Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Disukai Karena Visa

Wartawan Sydney Morning Herald, Peter Rodgers meninggalkan Indonesia setelah permohonannya memperpanjang visa ditolak, merupakan wartawan Australia terakhir yang diusir dari Indonesia. (nas)

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK menjabat Menteri Luar Negeri, November lalu, Tony Street banyak bepergian. Prioritasnya ialah perjalanan ke berbagai negara ASEAN dan Asia. Dan pekan lalu ia memerlukan hadir dan berbicara di National Press Club, Canberra, menyampaikan kesan perjalanannya. Di situ tak banyak tepuk tangan untuknya. Bahkan para wartawan Australia yang hadir membuat sang Menlu hampir terpojok, terutama dalam soal hubungan dengan Indonesia. Kebetulan pemberitaan koran Australia sedang diramaikan oleh kasus Peter Rodgers, wartawan Sydney Morning Herald dan bekas diplomat di Indonesia. Rodgers terpaksa berangkat meninggalkan Indonesia akhir pekan lalu, setelah permohonannya memperpanjang visa ditolak. Di atas kertas, Rodgers tidak disuruh pergi. Tapi kesan umum di pers Australia, dia merupakan wartawan Australia terakhir yang "diusir" dari Indonesia. Apa dosanya? Rodgers sendiri merasa tidak diberitahu secara resmi. Dia menduga, katanya, pemerintah Indonesia merasa tersinggung oleh pemberitaannya terutama foto-foto, tentang Timor Timur. Tahun 1979, ia pernah mengunjungi provinsi ke-27 itu yang diberitakannya sedang mengalami kelaparan. "Saya merasa heran," kata seorang wartawan di klub tadi, "kenapa anda membisu tentang pengusiran wartawan Australia dari Indonesia?" Memang Street tak sepatah pun menyebut soal ini dalam pidatonya. Terbukti lagi, sambung penanya tadi, sikap Austraiia yang merangkak-rangkak (crawling) terhadap Indonesia. Crawling itu semula dilihat mereka ketika pemerintahan Fraser mencoba mengambil tindakan hukum untuk membungkam pers dalam hal Timor Cables (kawat-kawat dari Timor), yang dimuat suatu buku kontroversial berjudul Documents on Australian Defence and Foreign Policy (dokumen pertahanan dan politik luar negeri Australia). Dalam hal ini pemerintahan Fraser menenggang perasaan Jakarta. Integrasi Timor Timur dengan Indonesia dianggapnya suatu kenyataan yang tak perlu diributkan lagi. Namun pers Australia -- seakan-akan belum mau menerima kenyataan ini, hingga segi negatif mengenai Timor Timur tetap mendapat tempat pemberitaan mereka. Street rupanya berkepala dingin. "Sudah ada pernyataan pemerintah Australia yang menyesalkan sikap pemerintah Indonesia karena tidak memperpanjang visa untuk Rodgers," katanya. Kedutaan besar Australia di Jakarta, katanya lagi, sudah diinstruksikan supaya meminta pemerintah Indonesia meninjau kembali keputusannya. Namun suasana di klub itu tak puas karena Street tak memprotes. Dutabesar Thomas K. Critchley waku itu sedang berkemas dan sibuk pamitan selama lebih dua tahun bertugas di Jakarta, dubes Australia itu populer sekali. Banyak temannya. Critchley cukup berperan dalam masa revolusi Indoesia, tahun 1940-an, ketika ia mewakili Indonesia dalam Komisi Tiga Negara. Peranannya dulu yang dianggap pro kemerdekaan Indonesia masih dikenang. Critchley belakangan ini tampak berhasil menjaga hubungan baik Australia-Indonesia (lihat box). Namun sebagian wartawan Australia menganggapnya terlalu lembut terhadap pemerintah Indonesia. Critchley memang dihadapan pada soal visa untuk wartawan Radio Australia tahun lalu, sebelum kasus Rodgers. Ketika ia tiba tahun 1978, ada empat wartawan berkebangsaan Australia di Jakarta. Kini tak satu pun. Sedikitnya 15 wartawan Australia yang mewakili pers negara kanguru itu di seluruh Asia. "Saya akan khawatir," kata Street, jika pemberitaan kawasan Asia oleh wartawan Australia sendiri "jadi berkurang." Sekarang itu berkurang, terutama pemberitaannya dari Indonesia. "Jika visa bagi wartawan Australia terus dipersulit," kata seorang diplomat Australia di Jakarta, "mungkin kalangan pers Australia makin galak mengritik. Akibatnya, mungkin timbul reaksi anggota parlemen, dan pihak resmi terpaksa melayaninya. Hingga mungkin pula Menlu Street mengucapkan sesuatu yang semestinya tak perlu tapi bisa menimbulkan salah pengertian Indonesia." Frederick Rawdon Dalrymple telah ditunjuk menggantikan Dubes Critchley. Soal visa untuk wartawan Australia diduga akan jadi prioritas tugasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus