Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
California baru saja disentuh musim semi ketika Alex Manuputty menyaksikan berita kerusuhan di Ambon melalui televisi. Maklum, memang ia sudah berdomisili di California, Amerika Serikat, sehingga ia tak bisa menghadiri peringatan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan tahun ini. Padahal, sejak ia mendirikan Front Kedaulatan Maluku pada 15 Juni 2000, Alex sekaligus melembagakan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan di halaman rumahnya di kawasan Kudamati, Ambon. Ia lalu mengadakan peringatan pertama pada 25 April setahun berikutnya. "Itu hanya gerakan moral, bukan pemberontakan," katanya berkali-kali.
Ketika kerusuhan massal membakar Ambon sepekan silam pada peringatan tersebut, Alex hanya menyaksikannya dari jauh. Wartawan TEMPO Akmal Nasery Basral mewawancarai lelaki kelahiran Serui, Papua, 55 tahun silam itu lewat sambungan telepon internasional Jumat pagi pekan lalu. Berikut ini petikan wawancaranya yang dijawab dengan semangat.
Front Kedaulatan Maluku-Republik Maluku Selatan dituding berada di belakang kerusuhan ini. Komentar Anda?
Saya mengikuti perkembangan di Ambon dari televisi. Tuduhan bahwa kami yang menyebabkan (kerusuhan) itu sangat tendensius. Kami hanya memperingati Proklamasi 25 April seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami mengibarkan bendera secara damai dan membacakan teks proklamasi. Ini sebuah gerakan moral tanpa kekerasan yang setiap tahun kami lakukan. Kami bukan seperti Gerakan Aceh Merdeka di Aceh yang mengangkat senjata dan melakukan perlawanan frontal terhadap pemerintah Indonesia. Justru kami yang terus-menerus ditekan pemerintah Indonesia. Kalau gerakan moral seperti yang kami lakukan disebut ingin memberontak, lantas apa sebutan yang cocok untuk Gerakan Aceh Merdeka?
Faktanya, perayaan itulah yang membuat Ambon kembali bergolak?
Itu logika yang dikembangkan oleh Jakarta. Apakah memang pada saat perayaan terjadi kerusuhan? Tidak! Kami justru dijebak dan semua tahu siapa yang bermain. Peran tentara dan polisi sangat besar di sini. Kenapa aparat bertindak begitu terhadap warga sipil?
Ada tiga orang anggota Brimob yang baru menjejakkan kaki di Ambon langsung tewas ditembak sniper. Itu berarti aparat juga menjadi korban.
Bukan hanya Brimob yang menjadi korban. Ada ibu-ibu hamil, ibu-ibu yang sedang menyusui. Ini menyedihkan. Itu pekerjaan siapa? Siapa sniper itu? Masa, mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dengan mengorbankan banyak nyawa sipil, penduduk yang tidak berdosa? Itu logika seperti apa?
Bukankah pengibaran bendera seperti itu sudah dilarang?
Siapa yang melarang?
Yang melarang adalah pemerintah.
Begitulah pemerintah Indonesia bekerja, selalu dengan larangan. Kami ini gerakan moral, gerakan damai. Kami tak mengangkat senjata, apa perlunya dilarang?
Permadi dari PDIP bilang, seharusnya pendukung Republik Maluku Selatan langsung ditangkap, bahkan ditembak, bukan digelandang ke kantor polisi dengan jalan kaki. Anda setuju?
Ini juga yang membuat saya heran. Sebelum ini, simpatisan kami selalu dibawa naik truk ke kantor polisi. Kenapa sekarang disuruh jalan kaki? Apa yang diinginkan aparat dengan cara seperti ini? Sepertinya ini disengaja, ada sebuah desain untuk menjebak kami.
Anda masih saling kontak dengan Moses Tuwanakotta (Sekretaris Jenderal Eksekutif Front Kedaulatan Maluku yang sudah ditahan polisi?Red.)?
Hanya lewat teman-teman yang lain. Saya tak bisa kontak langsung dengan Moses sekarang. Tapi saya tahu perkembangan di sana secara detail meski tidak lewat Moses.
Apakah isu Republik Maluku Selatan masih mendapat respons positif dari masyarakat?
Begini saja, kita sudahi saja segala macam bentuk diplomasi, negosiasi, dan hal-hal semacam itu. Itu cuma buang-buang waktu. Bikin saja referendum, biarkan rakyat bicara, biarkan mereka memilih. Itu lebih efektif. Kenapa pemerintah Indonesia takut melakukan itu? Kenapa pemerintah Republik Indonesia bisa melakukan hal seperti itu untuk rakyat Timor Leste, tapi tidak untuk rakyat Maluku?
Anda yakin opsi seperti ini akan diterima pemerintah?
Pemerintah Indonesia harusnya lebih serius memikirkan apa yang terjadi di Ambon. Banyak masyarakat sipil yang mati. Jangan hanya sibuk memikirkan pemilu, calon anggota legislatif, siapa yang akan jadi presiden. Kalau masalah Ambon ini dibiarkan berlarut-larut dan terus menjadi perbincangan internasional, pengamat internasional akan berdatangan ke sana, dan itu merugikan citra pemerintah sendiri. Dengan referendum itulah masalah Maluku diselesaikan secara menyeluruh.
Siapa calon presiden yang menurut Anda bisa mengakomodasi keinginan untuk melakukan referendum ini? Anda mengharapkan figur tertentu untuk menang?
Saya tidak tahu. Siapa pun Presiden Indonesia nanti, dia seharusnya memikirkan matang-matang soal referendum. Jangan hanya bisa menyalahkan Front Kedaulatan Maluku berada di balik semua masalah yang terjadi di Ambon, padahal itu jelas merupakan bukti kesalahan pemerintah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo