluruh penerimaan dalam negeri, dibanding 61% pada APBN
sebelumnya. Adapun penerimaan dalam negeri ditaksir akan naik
RI 3.614,8 milyar menjadi Rp 9.055,3 milyar. Akan tetapi dari
kenaikan itu sekitar Rp 3.085 milyar atau 84% berasal dari
kenaikan penerimaan minyah juga.
Was-was
Penerimaan dari sektor minyak sendiri akan meningkat 92,2%
menjadi Rp 6.430,1 milyar. Suatu perkiraan yang konservatif,
atau dalam kata-kata Menteri Pertambangan dan Energi Subroto
"amat berhati-hati." Sama halnya dengan tahun lalu kali inipun
tingkat kenaikan harga minyak diperkirakan cuma di seputar 10%
dari harga terakhir yang US$ 27,50 per barrel.
Selain asumsi kenaikan harga yang 10% itu, konsumsi BBM di dalam
negeri diperkirakan naik 12%. Atas dasar asumsi itu dan akan
adanya penyesuaian harga BBM pada tahun anggaran 1980/1981, maka
subsidi BBM itu diperkirakan akan mencapai Rp 828,3 milyar.
Dengan kata lain 41% lebih tinggi dari jumlah subsidi BBM dalam
APBN 1979/1980. Menurut Nota Keuangan RAPBN 1980/1981, andaikata
harga BBM itu tak dinaikkan, maka jumlah subsidi BBM akan
menelan Rp 1.247,7 milyar.
Agaknya, menggelembungnya angka angka subsidi itulah yang
membuat Menteri Keuangan Ali Wardhana merasa waswas. Seusai
pidato Presiden, Ali Wardhana berkata "Untuk pertama kalinya
dalam sejarah RAPBN selama 15 tahun ini, subsidi BBM melebihi
pencicilan hutang-hutang luar negeri." Pos bunga dan cicilan
hutang luar negeri naik dengan 24,7%, menjadi Rp 745,3 milyar.
Sekalipun ditambah bunga dan cicilan hutang dalam negeri yang
meningkat dari Rp 9,2 milyar menjadi Rp 25 milyar, toh subsidi
untuk BBM itu masih lebih tinggi.
Penyesuaian harga BBM bisa merupakan masalah yang pelik. Di satu
pihak memang sulit untuk mempertahankan harga BBM pada tingkat
sekarang di saat harga minyak itu sendiri sudah meningkat 88,2%
dalam setahun. Di lain pihak pemerintah tentu akan bertindak
hati-hati sekali sebelum memutuskan menaikkan harga BBM tahun
anggaran mendatang merupakan tahun menjelang Pemilu.
Tapi yang amat menarik di samping penerimaan minyak, adalah
pajak ekspor. Pos tersebut membubung dengan 110,7%, dari Rp
172,8 milyar dalam APBN 1979/1980, menjadi Rp 364,1 milyar
dalam RAPBN sekarang. Beberapa pengamat beranggapan ini
merupakan indikasi jenis bahan ekspor yang kena pajak akan
diperluas, atau mungkin juga tarip pajaknya itu sendiri akan
dinaikkan. Mungkin pemerintah merasa perangsang untuk ekspor
sudah cukup diberikan sejak Kenop-15, dan sekarang ekspor sudah
memiliki landasan yang cukup kokoh, hingga beberapa keringanan
sudah bisa ditarik kembali.
Kalau dilihat dari perkembangan nilai ekspor kayu gelondongan,
peningkatannya cukup keras, mencapai 81,8%. Yaitu dari US$ 669,9
juta pada Januari-September 1978, menjadi US$ 1.217,7 juta pada
periode yang sama tahun berikutnya. Sayangnya, meroketnya nilai
ekspor kayu itu tak disertai dengan penurunan areal yang
ditebang. Volume ekspor kayu gelondongan itu selama
Januari-September 1978 mencapai 11.516. 600 ton, tapi dalam
periode sama tahun 1979 menjadi 11.823.400 ton, naik 2,7%.
Jan de Koning
Dunia usaha tak terlewatkan. Selama 1979 berbagai tarif pajak
perseroan dan pajak penjualan diturunkan. Demikian pula selama
rencana anggaran yang baru ini. Maka jumlah wajib pajak
perseroan, yang di akhir 1979 tercatat, sebanyak 34.000
perusahaan diharapkan bisa bertambah dengan adanya berbagai
keringanan itu. Atas dasar harapan itulah pemerintah optimis
pajak perseroan akan naik 44,3% menjadi Rp 329 milyar.
Semua pos penerimaan boleh dibilang baik. Kecuali pajak
penjualan yang turun 9,1% menjadi Rp 251,8 milyar. Tapi pajak
pendapatan yang tarifnya diturunkan setiap tahun, kali ini akan
naik 20% menjadi Rp 174,1 milyar.
Bagaimana dengan penerimaan pembangunan yang seluruhnya berasal
dari bantuan luar negeri? Ternyata tak banyak berbeda dengan
yang dicapai dalam APBN 1979/1980, yakni Rp 1.501,6 milyar.
Kalau Ketua IGGI Jan de Koning jadi ke Indonesia minggu ini, dia
pasti akan gembira. Penerimaan bantuan luar negeri sebagai
bagian penerimaan dalam negeri yang cukup besar, ternyata turun
dari 22% pada APBN 1979/1980 menjadi 14% saja. Kekurangannya
pasti akan diimbangi dengan uang yang diterima dari ekspor
minyak.
Patut dicatat dari anggaran pembangunan yang Rp 5.027,7 milyar
itu, sejumlah 70,1% akan berasal dari tabungan pemerintah
sendiri. Yaitu sisa penerimaan pemerintah dari dalam negeri
setelah digunakan untuk belanja rutin. Bagian ini adalah
jumlah yang paling tinggi sejak APBN 1974/1975 lalu.
Gemuruh
Bisa dimengerti kalau Ketua DPR Daryatmo tersenyum lebar ketika
Presiden sampai pada puncak acara pidatonya: tentang gaji
pegawai negeri Ketua DPR telah dihimbau agar itu dinaikkan.
Dalam pidato yang 56 halaman dan memakan 2 jam, Presiden di
depan hampir 400 anggota DPR dan undangan mengumumkan
"permintaan Ketua DPR dikabulkan." Dan tepuk tangan pun
bergemuruh ketika Presiden menyatakan gaji pegawai negeri dan
pensiun akan dinaikkan sebanyak 50% menjadi Rp 1.503,4 milyar.
Dibanding APBN 1979/1980, pengeluaran untuk gaji dan pensiun ini
naik Rp 501 milyar. Kalau dipukul rata, itu berarti kenaikan
sekitar Rp 16.000 sebulan untuk setiap pegawai negeri.
Kenaikan yang menyolok pada pcngeluaran rutin juga terlihat pada
subsidi pangan, yang diperkirakan naik 107%, menjadi Rp 169,7
milyar. Ini menunjukkan bukan saja impor beras masih terus
diperlukan pada tingkatnya sekarang ini. Tapi juga menunjukkan
harga beras di luar negeri terus meningkat, akibat inflasi
dunia, dan berkurangnya persediaan. Dalam pengeluaran rutin ini
juga tercatat pengeluaran untuk Pemilu yang disediakan Rp 16,5
milyar.
Pengeluaran pembangunan yang dibiayai oleh tabungan pemerintah
sendiri pada RAPBN 1980/'81 ternyata mempunyai skala prioritas
yang sedikit lain dengan APBN sebelumnya. Kali ini sektor
pendidikan yang memperoleh anggaran Rp 525 milyar atau 15% dari
seluruh anggaran pembangunan merupakan sektor yang mendapat
prioritas, disusul sektor pertanian (14%), lalu sektor
perhubungan dan pariwisata (11%).
Sektor yang mendapat prioritas bantuan proyek dari luar negeri
adalah perhubungan dan pariwisata (21,7%), pertambangan dan
energi (21,2%), pertanian dan pengairan (15,5%) dan sektor
industri (13,3%). Sektor tenaga kerja dan transmigrasi hanya
mendapat anggaran Rp 30 milyar atau hanya 2% dari seluruh
bantuan proyek luar negeri. Padahal transmigrasi kini dianggap
sebagai hal yang paling kritis yang bisa menentukan pemerataan
penduduk dan kemakmuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini