SEJAK menjabat Menteri Luar Negeri, November lalu, Tony Street
banyak bepergian. Prioritasnya ialah perjalanan ke berbagai
negara ASEAN dan Asia. Dan pekan lalu ia memerlukan hadir dan
berbicara di National Press Club, Canberra, menyampaikan kesan
perjalanannya. Di situ tak banyak tepuk tangan untuknya. Bahkan
para wartawan Australia yang hadir membuat sang Menlu hampir
terpojok, terutama dalam soal hubungan dengan Indonesia.
Kebetulan pemberitaan koran Australia sedang diramaikan oleh
kasus Peter Rodgers, wartawan Sydney Morning Herald dan bekas
diplomat di Indonesia. Rodgers terpaksa berangkat meninggalkan
Indonesia akhir pekan lalu, setelah permohonannya memperpanjang
visa ditolak.
Di atas kertas, Rodgers tidak disuruh pergi. Tapi kesan umum di
pers Australia, dia merupakan wartawan Australia terakhir yang
"diusir" dari Indonesia. Apa dosanya? Rodgers sendiri merasa
tidak diberitahu secara resmi. Dia menduga, katanya, pemerintah
Indonesia merasa tersinggung oleh pemberitaannya terutama
foto-foto, tentang Timor Timur. Tahun 1979, ia pernah
mengunjungi provinsi ke-27 itu yang diberitakannya sedang
mengalami kelaparan.
"Saya merasa heran," kata seorang wartawan di klub tadi, "kenapa
anda membisu tentang pengusiran wartawan Australia dari
Indonesia?" Memang Street tak sepatah pun menyebut soal ini
dalam pidatonya. Terbukti lagi, sambung penanya tadi, sikap
Austraiia yang merangkak-rangkak (crawling) terhadap Indonesia.
Crawling itu semula dilihat mereka ketika pemerintahan Fraser
mencoba mengambil tindakan hukum untuk membungkam pers dalam hal
Timor Cables (kawat-kawat dari Timor), yang dimuat suatu buku
kontroversial berjudul Documents on Australian Defence and
Foreign Policy (dokumen pertahanan dan politik luar negeri
Australia). Dalam hal ini pemerintahan Fraser menenggang
perasaan Jakarta. Integrasi Timor Timur dengan Indonesia
dianggapnya suatu kenyataan yang tak perlu diributkan lagi.
Namun pers Australia -- seakan-akan belum mau menerima
kenyataan ini, hingga segi negatif mengenai Timor Timur tetap
mendapat tempat pemberitaan mereka.
Street rupanya berkepala dingin. "Sudah ada pernyataan
pemerintah Australia yang menyesalkan sikap pemerintah Indonesia
karena tidak memperpanjang visa untuk Rodgers," katanya.
Kedutaan besar Australia di Jakarta, katanya lagi, sudah
diinstruksikan supaya meminta pemerintah Indonesia meninjau
kembali keputusannya. Namun suasana di klub itu tak puas karena
Street tak memprotes.
Dutabesar Thomas K. Critchley waku itu sedang berkemas dan
sibuk pamitan selama lebih dua tahun bertugas di Jakarta, dubes
Australia itu populer sekali. Banyak temannya. Critchley cukup
berperan dalam masa revolusi Indoesia, tahun 1940-an, ketika ia
mewakili Indonesia dalam Komisi Tiga Negara. Peranannya dulu
yang dianggap pro kemerdekaan Indonesia masih dikenang.
Critchley belakangan ini tampak berhasil menjaga hubungan baik
Australia-Indonesia (lihat box). Namun sebagian wartawan
Australia menganggapnya terlalu lembut terhadap pemerintah
Indonesia. Critchley memang dihadapan pada soal visa untuk
wartawan Radio Australia tahun lalu, sebelum kasus Rodgers.
Ketika ia tiba tahun 1978, ada empat wartawan berkebangsaan
Australia di Jakarta. Kini tak satu pun.
Sedikitnya 15 wartawan Australia yang mewakili pers negara
kanguru itu di seluruh Asia. "Saya akan khawatir," kata Street,
jika pemberitaan kawasan Asia oleh wartawan Australia sendiri
"jadi berkurang." Sekarang itu berkurang, terutama
pemberitaannya dari Indonesia.
"Jika visa bagi wartawan Australia terus dipersulit," kata
seorang diplomat Australia di Jakarta, "mungkin kalangan pers
Australia makin galak mengritik. Akibatnya, mungkin timbul
reaksi anggota parlemen, dan pihak resmi terpaksa melayaninya.
Hingga mungkin pula Menlu Street mengucapkan sesuatu yang
semestinya tak perlu tapi bisa menimbulkan salah pengertian
Indonesia."
Frederick Rawdon Dalrymple telah ditunjuk menggantikan Dubes
Critchley. Soal visa untuk wartawan Australia diduga akan jadi
prioritas tugasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini