Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENTU bukan arloji murahan yang meliliti pergelangan tangan para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tapi masih saja penyelenggara pemilu ini gagal menepati tenggat?yang notabene mereka buat sendiri. Pada 28 April barusan, mereka batal menetapkan perolehan suara hasil pencoblosan 5 April lalu. "Budaya jam karet" menjangkiti KPU.
Sebelum pelaksanaan pemilihan umum, KPU juga sempat membuat waswas banyak pihak karena pengadaan dan distribusi logistik pemilihan yang kacau-balau. Setelah sukses menepati tenggat pencoblosan, yang sempat membuat semua orang deg-degan, kini KPU gagal mengejar pagu waktu yang mereka putuskan sendiri. Tanggal 28 April, yang ditetapkan oleh surat keputusan nomor 100 dan 636 tahun 2003 sebagai saat pengumuman penetapan penghitungan suara pemilu, melenggang seperti angin petang. Bahkan, nantinya, bukan tidak mungkin KPU gagal memenuhi tuntutan undang-undang: pengumuman hasil pemilu selambat-lambatnya 30 hari setelah pencoblosan, Rabu, 5 Mei ini. Tenggatnya sudah di depan mata, tapi penghitungan sisa suara masih beringsut seperti siput.
"Mau bagaimana lagi?" kata Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti mengeluh, "Kami sudah berupaya keras, namun terlalu banyak kendala yang dihadapi jajaran kami." Ramlan lalu menuding rumitnya sistem Pemilu 2004 sebagai penyebab kelambatan itu. Menurut dia, tidak mudah melaksanakan sistem yang baru pertama kali diaplikasikan di negeri ini tersebut, terutama bagi personel penyelenggara di daerah, seperti kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), panitia pemungutan suara (PPS), dan panitia pemilihan kecamatan (PPK).
Ketua Divisi Rekapitulasi KPU, Rusadi Kantaprawira, berdalih senada. Menurut pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran ini, problem utama yang menghalangi lembaganya untuk segera mengumumkan hasil pemilu berada pada sistem yang dipakai: selain faktor kebaruannya, juga kerumitannya. "Di samping tentu saja ada kendala lain, seperti kesulitan geografis dan juga kendala keamanan di beberapa daerah," katanya. Rusadi mengakui pula mepetnya waktu di tengah minimnya pelatihan bagi para penyelenggara di daerah sebagai penyebab semua kelambatan itu. "Bayangkan saja, yang terlibat di tempat pemungutan suara itu sekitar 5 juta orang. Pernahkah ada operasi militer dengan pengerahan sekian banyak orang dalam satu waktu?" ia menggambarkan.
Keteledoran KPU melatih jajarannya juga dikemukakan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro), Smita Notosusanto. "Kelambatan proses di tingkat bawah karena kurang terlatihnya penyelenggara pemilu di tingkat bawah ini mengimbas ke atas," katanya. Smita mengatakan, kurangnya pelatihan menjadi kesalahan awal yang akhirnya berdampak cukup fatal.
Soal keterlambatan menepati jadwal, Rusadi tampaknya tidak menganggapnya penting-penting amat. "Itu kan kita susun lebih untuk internal KPU," ujarnya. Ia memastikan bahwa pada 5 Mei ini, sesuai dengan tuntutan UU 12/2003, KPU akan mengumumkan hasil pemilu. "Meski mungkin ada catatan dari berbagai daerah," kata alumni Rijksuniversiteit Leiden, Belanda, ini.
Boleh jadi Rusadi khilaf dalam soal jadwal tadi. Apalagi, katanya, jalin-kelindan setiap proses pemilu sangat saling mempengaruhi. Bagaikan efek domino, kelambatan tersebut setidaknya berdampak pada proses pendaftaran calon presiden, yang dibuka pada 1-7 Mei ini. Bukan mustahil, ada satu-dua calon yang ragu mencalonkan diri karena belum pastinya perolehan suara parpol peserta pemilu. Atau bahkan berujung pada pengunduran waktu pendaftaran. "Kalau penetapan baru 5 Mei, artinya pendaftaran calon presiden dan wakilnya dibuka 6 sampai 12 Mei," kata Ketua Kelompok Kerja Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden KPU, Anas Urbaningrum.
Persoalannya, bisakah KPU dibiarkan tetap pede (percaya diri) dengan gaya jam karetnya? "Tidak," ujar Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu, Ray Rangkuti. Menurut dia, sejak awal, pihaknya selalu berteriak soal perlunya sanksi institusional apabila KPU melakukan kesalahan. "Bila mereka bersalah, seharusnya ada restrukturisasi KPU," kata Ray.
Tapi bukan mustahil perombakan KPU justru akan membuat institusi itu kembali menghadapi "kebaruan" sistem penyelenggaraan pemilu. Apalagi kalau budaya ganti-ganti sistem kembali menjangkiti petinggi negeri ini.
Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo