Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila Jakarta tidak mendengar dentum granat yang meledak di Aceh, itu bukan berarti konflik di sana tak berimbas ke Ibu Kota. Setidaknya persengketaan di Bumi Serambi Mekah itulah yang dikabarkan menggoyang kursi Sudi Silalahi, Sekretaris Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Sejak pertengahan April lalu, Sudi dikabarkan akan dicopot dari jabatannya. Alasannya, perwira tinggi TNI berpangkat letnan jenderal itu segera memasuki masa pensiun. "Saya kira keputusan presiden soal pemberhentian itu akan dikeluarkan minggu depan," kata Menteri-Sekretaris Negara Bambang Kesowo, seusai sebuah rapat terbatas, Kamis tiga pekan lalu.
Tapi, hingga Jumat pekan lalu, keputusan itu tak juga melayang dari Istana ke Jalan Merdeka Barat, kantor Menko Polkam tempat Sudi bekerja. Tanpa pemberhentian resmi, sang Jenderal tetap berkantor seperti biasa.
Rencana pencopotan Sudi karena alasan pensiun mengundang tanda tanya. Inspektur Jenderal Polisi Demak Lubis?Deputi IV Menko Polkam yang rencananya akan menempati posisi Silalahi?justru dua tahun lebih senior dibandingkan dengan Sudi. Setelah penambahan masa tugas selama dua tahun, Demak sejatinya harus pensiun Juni 2004?sebulan sebelum masa pensiun Sudi tiba.
Sumber TEMPO, seorang pejabat Istana yang tak ingin disebut namanya, menyebutkan bahwa alasan pemberhentian Sudi memang bukan usia. Juga bukan kedekatannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Polkam yang mundur karena menjadi calon presiden. "Akar persoalannya bermula dari Aceh," kata sumber itu.
Menurut dia, persoalannya terkait dengan makin panasnya hubungan antara dua otoritas penguasa Aceh saat ini: Gubernur Abdullah Puteh dan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Mayjen Endang Suwarya. Puteh merasa, Endang?yang memegang kendali Aceh dalam masa darurat militer?sedang menyudutkannya lewat Operasi Penegakan Hukum yang ditandai dengan pemberantasan korupsi di Tanah Rencong tersebut.
Perang dingin di antara dua otoritas itu telah dimulai awal Maret lalu. Ketika itu, dalam sebuah pertemuan terbuka antara Tim Monitoring Terpadu Aceh, yang diwakili ketua tim Mar'ie Muhammad, dan Sudi Silalahi di Balai Teuku Umar, Banda Aceh, tercipta suasana panas.
Pemicunya adalah pernyataan Puteh. Bekas Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia itu mengeluh dana APBN provinsi Aceh sebesar Rp 10 triliun saat ini harus dipotong seperempatnya untuk Universitas Syah Kuala, Kepolisian Daerah Aceh, Kejaksaan Tinggi, Kodam Iskandar Muda, dan sejumlah institusi lainnya.
Pernyataan itu menuai reaksi, terutama dari Panglima Kodam Iskandar Muda selaku penguasa darurat militer. Saat itu Endang menyatakan akan meminta stafnya membeberkan jumlah uang yang mereka terima. "Dibuka saja ke media agar tak ada yang punya pikiran macam-macam. Misalnya bahwa Kodam terlibat (penyelewengan)," kata Endang saat itu.
Sebulan setelah pertemuan itu, Endang menggebrak. Tengah hari pada 10 April lalu, Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Aceh, Teuku M. Lizam, dicokok satuan tugas intelijen PDMD di kantornya. Lizam ditangkap dengan tuduhan melakukan korupsi proyek pengadaan mesin listrik sebesar Rp 30 miliar.
Kontan, Puteh terkejut. Apalagi, setelah itu, pihak PDMD menangkap lagi Kepala Dinas Perhubungan Nanggroe Aceh Darussalam, Usman Budiman. Kepada penyidiknya, Usman mengakui keterlibatan Puteh dalam kasus tersebut. Hari itu juga Puteh dikabarkan langsung terbang ke Jakarta dengan maskapai kelas dua tanpa tertera di daftar manifes penumpang.
Dugaan Gubernur Puteh melakukan penyelewengan keuangan negara sebenarnya bukanlah hal baru. Sederet kasus dugaan korupsi yang melibatkan dia atau kalangan dekatnya sudah lama berembus di Aceh. Sebut saja proyek pengadaan pesawat Seulawah NAD, yang belakangan tidak terdengar lagi kabar-beritanya. Padahal proyek ini telah menghabiskan lebih dari Rp 10 miliar. Selain itu, sang Gubernur diduga terkait dengan penggelembungan harga proyek Kapal Pulo Rondo serta dugaan mark-up pembelian helikopter Mi-2 asal Rusia (lihat Keserempet Heli Rusia). Dua kasus terakhir itu saat ini sedang jadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada titik inilah Sudi dianggap terkait perseteruan ini. Sebagai Wakil Ketua Tim Monitoring yang memiliki seabrek data penyimpangan uang negara di Aceh, Sudi dianggap menyokong penuh gebrakan Endang Suwarya. Dalam rekomendasi tim yang dibuat untuk Kantor Menko Polkam, Sudi dan kawan-kawan bahkan menyimpulkan telah terjadi penyimpangan yang parah dalam penggunaan dana Operasi Terpadu. Wajar saja, "Dalam temuan kami, selama 2003 paling tidak terdapat 263 kasus korupsi dengan kerugian negara sekitar Rp 2,760 triliun," kata aktivis Solidaritas Masyarakat Antikorupsi Aceh, Kamal Farza.
Di sisi lain, niat PDMD memeriksa Puteh pun sebenarnya bukan baru terbit kali ini. Di awal penerapan darurat militer Mei tahun lalu, Kodam Iskandar Muda pernah memanggil sejumlah wartawan. Saat itu Kodam menyodorkan data dugaan korupsi yang dilakukan Puteh. Namun, entah mengapa, semangat yang pernah menyala di jajaran PDMD itu sempat lenyap di tengah jalan.
Puteh menguat karena dukungan politik Jakarta? Entahlah. Yang pasti, ia memang bukan politisi kemarin sore. Menghadapi berbagai serangan, ia dan pendukungnya mencari sokongan pusat. Pekan lalu, melalui penasihat hukumnya, O.C. Kaligis, Puteh meminta perlindungan kepada Ketua DPR Akbar Tanjung. Menurut Kaligis, penanganan tindak pidana korupsi di Aceh adalah kewenangan Kejaksaan Agung dan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, bukan PDMD.
Perjuangan itu bukan tanpa hasil. Nyatanya, selain Lizam dilepas karena dianggap tak ada cukup bukti, Puteh tampaknya akan lolos dari jerat kali ini. "Sejauh ini, belum ada indikasi keterlibatan Gubernur Abdullah Puteh dalam kasus-kasus korupsi di Aceh," kata Kepala Polda Nanggroe Aceh Darussalam, Inspektur Jenderal Polisi Bachrumsyah, Kamis lalu. Yang tinggal jadi tersangka hanyalah William Taylor, kontraktor pengadaan mesin listrik tersebut.
KPK, yang memiliki wewenang besar untuk menelisik kasus Puteh, memilih bersikap ekstra-hati-hati. "Saat ini baru pada tahap supervisi, termasuk bantuan teknis penyelidikan dan penyidikan," kata Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, "Tapi, bila diminta lebih dari itu, tentu kita siap."
Dengan pernyataan Kepala Polda Aceh tersebut, bisakah Puteh dikatakan menang dalam perseteruan ini? Belum tentu. Sudi pun belum bisa disebut pecundang. Faktanya, ia masih tetap bertugas di Merdeka Barat.
Kalangan dekat Sudi menduga sejumlah kejanggalan dalam surat pemberhentiannya sebagai Sekretaris Menko Polkam yang dikeluarkan Hari Sabarno bisa membuat Sudi lebih lama bertahan di sana. Ada dugaan surat itu dibuat di Kantor Departemen Dalam Negeri, bukan di Kementerian Menko Polkam?sesuatu yang secara administratif terasa janggal.
Surat bernomor R-14/Menko/Polkam/4/2004 itu dianggap tak seperti lazimnya surat yang dikeluarkan Kantor Menko Polkam. Di antara kejanggalan itu adalah kata "yang terhormat" tak diterakan di awal surat. Frasa "Presiden RI" juga ditulis tanpa diikuti nama Megawati Soekarnoputri. Yang juga janggal: surat juga meminta agar Sudi dikembalikan ke Markas Besar TNI?sesuatu yang tak lazim dipakai di Kantor Menko Polkam.
Benarkah kabar tersebut? "Aduh, tolong jangan tanya-tanya sayalah," kata Sudi saat dicegat di kantornya. Menurut stafnya, Sudi hanya bersedia memberikan penjelasan setelah mendapat keputusan presiden.
Abdullah Puteh berkali-kali membantah perihal korupsinya di Provinsi Aceh. Ia juga menyangkal ke Jakarta pertengahan bulan lalu karena takut dicokok jajaran PDMD. "Saya berangkat karena mendapat undangan mendadak dari Sekjen Depdagri," kata Puteh kepada wartawan. Namun ia membenarkan namanya tidak tertera dalam manifes karena menggunakan tiket orang lain. Selebihnya, Puteh memilih diam. "Nanti, nanti saja saya kasih keterangan," katanya saat dihubungi di sela-sela kesibukan konvensi Golkar beberapa waktu lalu.
Menteri Dalam Negeri dan Menko Polkam ad interim Hari Sabarno juga menghindar saat dimintai keterangan soal kabar bahwa surat pengajuan pencopotan Sudi dibuat di Kantor Departemen Dalam Negeri. "Saya tidak mau berkomentar soal itu," kata Hari seusai rapat koordinasi Polkam, Kamis lalu. Pada kesempatan lain, ia memberikan komentar pendek. "Di Kantor Menko Polkam pun saya sering menandatangani surat yang dikirim dari Depdagri," katanya sebelum masuk mobil, "Saya ini ya dua-duanya. Ya Menko Polkam, ya Mendagri."
Tak mudah menebak ke mana akhirnya lakon dari Tanah Jeumpa ini akan berakhir. Santer terdengar persoalan Puteh ini menjadi salah satu syarat yang diajukan Hamzah Haz untuk dapat berkoalisi dengan Mega. "Pak Hamzah meminta Presiden mempertimbangkan hal itu," kata koordinator staf ahli Wakil Presiden, Laode Kamaluddin.
Darmawan, Yuswardi, Dedi Sinaga, Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo