Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH sedang mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi soal penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pembelajaran diperlukan karena MK belum menyatakan waktu pemberlakuan putusan tersebut.
“Di lain sisi nanti pemerintah tentu juga akan berkoordinasi terkait hal tersebut, karena saya belum membaca lengkap,” kata Supratman saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Meski demikian, dia menegaskan pemerintah tetap berpandangan putusan MK bersifat final dan mengikat. Dia mengatakan biasanya MK menentukan waktu berlaku putusan. Namun, pada putusan mengenai presidential threshold itu, dia menuturkan MK belum menentukannya.
Politikus Partai Gerindra itu menegaskan pihaknya tidak mempersoalkan isi putusan tersebut, tetapi hanya melihat saat ini MK benar-benar menghapus presidential threshold, berbeda dengan putusan sebelumnya yang menurunkan ambang batas.
“Tapi apa pun putusan MK karena sifatnya final dan mengikat, kami akan mengkaji, melakukan kajian kapan mulai berlakunya. Nah MK saya lihat belum memutuskan itu,” tuturnya.
Karena itu, Supratman menuturkan Kementerian Hukum (Kemenkum) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengomunikasikan putusan MK itu dengan penyelenggara pemilihan umum.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga akan membahas putusan tersebut dalam perubahan Undang-Undang (UU) Pemilu. Sebab, kata dia, pada akhirnya apabila putusan itu berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, maka akan ada suatu perubahan UU maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), sehingga semuanya akan diselaraskan.
Mengenai dampak putusan MK itu, dia mengaku belum bisa mengatakan apakah putusan itu akan berdampak positif atau tidak karena setiap putusan yang diambil pasti akan memiliki dampak terhadap proses demokratisasi.
“Tetapi secara umum pemerintah, terutama Kemenkum, menganggap putusan itu harus kami hormati, pemerintah dalam posisi menghargai putusan tersebut," ucap mantan Ketua Badan Legislasi DPR itu.
Wamendagri Bima Arya: Omnibus Law Politik Merujuk Putusan MK
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan revisi UU Pemilu dan Pilkada dalam undang-undang sapu jagat atau omnibus law politik akan merujuk putusan MK tentang presidential threshold.
“Proses revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada pun pembahasannya harus merujuk kepada semangat putusan MK ini. Misalnya, termasuk dengan syarat threshold (ambang batas) pencalonan bagi kepala daerah, pemilihan langsung atau melalui DPRD,” kata Bima saat dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Wali Kota Bogor periode 2019-2024 itu juga memastikan Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah akan berkomunikasi dengan Komisi II DPR RI mengenai putusan MK itu.
“Iya, kan memang kami akan segera mulai pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada,” ujarnya.
Sebelumnya, MK telah memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.
Dalam konteks tersebut, Mahkamah menilai gagasan penyederhanaan partai politik dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan bentuk ketidakadilan.
Selanjutnya, MK mempelajari arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon. Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.
Karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
Perkara tersebut dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
M. Raihan Muzzaki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Respons Polri atas Banding Polisi yang Dipecat dalam Kasus DWP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini