Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hantu Pembidik Jitu

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOCHTAR Ode mengendap-endap di balik puing bangunan. Desing peluru, bau asap bangunan yang hangus, meruap pekat di udara Kota Ambon. Ode, anak tanggung berusia 15 tahun itu, nekat memanggul Rifaldi, 13 tahun. Bocah itu lagi sekarat. Satu peluru, yang tak jelas dari arah mana, telah menembus punggungnya. Hanya terdengar suara timah mendesing sepersekian detik menyayat angin. Selebihnya, si penembak hilang di balik bangunan bertingkat. Bahkan tanpa kelebat bayangan.

Tiba-tiba Ode limbung. Kini giliran dia roboh bersimbah darah. Satu peluru, entah dari mana lagi asalnya, menyikat kepala bagian kirinya. Untung, kedua bocah itu selamat, setelah dilarikan ke Rumah Sakit Al-Fatah, Ambon, Selasa pekan silam. Ternyata di rumah sakit itu, sudah ada La Juli, 17 tahun. Telinga kanannya sobek dihajar timah panas. Juga Rifaldo Risaholet. Satu peluru menyabet pantat remaja 14 tahun itu. Tak kurang sial, Abdul Gani, 40 tahun. Hidungnya hancur digasak peluru penembak gelap.

Penembak gelap alias sniper sontak hadir kembali menjadi hantu di Ambon, setelah empat tahun lalu sempat menghebohkan kota pada masa awal kerusuhan wilayah itu, dan kemudian mereda. Sepak terjang mereka kontan membuat nyali warga menjadi ciut. Jalan-jalan di kota kini mendadak sepi. Apalagi, pada Minggu pekan silam, dua anggota Brimob juga terjengkang menemui ajal ditembak sniper.

Memang, sampai kini belum lagi jelas siapa dan kapan mereka beraksi. Seorang saksi mata, sebut saja namanya Yusuf, mengaku kepada TEMPO, Kamis pekan lalu. Dia melihat sejumlah pria bersenjata laras panjang naik ke gedung bertingkat bekas salon di samping gedung PT PLN Ambon. Hari itu kerusuhan pertama meledak di Ambon. "Dari pengalaman selama ini, mereka itu penembak jitu," ujarnya.

Tak kurang, Markas Besar TNI di Jakarta dibikin geram. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto meminta anak buahnya menghabisi si penembak jitu. Satuan khusus pun dibentuk Kodam Pattimura. "Mereka bertugas memburu para penembak gelap," ujar Kepala Pusat Penerangan Umum Mabes TNI, Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoedin, di Cilangkap, Jakarta, Jumat pekan silam.

Para pemburu penembak gelap itu, kata Sjafrie, dibekali kemampuan taktis sekaligus intelijen. "Harus diketahui juga posisi mereka (penembak gelap)," ujarnya. Di lapangan, mereka juga akan bergandengan dengan polisi Ambon. Ini penting, supaya tak salah lirik sasaran.

Dalam catatan TEMPO, aksi para sniper itu pernah berjaya di Galala, wilayah Teluk Ambon, empat tahun silam. Galala adalah medan tempur para sniper dan doper. Yang terakhir itu adalah "pengunci sniper". Maksudnya, mereka memindai posisi sniper, dan lalu menyikatnya dengan tembakan jitu balasan. Caranya, memancing dengan obat nyamuk yang diikat pada ujung bambu. Di kegelapan malam, obat nyamuk itu seolah orang merokok yang melintas di wilayah bidik sniper. Lalu, begitu tembakan sniper mengarah ke "si perokok", penembak doper langsung membalas. Waktu itu, sekitar 80 penembak jitu dihabisi dengan kepala yang kemudian dipenggal.

Melihat kemampuan para sniper, tentu mereka bukan musuh kelas sembarangan. Juga bukan anggota pasukan legal. Sejumlah fakta menunjukkan mereka serdadu desertir, baik dari polisi maupun tentara, yang bergabung dengan kelompok bertikai di Ambon.

Kaum desertir inilah yang menjadi pasukan siluman. Pangdam Pattimura Made Yasa (waktu itu) pernah menyisir mereka di Hotel Wijaya II Ambon, pada Januari 2001. Pasukan Made menangkap 29 orang TNI dan Polri, di antaranya sejumlah perwira menengah. Dari pengusutan, mereka ternyata kerap menjadi sniper di wilayah itu.

Soal terberat tentulah asal-usul senjata di tangan sniper. Di Ambon, senjata beredar tanpa kendali. Sjafrie, misalnya, menunjuk adanya senjata di daerah rawan seperti Batu Merah, Talake, Kuda Mati, serta Perigi Lima. Senjata mereka, menurut Sjafrie, bukanlah jenis rakitan. "Senjata pabrik atau standar angkatan bersenjata," ujarnya. Tapi, kata Sjafrie, senjata itu bukan berasal dari gudang milik TNI.

Pada 21 Juni 2000, menurut Sjafrie, terjadi perusakan asrama polisi di Tantui. Sebanyak 893 pucuk senjata serta 800 ribu amunisi hilang. "Kasus ini sampai sekarang belum tuntas, dan senjata itu sampai saat ini masih raib," ujarnya kepada Yandhrie Arvian dari Tempo News Room. Yang kembali baru sekitar 300 pucuk. Padahal semua senjata itu siap tempur.

Tentu, jika tak segera bisa diatasi, Ambon bakal kembali luluh-lantak.

Nezar Patria, Mochtar Touwe, Tomy Aryanto (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus