Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Maruarar Sirait memutuskan mundur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Salah satu alasannya, dia mengingat pesan mendiang sang ayah, Sabam Sirait, untuk menjaga kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Sabam Sirait merupakan salah satu pendiri PDIP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Memang betul Bapak saya pendiri PDI dan saya pertanggungjawabkan, karena dulu Bapak saya juga mengatakan jagalah, belalah, Pak Jokowi, karena dia baik dan benar,” kata Ara, sapaan akrab Maruarar Sirait dalam video yang diunggah di akun media sosialnya, Senin, 15 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pendiri PDIP, lantas seperti apakah profil Sabam Sirait ayah Maruarar Sirait ini?
Sebelumnya, Maruarar Sirait telah mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA) miliknya ke DPP PDIP. KTA PDIP Maruarar itu diterima oleh Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Utut Adianto. Dalam kesempatan itu, Ara juga mengatakan akan memilih mengikuti langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
“Saya percaya dan saya cocok hati saya dan nurani saya, dan Bapak Jokowi banyak memanusiakan rakyat Indonesia, dan juga kami, dan juga seperti yang saya mencatat tingkat kepuasan publik terhadap Bapak Jokowi sangat tinggi. Dan saya adalah bagian dari rakyat Indonesia yang memilih mengikuti Bapak Jokowi,” ucap Ara.
Profil Sabam Sirait
Sabam Sirait adalah salah satu politikus senior Indonesia yang pernah dimiliki Indonesia. Sosok kelahiran 13 Oktober 1936 di Tanjungbalai, Sumatera Utara ini aktif berpolitik sejak 1960-an. Namanya tercatat sebagai pendiri PDI, yang kemudian menjadi PDIP, gabungan PNI dengan Partai Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik pada 1973. Sabam, yang saat itu Sekjen Parkindo, terlibat dalam penggabungan ini.
Menjadi politisi sebenarnya bukan tujuan hidup Sabam Gunung Panangian Sirait, demikian nama lengkapnya. Sulung empat bersaudara ini mulanya diharapkan sang ayah Fridrik Hendrik Sirait, menjadi guru atau polisi. Namun Sabam tak menuruti ayahnya. Dia memilih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kendati begitu, karena sibuk berorganisasi, pendidikan tingginya itu tak rampung.
Sabam Sirait memulai karier politiknya pada 1961. Yakni ketika terpilih menjadi Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Parkindo. Ayah empat anak ini kemudian menjadi Sekjen Parkindo pada 1967 hingga 1973, sebelumnya akhirnya partai ini dilebur bersama partai lainnya menjadi PDI. Sabam kemudian ditunjuk jadi Sekjen PDIP dari 1973 hingga 1986.
Sabam Sirait pernah menjadi anggota dewan dapil Sumatera Utara periode 1967-1971 dan periode 1977-1982. Setelah gagal dalam dua pemilu berikutnya, politisi yang mengakui pemikirannya banyak dipengaruhi paham sosialis ini lalu ditunjuk pemerintahan Presiden Soeharto sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1983-1992.
Sabam Sirait kembali maju dalam Pileg 1992 dan lolos menduduki kursi dewan mewakili Irian Jaya, kini Papua, dan menjabat hingga 1997. Pada Pemilu 1999, dia mencalonkan diri sebagai caleg DKI Jakarta dan terpilih, kedudukan itu diembannya hingga 2004. Satu dekade berselang, Sabam kembali maju di pileg di lini dewan perwakilan daerah dapil yang sama. Tapi tidak lolos ke Senayan.
Pada Desember 2017, anggota DPD RI dapil Jakarta Andi Mappetahang Fatwa meninggal dunia. Sabam Sirait kemudian dilantik sebagai pengganti antar waktu sebulan kemudian pada Januari 2018. Dia kembali menjadi DPD Jakarta untuk periode 2019-2024. Namun dia meninggal dunia pada September 2021. Pada 1 Oktober 2019, ia adalah pimpinan sementara MPR tertua untuk periode 2019–2024.
Sabam Sirait meninggal dunia dan kenangan tentangnya
Sabam Sirait meninggal dunia pada Rabu, 29 September 2021 pukul 22.37 WIB. Penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama pada 2015 dari Jokowi ini mengembuskan napas terakhir pada usia 84 tahun di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang. “Telah berpulang ke rumah Bapa di surga Bapak Sabam Sirait,” demikian bunyi keterangan menantu Sabam, Putra Nababanm yang diterima Tempo, Kamis, 30 September 2021.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) turut berduka atas meninggalnya Sabam Sirait. Ketua Umum PGI Gomar Gultom menyatakan, Sabam konsisten dengan komitmen politiknya untuk menegakkan demokrasi serta memperjuangkan aspirasi rakyat. Gomar mengenang Sabam sebagai seorang yang mampu hadir sebagai ‘Imam’ di tengah carut marut perpolitikan bangsa.
Meski sebagai seorang kristiani, Sabam Sirait, kata Gomar kerap memperjuangkan masyarakat muslim. Gomar mencontohkan kejadian ketika Sabam bersuara keras menentang praktik Orde Baru yang melakukan sensor khotbah Jumat di masjid. Sabam juga mendukung kemerdekaan Palestina dan lantang membela perjuangan Irak.
“Kita harus mampu mengedepankan kehadiran kita sebagai ‘garam dan terang’ dunia, perlu banyak berbuat tetapi tidak perlu pamer. Janganlah tangan kirimu tahu apa yang dilakukan oleh tangan kananmu,” demikian pernyataan Sabam Sirait yang ditulis Gomar dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 30 September 2021.
Selain dikenal sebagai politikus, Sabam juga punya perhatian dengan masalah ekonomi. Bekas Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Parkindo ini sudah membicarakan perlunya undang-undang antimonopoli awal 1970-an, juga undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Saat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung atau DPA pada 1987, Sabam kembali mengusulkan soal UU Antimonopoli. DPA kala itu mengundang Menteri Kehakiman, waktu itu Ismail Saleh. Menurut Sabam, setelah enam jam berdebat, mereka akhirnya sepakat perlunya UU Antimonopoli atau Antitrust. DPA pun mengirim surat untuk memberi pertimbangan ke presiden soal UU Antimonopoli. Akan tetapi usulan tersebut kandas.
Pada masa pemerintahan BJ Habibie pada 1999 akhirnya disahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Saya menyayangkan, kalau saja usul yang diajukan tahun 1987 itu diterima, ekonomi Indonesia mungkin tidak seterpuruk sekarang. Tidak terlalu terlambat kalau dilakukan waktu itu,” kata Sabam saat diwawancarai Majalah Tempo di edisi Januari 2002.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | LANI DIANA WIJAYA | KODRAT SEIAWAN | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: Mundur dari PDIP, Begini Jejak Karier Politik Maruarar Sirait