Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bacharuddin Jusuf Habibie diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketiga setelah Presiden Soeharto memutuskan mundur pada 21 Mei 1998. BJ Habibie menjabat sebagai presiden selama satu tahun pada 1998 -1999. Meski singkat, BJ Habibie mampu membuat reformasi besar-besaran dalam sejarah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998,” kata Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usai mundur, Soeharto menunjuk wakilnya, BJ Habibie sebagai pengganti. Habibie kemudian melakukan berbagai langkah dan perombakan di beberapa sektor, di antaranya:
Perombankan di Pimpinan Militer
Pada 22 Mei 1998 pukul 06.10, BJ Habibie memutuskan Panglima ABRI Jenderal Wiranto menjabat sebagaI Menhankam atau Pengab. BJ Habibie juga melengserkan Prabowo Subianto yang saat itu menjabat Pangkostrad. Menurut Habibie, Wiranto menganggap Prabowo berupaya melancarkan rencananya sendiri di luar kendali Pangab. Karier Prabowo di kemiliteran seret sejak saat itu dan berakhir dengan “pemecatan” dirinya.
Habibie dalam bukunya, Detik-Detik Yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) menuliskan Wiranto meminta petunjuk kepada dirinya yang baru diangkat terkait rencana Prabowo. Atas dasar tersebut, Habibie mengambil kesimpulan Prabowo bertindak tanpa sepengetahuan Pangab.
“Pangab melaporkan bahwa pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta. Jenderal Wiranto mohon petunjuk. Dari laporan tersebut, saya berkesimpulan bahwa Pangkostrad bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab,” tulis Habibie.
Pemisahan TNI dan Polri
Dikutip dari jurnal.ugm.ac.id, pada 1999 BJ Habibie memisahkan TNI dan Polri sesuai dengan misinya, yaitu TNI dari sektor pertahanan dan Polri dari sektor keamanan. Pada Agustus 1998, elit militer Indonesia mempertimbangkan kembali terkait adanya dwifungsi ABRI.
Rapat yang dilakukan sejumlah Direksi ABRI saat itu menghasilkan sebuah keputusan dimana dwifungsi ABRI tidak lagi digunakan. Langkah ini memutus 32 tahun kekuasaan Soeharto menjalankan dwifungsi ABRI. Pada saat yang sama, Polri memisahkan diri dari ABRI. Pemisahan ini dilakukan melalui Ketetapan MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Sejak itu Polri berdikari dan nama ABRI kembali menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kebebasan Pers
Pada rezim sebelumnya, pers dibungkam dan dipaksa mengikuti opini pemerintah, sehingga ketika pers melakukan penentangan akan diberikan hukuman. Menurut Informasi Pusat Republik Indonesia, lahirnya UU Pers Nomor 4 Tahun 1999 pada masa Habibie memberikan pers untuk dijadikan sebagai bentuk kedaulatan Indonesia. Undang-undang ini sekaligus menjadi tonggak kebebasan pers indonesia yang berada di bawah ancaman pembredelan pada rezim sebelumnya.
Pemilu Bebas dan Demokratis
BJ Habibie juga membentuk undang-undang yang mengatur kebebasan masyarakat Indonesia dalam melaksanakan pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang pemilu. Hasil dari dibentuknya undang-undang tersebut adalah lahirnya 48 partai politik baru yang ikut berpartisipasi secara aktif dalam Pemilu 1999. Pada 1999, pemilu legislatif yang dilaksanakan menjadi pemilu yang paling bebas dan demokratis yang terjadi setelah pemilu pada 1955.
Masa transisi pemerintahan Orde Baru ke Era Reformasi juga melahirkan Undang-Undang baru yang berkaitan dengan Pemilu, yaitu UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dengan diterbitkannya UU baru tentang partai politik, bagai jamur di musim hujan, terbentuk sebanyak 171 partai baru dari berbagai macam asas. Dari jumlah tersebut, sebanyak 141 partai yang terdaftar dan 48 partai lolos untuk mengikuti Pemilu 7 Juni 1999.
Kemudian dibentuklah Komisi Pemilihan Umum atau KPU dengan tujuan menghindari campur tangan pemerintah serta menjaga objektivitas pemilihan umum dalam pelaksanaan Pemilu 1999 tersebut. KPU 1999 diketuai oleh Jenderal (Purn) Rudini didampingi Wakil Ketua Harun Al Rasyid dan beranggotakan sebanyak 48 orang yang mewakili 48 partai yang berpartisipasi dalam Pemilu 1999, dan ditambah empat wakil dari pemerintah. Pemilu 7 Juni 1999 digelar dengan sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar.
Otonomi Daerah
Ide otonomi daerah adalah gagasan hukum yang menonjol pada masa pemerintahan BJ Habibie. Luasnya wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang beragam menjadikan otonomi daerah merupakan hal yang diperlukan untuk diimplementasikan di Indonesia. Maka, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
Ia menghilangkan ciri sentralisasi pada masa Orde Baru dengan digantikannya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Berakhirnya Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa
Presiden BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 26 Tahun 1999 yang berisi penghapusan antara pribumi dan non-pribumi. Selanjutnya Habibie juga menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1999 yang menghapus keberadaan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI). Sebelum inpres ini terbit, masyarakat Tionghoa wajib menyertakan SKBRI setiap hendak mengurus apapun.
Kedua Inpres yang dikeluarkan oleh BJ Habibie merupakan tonggak awal untuk mengakhiri perilaku diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ini diwariskan dari masa pemerintahan Soeharto yang sebelumnya memberlakukan program anti-komunis yang berimbas pada diskriminasi terhadap etnis tertentu.
Lahirnya Komnas Perempuan
Dikutip dari komnasperempuan.go.id, rangkaian kerusuhan pada Mei 1998 banyak memakan korban tak terkecuali perempuan. Perempuan menjadi obyek eksploitasi seksual, pemerkosaan dilakukan secara sistematis hampir di seluruh wilayah Indonesia khususnya Palembang, Solo, Surabaya, Lampung, Medan dan Jakarta.
Hal ini memicu lahirnya tuntutan dari masyarakat agar masalah ini tidak terulang kembali. Untuk memenuhi tuntutan ini, Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 yang melegitimasi pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Kemerdekaan Timor Leste
Pada 27 Januari 1999, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan dua opsi terkait masa depan wilayah Timor Timur, termasuk menerima dan menolak adanya otonomi khusus. Konsekuensi dari dua opsi tersebut, tercapainya perjanjian segitiga di New York yang dihadiri pemerintah Indonesia, Portugal dan PBB, membahas referendum di Timor Timur dan pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur.
Referendum ini menghantarkan Timor Timur atau Timor Leste menjadi negara merdeka. Peristiwa referendum Timor Leste ini sempat mendapatkan tentangan dari pihak militer Indonesia, akan tetapi BJ Habibie tetap melaksanakan referendum Timor Leste.
Wewenang Bank Indonesia
Pada 1998, BJ Habibie melaksanakan restrukturisasi sektor perbankan di Indonesia dan memutuskan bahwa Bank Indonesia (BI) harus terpisah dari pemerintahan agar tetap bersifat obyektif dan tidak terpengaruh oleh politik.Pemisahan Bank Indonesia dari pemerintahan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.
Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia dengan tujuan mampu bertahan dari krisis mata uang yang melanda Indonesia pada 1998, menaikan suku bunga 70 persen dan menerbitkan obligasi sebanyak Rp 650 triliun untuk menyelamatkan perbankan.
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI I HENDRIK KHOIRUL MUHID