Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RABU pekan lalu adalah hari yang meletihkan bagi Mayor Jenderal Sudrajat. Saat hari terang tanah di Washington, Amerika Serikat, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan itu meluncur ke Pentagon, markas Departemen Pertahanan negeri itu.
Sudrajat datang bersama sejumlah anggota parlemen dari Jakarta. Di situ mereka bertemu dengan Paul Wolfowitz, Deputi Menteri Pertahanan Amerika Serikat yang pernah menjadi duta besar di Jakarta. Wolfowitz menyambut hangat. Ia memuji tentara Indonesia karena sukses mengawal reformasi dan menerapkan demokrasi.
Dari situ rombongan Sudrajat meluncur ke Capitol Hill, tempat anggota Kongres berkantor. Di sana mereka bertemu dengan lima anggota Kongres secara terpisah. Setiap pertemuan menelan waktu 40 menit.
Disambut di Pentagon, di Capitol Hill rombongan justru disemprot. Adalah Any Valeoma Vaega, salah seorang anggota Kongres, yang paling doyan mengutuk. Ia, misalnya, menikam dengan pernyataan bahwa Indonesia seharusnya memberikan hak penentuan nasib sendiri kepada warga Papua. "Kalau Timor Timur diberi hak untuk menentukan nasib sendiri, mengapa Papua tidak?" kata Vaega.
Sudrajat menjawab bahwa pada 1969 sudah ada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dan rakyat Papua, "Memilih bergabung dengan Indonesia." Vaega tak berhenti: ia mempersoalkan pencurian kayu yang marak belakangan ini, dan menyebut Indonesia melakukan kolonisasi atas Papua. Sudrajat kalem. "Orang Papua," katanya, "adalah saudara kami sendiri." Pada akhir pertemuan Vaega berpesan, "Oke. Yang penting Indonesia jangan menjajah Papua."
Kedatangan rombongan Sudrajat di AS untuk membicarakan soal teknis pencairan kembali program International Military Education and Training (IMET), yang pada Ahad dua pekan lalu sudah dibuka kembali. Program ini adalah kerja sama pelatihan militer bagi anggota TNI yang sebelumnya disegel AS akibat tragedi Santa Cruz, Timor Timur, 12 November 1991. Korban tewas dalam kerusuhan itu simpang-siur. Uskup Carlos Ximenes Belo menyebut angka 25, dan pemerintah menyebut cuma 5 nyawa melayang. Peristiwa nahas itu disebut-sebut sebagai titik awal mengalirnya sokongan untuk kemerdekaan Timor Timur.
Selain melancarkan IMET, Sudrajat juga berniat "merayu" Kongres dan Senat AS agar membuka kembali embargo militer yang 13 tahun diberlakukan Washington. Akibat embargo itu, sejumlah pesawat tempur Indonesia tak bisa dioperasikan karena tidak memiliki suku cadang. Dari 255 pesawat dan helikopter yang dimiliki Angkatan Udara, cuma 40 persen yang bisa beroperasi. Sisanya mangkrak di hanggar karena tak punya suku cadang.
Lobi melunakkan perasaan Abang Sam itu sebetulnya sudah lama dilancarkan. Tapi AS mengunci hati: hingga Juli 2000 Kongres Amerika Serikat tetap saja mengirim lampu merah untuk Jakarta.
Gerah dipojokkan terus-menerus, Menteri Pertahanan Mahfud Md. mengirim ancaman balik. "Jika Amerika Serikat terus mengembargo, Indonesia segera menjajaki pakta pertahanan bersama negara Asia seperti Cina, Jepang, dan Korea," kata Mahfud. Tidak sekadar menggertak, Jakarta juga aktif melobi negara dimaksud.
Entah karena ancaman itu, di ujung 2000, Washington melunak sikap. Embargo suku cadang pesawat Hercules dan kursi lontar pesawat tempur kembali dibuka. Embargo terhadap suku cadang pesawat kecil juga dicabut.
Tapi sebuah catatan hitam tiba-tiba menginterupsi dari Timika, Papua, 31 Agustus 2002. Rombongan guru dan sejumlah pekerja tambang emas Amerika Serikat PT Freeport ditembak oleh sejumlah orang tak dikenal. Dua warga AS, Ted Burqon dan Rickey Spier, tewas di situ. Sejumlah anggota Kongres di Capitol Hill menuding Jakarta ogah-ogahan mengusut pelaku penembakan. Lampu hijau itu pun berganti merah. Pintu sekolah lewat program IMET terus digembok, dan peralatan militer yang diinginkan Jakarta lanjut diembargo.
Tapi sesungguhnya kerja sama keamanan antara kedua negara tak sepenuhnya tamat. Pada September 2002, bertempat di Washington, Departemen Pertahanan Indonesia dan Departemen Pertahanan Amerika Serikat sepakat membentuk sebuah wadah bersama bernama Forum Security Dialog. Lewat forum inilah kedua negara bertukar cerita tentang sistem pertahanan. Mayor Jenderal (Purn) Sudrajat aktif terlibat dalam forum ini.
Rangkaian pertemuan terus digelar. Pada April 2002, rapat digelar di Jakarta. Temanya sama: tukar cerita tentang sistem pertahanan kedua negara. Dialog sempat istirahat karena Amerika Serikat sibuk menyerbu negeri Saddam Hussein, Irak. Dialog kemudian berlanjut di Washington pada April 2004. Di situ komunikasi kedua negara kian baik. Pentagon menilai militer Indonesia serius mereformasi diri dan menegakkan hak asasi manusia.
Karena rapor TNI membaik, hubungan pertahanan kedua negara melompat ke jenjang berikutnya. Dari Forum Security Dialog menjadi Bilateral Defenses Dialog (BDD)?dialog kerja sama pertahanan kedua negara. Dalam rapat yang digelar di Jakarta Juni 2004, kedua negara sepakat merancang pedoman umum hubungan pertahanan. Dalam pertemuan itu pulalah, untuk pertama kalinya, masalah IMET ikut dibicarakan. Delegasi Amerika setuju membuka kembali program itu dengan syarat Jakarta serius menegakkan hak asasi dan TNI serius mereformasi diri.
Pada awal 2005 ini para pejabat di Pentagon menilai bahwa Jakarta telah lulus. Beberapa catatan cemerlang TNI antara lain: netral dalam Pemilu 2004, rela melepas keanggotaannya di parlemen, dan lincah bergerak memulihkan Aceh, setelah kawasan itu remuk-redam diamuk tsunami pada Desember 2004. Aparat TNI juga dinilai kooperatif dengan Biro Penyelidik Federal (FBI) dalam mengungkap kasus Timika.
Ini memang alasan formal. Banyak yang menduga, dibukanya program IMET lebih disebabkan oleh kehendak Presiden Bush untuk menawan hati pemerintah Indonesia dalam mendukung program perang terhadap teror (lihat kolom TNI dan IMET).
Lepas dari spekulasi itu, rapor baik Indonesia itu diselipkan Pentagon ke saku Condoleezza Rice, yang saat itu baru diangkat sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Adalah Condy, begitu ia kerap disapa, yang aktif melobi Kongres dan Senat agar membuka kembali sejumlah program pendidikan untuk Jakarta.
Anggota Kongres dan Senat Amerika Serikat terbelah dua. Ada yang setuju, ada pula yang kukuh menolak. Senator Keith Luse, yang sebelumnya amat garang dengan Jakarta, melunak sikap setelah mendapat penjelasan panjang-lebar dari Condy. "Saya cukup yakin dengan respons pemerintah Indonesia dan percaya bahwa mereka bersikap kooperatif dengan tim penyelidik dari FBI dalam kasus Timika," tutur Luse kepada Tempo.
Sebaliknya, kubu yang menolak pembukaan IMET merasa telah ditipu habis-habisan oleh Condoleezza Rice. Tim Rieser, Kepala Staf Ahli Urusan Hubungan Luar Negeri dari kantor Senator Patrick Leahy, mencela keputusan itu. Leahy adalah senator asal Vermont yang getol menentang bantuan penuh untuk TNI. Pada 1999 Patrick Leahy memotori The Leahy Amendment?pernyataan keras yang menginginkan Kongres hanya akan menyetujui bantuan militer untuk Indonesia jika TNI serius menindak anggotanya yang melanggar hak asasi.
Rieser berkisah bahwa dua pekan lalu Rice menemui Senator Patrick Leahy membicarakan pencabutan embargo atas Indonesia. Dalam pertemuan itu, menurut Rieser, Rice mengaku bahwa kebijakan itu baru sebatas wacana. Jadi masih ditimbang-timbang. Leahy terkejut mendengar bahwa Rice sudah mengetuk putusan. "Dengan keputusannya tersebut, Rice telah menghapus semua pengaruh yang kita miliki," kata Rieser.
Kubu ini pun tidak percaya bahwa TNI telah kooperatif dengan FBI dalam menginvestigasi kasus Timika. Menurut Rieser, "Satu-satunya alasan mengapa ada kemajuan dalam proses penyidikan adalah tekanan dari Kongres dan Patsy Spier, janda korban Timika." Rieser mempertanyakan mengapa Antonius Wamang, satu-satunya orang yang dinyatakan dan mengaku bersalah atas kasus Timika, tak kunjung diadili. Kasus Timika, menurut mereka, masih gelap-gulita.
Tapi Rice menang selangkah. Pintu IMET itu sudah dibuka pekan lalu. Hal itu dimungkinkan karena dalam peraturan yang disetujui Kongres tahun lalu disebutkan bahwa dana IMET untuk Indonesia bisa dicairkan hanya dengan sertifikasi Menteri Luar Negeri, tanpa perlu restu Senat dan Kongres. Untuk 2005 dana yang dianggarkan Rp 5,5 miliar, dan tahun 2006 Rp 7,3 miliar.
Sadar kalah langkah itu, kubu yang menolak mengajukan amendemen terhadap peraturan itu. Adalah Senator Russ Feingold yang menjadi ujung tombaknya. Mereka mendesak, untuk tahun fiskal 2006, pemerintah Bush harus lebih dahulu memberikan laporan faktual mengenai status kasus Timika, sebelum dana IMET bisa direstui Kongres. Dan amendemen itu bulat disetujui oleh Komite Hubungan Luar Negeri, Kamis pekan lalu. Jadi, untuk anggaran tahun 2005, Rice boleh melenggang sendirian, tapi 2006 ia harus menghadapi garis keras di Capitol Hill.
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia tidak tergesa-gesa menanggapi pembukaan kembali program IMET ini. Apalagi, kata Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, hasil sekolah di Amerika Serikat itu tidak wajib diterapkan. "Hasil pendidikan itu cuma sebagai pembanding dari sistem yang sudah ada," kata Kepala Pusat Penerangan TNI itu.
Soal penangkapan Antonius Wamang yang diduga sebagai pelaku penembakan di Timika, kata Kepala Dinas Penerangan Umum TNI, Kolonel Ahmad Yani Basuki, adalah tugas polisi. Yang jelas, katanya, "Tidak ada anggota kami yang terlibat" (lihat Mencari Wamang di Sela Grasberg).
Wenseslaus Manggut, Sunudyantoro dan Wendy Ruky Mogul (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo