Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
DPR kini berwenang mencopot pimpinan lembaga negara lewat perubahan tata tertib.
Tata tertib DPR seharusnya hanya mengikat internal, bukan lembaga lain.
Perubahan tata tertib DPR dibahas secara kilat dalam satu hari.
ANGGOTA Badan Legislasi menerima undangan secara mendadak untuk menghadiri rapat pleno lembaganya, Senin siang, 3 Februari 2025. Undangan lewat aplikasi perpesanan WhatsApp tersebut tak disertai penjelasan agenda rapat yang akan dibahas. Akibatnya, banyak anggota Baleg yang tak mengetahui agenda pembahasan lembaganya tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka hanya diminta menghadiri rapat pleno di ruang rapat Baleg, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada pukul 15.00, di hari yang sama. Karena digelar mendadak, hanya separuh dari total 90 anggota Baleg yang menghadirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat itu, Ketua Baleg Bob Hasan baru menjelaskan agenda rapat, yaitu pengambilan keputusan mengenai rencana revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Dua anggota Baleg mengatakan rapat pleno itu diwarnai beberapa kali pertanyaan dari anggota Dewan. “Sebagian anggota Baleg mempertanyakan motif perubahan tata tertib itu,” kata seorang anggota Baleg, Kamis, 6 Februari 2025.
Beberapa anggota Baleg merasa kurang puas atas penjelasan dalam rapat. Akhirnya, mereka meninggalkan rapat pleno tersebut. Meski begitu, Badan Keahlian DPR tetap memaparkan kajiannya mengenai revisi tata tertib lembaganya itu.
Kajian Badan Keahlian itu tak jauh berbeda dengan permintaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), yang sampai ke pimpinan DPR pada Senin pagi itu. Dalam surat MKD Nomor B/33/PW.01/01/2025 yang ditandatangani oleh Nazaruddin Dek Gam, MKD mengusulkan penambahan Pasal 228A dalam tata tertib DPR.
Pasal 228A terdiri atas dua ayat yang berisi ketentuan bahwa DPR dapat mengevaluasi secara berkala calon pimpinan lembaga negara yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna Dewan. Lalu hasil evaluasi komisi akan disampaikan ke pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pertimbangan MKD mengusulkan penambahan Pasal 228A itu karena ada peristiwa hukum yang melibatkan beberapa pejabat negara hasil uji kelayakan di DPR serta untuk menjaga kehormatan Dewan.
Saat diminta konfirmasi, anggota DPR dari Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, mengatakan anggota Baleg memang pernah mengingatkan bahaya muatan revisi Peraturan DPR tentang Tata Tertib tersebut. Meski begitu, penambahan Pasal 228A tetap dilakukan.
Anggota Baleg dari Partai Golkar, Firman Soebagyo, juga mengakuinya. “Memang banyak anggota Baleg yang mempertanyakan,” kata Firman, Kamis, 6 Februari 2025.
Beberapa anggota Baleg mengatakan perubahan tata tertib lembaganya itu mengikuti arahan pimpinan DPR. Arahan pimpinan DPR ini disampaikan ke Baleg seusai rapat konsultasi pengganti rapat Badan Musyawarah. Rapat konsultasi ini merupakan respons atas permintaan MKD untuk merevisi Peraturan DPR tentang Tata Tertib.
Rapat konsultasi itu yang memutuskan agar Badan Keahlian mengkaji usulan perubahan tata tertib dari MKD serta meminta Baleg membahas revisi tersebut. Rapat konsultasi itu juga memutuskan perubahan tata tertib DPR harus disegerakan agar dapat diagendakan pengesahannya dalam rapat paripurna DPR terdekat, yaitu pada Selasa, 4 Februari 2025.
Meski terjadi perdebatan, rapat pleno Baleg akhirnya menyepakati usulan penambahan satu pasal dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib. Semua fraksi di Baleg menyetujuinya. Baleg lantas menyerahkan hasil pleno itu ke pimpinan DPR. Selanjutnya, rapat paripurna Dewan yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengesahkan hasil revisi tata tertib tersebut, Selasa lalu.
Keinginan mengevaluasi pimpinan lembaga negara ini, khusus hakim Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya sudah menggelinding sejak 2022. Saat itu, Komisi III DPR mencopot Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. Aswanto adalah anggota Mahkamah Konstitusi yang dipilih oleh DPR.
Saat itu Wakil Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto beralasan bahwa pencopotan Aswanto dilakukan karena kinerjanya mengecewakan. Ia mengatakan Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi pilihan DPR kerap menganulir undang-undang yang disahkan oleh DPR. Politikus PDI Perjuangan itu juga menyebutkan Aswanto tak memiliki komitmen terhadap DPR.
Dua tahun berselang, Ketua Komisi Bidang Pemerintahan DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi karena mengerjakan banyak urusan yang bukan kewenangannya.
Doli mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Ia menilai putusan MK itu masuk ke urusan teknis yang melampaui batas kewenangannya.
“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan," kata politikus Partai Golkar ini pada 29 Agustus 2024.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 4 Februari 2025. TEMPO/Hammam Izzuddin
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang dimintai konfirmasi belum menjawab pertanyaan Tempo mengenai perintah pimpinan Dewan untuk segera menuntaskan pembahasan revisi tata tertib DPR dalam satu hari.
Sebelumnya, ia mengatakan tidak ada hal yang mendesak dalam revisi tata tertib lembaganya yang mengharuskan adanya perubahan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3). Undang-undang ini mengatur kedudukan serta tugas, fungsi, dan kewenangan DPR.
Ketua Harian Partai Gerindra itu juga menyangkal peluang DPR bisa cawe-cawe ke lembaga negara lain dengan berpijak pada hasil revisi tata tertib tersebut. “Bukan melakukan evaluasi menyeluruh yang kemudian dibilang untuk melampaui kewenangan lembaga lain. Tidak begitu,” kata Dasco, Kamis, 6 Februari 2025.
Dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai hasil revisi Peraturan DPR tentang Tata Tertib itu menjadi indikasi kuat bahwa legislator di Senayan tidak memahami konteks ketatanegaraan. Ia berpendapat alasan MKD mengusulkan penambahan Pasal 288A dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib tidak masuk akal.
Ia mengatakan, secara prinsip perundang-undangan dan administrasi pemerintah, hasil revisi tata tertib DPR tersebut seharusnya dinyatakan tidak sah karena Dewan dapat mengerjakan sesuatu di luar kewenangannya. Feri mengatakan DPR tidak dapat seenaknya mengevaluasi pimpinan lembaga negara lain, apalagi sampai merekomendasi pencopotan.
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari. Dok. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Feri mencontohkan hakim Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang seharusnya bebas dari intervensi sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
Di samping itu, kata dia, kedua lembaga kehakiman tersebut sudah mempunyai sistem tersendiri dalam mengevaluasi adanya dugaan pelanggaran kode etik hakim Mahkamah Konstitusi ataupun hakim Mahkamah Agung.
“DPR sebenarnya cukup menjalankan fungsi saling mengawasi dan mengimbangi dalam proses perekrutan atau seleksi pejabat. Mereka tidak perlu ikut campur saat hakim menjalankan kewenangan,” ujar Feri.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi, I Gede Palguna, heran melihat tata tertib DPR yang mengikat di luar lembaga tersebut. Ia berpendapat tata tertib DPR itu seharusnya bersifat internal.
Palguna mempertanyakan pemahaman DPR mengenai pemisahan kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif serta prinsip checks and balances yang sudah ditetapkan dalam Pasal 1 UUD 1945.
Menurut Palguna, Pasal 1 UUD 1945 seharusnya dipahami bahwa tidak ada lagi pengelompokan lembaga tertinggi negara ataupun lembaga tinggi negara. Sebab, setiap lembaga negara sudah ditentukan fungsi dan kewenangannya dalam konstitusi.
Dengan demikian, setiap lembaga negara semestinya saling mengawasi dan mengimbangi. “Kalau berada atas hukum yang mereka suka dan mau mengamankan kepentingannya sendiri, bisa rusak negara ini,” kata Palguna.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan kewenangan DPR untuk mengevaluasi pimpinan lembaga negara hingga merekomendasi pencopotan bertentangan dengan UUD 1945 serta UU MD3.
Undang-Undang MD3 sudah menentukan fungsi DPR sebagai legislasi, mengawasi pelaksanaan undang-undang, dan menetapkan anggaran. “Dalam tiga fungsi dimaksudkan, sama sekali tidak ada poin yang membuka jalan bagi DPR dapat menonaktifkan pejabat negara,” kata Ray Rangkuti.
Ia pun mendorong adanya perubahan sejumlah undang-undang yang membolehkan DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan lembaga negara. Sebab, kewenangan memilih ataupun menyetujui pimpinan lembaga negara seharusnya tidak diberikan kepada DPR. “Wewenang dan tugas DPR harus dikembalikan ke wewenang dan tugas orisinalnya, yaitu pengawasan, legislasi, serta anggaran,” ujar Ray Rangkuti.
Ketua Baleg DPR Bob Hasan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 11 November 2024. TEMPO/Annisa Febiola
Ketua Badan Legislasi Bob Hasan membantah tudingan adanya pemberian kewenangan DPR untuk mencopot pimpinan lembaga negara tertentu. Ia mengatakan Pasal 228A Peraturan DPR tentang Tata Tertib itu hanya mengatur evaluasi berkala pimpinan lembaga negara yang ditetapkan lewat paripurna DPR. “Soal pencopotan itu kewenangan dari yang berwenang sebagaimana perundang-undangan yang berlaku,” kata politikus Partai Gerindra ini, Kamis, 6 Februari 2025.
Bob Hasan menjelaskan bahwa evaluasi yang dimaksudkan dalam Pasal 228A itu adalah melakukan konsultasi secara mufakat atas pejabat yang telah disepakati oleh DPR. Evaluasi itu akan berlanjut dengan terbitnya rekomendasi DPR kepada institusi yang berwenang terhadap pimpinan lembaga negara bersangkutan.
Institusi yang berwenang itu seperti presiden untuk sejumlah lembaga negara ataupun Komisi Yudisial untuk hakim Mahkamah Agung. “Mereka yang akan membuat keputusan sendiri untuk pencopotan pejabat,” kata Bob.
Wakil Ketua Baleg Martin Manurung berdalih bahwa evaluasi DPR tersebut sesungguhnya serupa dengan rapat kerja komisi-komisi di Dewan dengan lembaga mitra kerja masing-masing. Politikus Partai NasDem ini menjelaskan, ketentuan dalam Pasal 228A Peraturan DPR tentang Tata Tertib itu membuka ruang bahwa pengawasan Dewan bukan hanya terhadap kinerja lembaga yang bersangkutan, tapi juga performa personalianya. “Seperti fungsi pengawasan selama ini,” katanya.
Anggota Baleg dari PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, memaklumi jika perubahan tata tertib DPR itu akan memunculkan pertanyaan publik. Ia mengatakan hasil evaluasi DPR nantinya terhadap pimpinan lembaga negara memang akan berpengaruh. “Biar publik yang menilai,” kata Andreas. ●
Francisca Christy Rosana berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo