Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menginginkan lembaganya menangani kasus Joko Tjandra.
Pimpinan KPK yang lain tak mendukung keinginannya.
Kejaksaan berkukuh menangani sendiri kasus Pinangki.
WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nawawi Pomolango mengejar penjelasan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono dalam gelar perkara suap Joko Soegiarto Tjandra di kantor KPK di kawasan Kuningan, Jakarta, pada Jumat siang, 11 September lalu. Ia menanyakan upaya kejaksaan mendalami pengakuan jaksa Pinangki Sirna Malasari, tersangka suap kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nawawi menyitir pemberitaan yang menyebutkan Pinangki pernah berkomunikasi dengan atasannya setelah bertemu dengan Joko Tjandra, yang waktu itu masih buron. Mereka yang disebut adalah Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan Jaksa Agung Muda Intelijen Jan Maringka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan-pertanyaan Nawawi dilontarkan setelah Ali memaparkan perkembangan hasil penyidikan kasus Joko yang tengah ditangani kejaksaan. Ali hadir di sana atas undangan KPK. Semua pemimpin KPK dan para deputi hadir. “Pertanyaan itu memang sempat disampaikan,” ujar juru bicara KPK, Ali Fikri, ketika ditanyai soal isi gelar perkara.
Ali Fikri menjelaskan, pengakuan Pinangki dan tersangka lain merupakan materi penyidikan yang hendak diketahui KPK. Lembaga antirasuah telah menerbitkan surat perintah supervisi untuk memonitor penyidikan perkara di kejaksaan dan di kepolisian. “Yang mau kita kejar itu adalah progres temuan alat bukti, bukan rumor yang berkembang di masyarakat,” kata Ali Fikri.
Setelah pertemuan itu, Ali Mukartono tak menjelaskan jawabannya kepada KPK. Tapi ia mengaku sudah mencatat sejumlah masukan KPK. “Itu menjadi catatan tersendiri untuk penyempurnaan berkas perkara,” ujarnya. “Jadi nanti lihat saja di pengadilan.”
Angin bagi KPK untuk masuk ke kasus Joko Tjandra diembuskan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Awalnya ia menyentil sikap kejaksaan yang enggan melibatkan KPK. Mahfud kemudian meminta Korps Adhyaksa mengikuti langkah Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, yang berulang kali mengundang KPK untuk mengawasi perkara. “Kabareskrim sudah memberi contoh,” katanya.
KPK hadir dalam gelar perkara di Badan Reserse Kriminal pada 14 Agustus lalu. Pimpinan KPK mengutus Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Karyoto. Dalam perkara rasuah Joko Tjandra di lingkungan Polri, Badan Reserse Kriminal sudah menetapkan empat tersangka. Mereka adalah Joko Tjandra, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, dan pengusaha Tommy Sumardi.
Joko juga menyandang status tersangka dalam suap Pinangki. Ia ditengarai memberikan duit US$ 500 ribu untuk mengurus peninjauan kembali kasus hak tagih Bank Bali yang menjeratnya sejak satu dasawarsa lalu. Pengacara Joko, Anita Kolopaking, ikut tersangkut. Politikus Partai NasDem, Andi Irfan Jaya, belakangan masuk radar penyidikan.
Menurut Mahfud, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa diundang untuk menilai penanganan perkara di kejaksaan dan kepolisian. KPK dapat memberikan pandangan apakah penanganan suatu perkara sudah tepat atau perlu diambil alih sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang KPK. “Bisa saja diambil alih sejauh syarat yang diatur dalam undang-undang terpenuhi. Tapi pengambilalihan tidak selalu harus dilakukan,” ujarnya.
Mahfud juga memperlihatkan dukungannya dengan menyebutkan pemerintah sedang menggodok peraturan presiden yang menjabarkan lebih jauh ketentuan supervisi dan pengambilalihan perkara oleh KPK. Untuk membahas rumusan peraturan itu, Mahfud mengundang Polri, kejaksaan, dan KPK ke kantornya pada Rabu, 2 September lalu.
Enam hari sebelumnya, Mahfud melayangkan surat kepada kejaksaan. Surat tertanggal 27 Agustus itu meminta kejaksaan mengundang KPK dalam penanganan perkara dan membuka akses bagi Komisi Kejaksaan untuk melakukan fungsi pengawasan. Atas surat itu, kejaksaan menindaklanjutinya dengan mengadakan gelar perkara pada 8 September lalu.
Forum itu dihadiri Karyoto, Ali Mukartono, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana, dan Jaksa Agung Pengawasan Amir Yanto. Hadir pula utusan Mahfud, Deputi Hukum Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo. Dalam pertemuan itu, dugaan keterlibatan atasan Pinangki juga disorot. “Soal itu ikut dibahas karena sebelumnya pernah ada pengakuan,” kata Ali Mukartono.
Menurut Ali, pengambilalihan perkara belum perlu dilakukan. Sebab, kejaksaan sudah merampungkan sebagian berkas pemeriksaan para tersangka. “Proses pemberkasan saat ini sudah 80-90 persen. Gelar perkara ini menunjukkan bahwa penanganan kasus ini transparan. Tidak ada yang ditutup-tutupi,” ujarnya.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak meminta kejaksaan bersikap profesional mengusut siapa pun yang terlibat. Menurut dia, kasus ini menyita perhatian khalayak dan perlu ditangani serius karena melibatkan mafia hukum. “Pemainnya itu para pejabat di seluruh kluster lembaga penegakan hukum. Tidak boleh dianggap enteng,” tuturnya.
Mahfud MD tiba di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Oktober 2019. TEMPO/Subekti
Agar kasus itu bisa diusut tuntas, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango sebenarnya telah meminta kejaksaan menyerahkan perkara Pinangki ke lembaganya. Sebab, kasus ini melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. “Tipologi perkara tersebut merupakan domain kewenangan KPK,” katanya pada Kamis, 27 Agustus lalu.
Tapi Nawawi tak sepenuhnya disokong koleganya. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan pengambilalihan belum diputuskan dalam rapat pimpinan. Walau begitu, menurut dia, pimpinan KPK selalu memonitor dan membahas opsi penanganan perkara. “Nanti pasti kami bahas karena kemarin gelar perkara baru selesai menjelang petang,” ujarnya.
Berbeda dengan Nawawi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menilai peran KPK dalam penanganan perkara cukup dilakukan lewat supervisi. Sikap itu sejalan dengan pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri setelah dia menghadiri rapat dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat pada 31 Agustus lalu. Adapun Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membuka opsi mengambil alih kasus sejauh syaratnya terpenuhi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menilai pengakuan Pinangki tentang atasannya sudah cukup menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mengambil alih perkara Joko Tjandra. Apalagi disinyalir ada upaya kejaksaan dan kepolisian melokalisasi skandal tersebut. “Sementara aktor lain dilepas,” ujarnya.
Kurnia menyinggung Pasal 10-A ayat 2 Undang-Undang KPK yang mengatur kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan perkara jika kejaksaan ataupun kepolisian mengalami kesulitan atau bertendensi melindungi aktor yang lebih besar. “Sekarang bolanya ada di KPK,” katanya. “Apakah pimpinan satu suara untuk mengambil alih.”
RIKY FERDIANTO, DEWI NURITA, ANDITA RAHMA, LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo