Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -- Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan, perang saat ini bukan sekadar perang tembak-tembakan menggunakan senjata. Ada juga, kata dia, perang yang dilakukan lewat dunia digital atau siber.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenderal Kristomei mengklaim tugas baru TNI di ruang siber dalam Undang-Undang TNI akan relevan dengan perkembangan zaman. "Peran TNI membantu memperkuat keamanan digital di negara ini menjadi relevan untuk masa mendatang," ujar dia dalam diskusi lewat siniar Zoom Meeting pada Selasa, 25 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan RUU TNI pada Kamis, 20 Maret 2025 melalui rapat paripurna DPR. Poin perubahan dalam Undang-Undang TNI antara lain perluasan jabatan sipil untuk militer aktif dari 10 menjadi 14 kementerian/lembaga, perpanjangan usia pensiun, dan tugas pokok. Salah satu dari 14 kementerian/lembaga itu adalah Badan Siber dan/atau Sandi Negara.
Kristomei menjelaskan, fokus utama TNI dalam tugas ini adalah cyber warfare atau peperangan siber dan cyber defense (pertahanan siber). Dia mengatakan, TNI memerlukan payung hukum melalui Undang-Undang TNI ini untuk melegalkan dan mengamankan peran TNI dalam menghadapi ancaman siber.
"Karena saat ini seiring dengan meningkatnya serangan yang mempertaruhkan proses strategis," ujar dia. Ia menepis kekhawatiran keterlibatan TNI dalam keamanan siber ini bisa membatasi kritik terhadap pemerintah di ruang digital.
Sebagai informasi, liputan Tempo yang terbit pada 21 Maret 2025, tugas TNI di lingkup siber ini bisa ditafsirkan secara semena-mena. Sebab, istilah ancaman siber di sektor pertahanan tidak didefinisikan secara jelas serta tak ada indikator dan batasan ancaman siber di sektor pertahanan dalam Undang-Undang TNI.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum mengatakan, TNI dapat saja memaknai ancaman siber di sektor pertahanan sebagai propaganda dan perang informasi di ruang digital. Hal ini, kata Nenden, berujung pada pemaknaan bahwa kritik terhadap negara dianggap sebagai bagian dari propaganda asing.
Kekhawatiran Nenden itu berpijak pada respons TNI dalam menanggapi penolakan revisi Undang-Undang TNI di ruang digital. Dalam beberapa akun Instagram TNI, mereka menanggapi serius kritik masyarakat terhadap revisi UU TNI. Mereka bahkan meluncurkan narasi tandingan dengan menyebut para penentang revisi adalah antek-antek asing. "Mereka justru menggunakan narasi 'antek asing', 'membela kepentingan asing', atau 'tidak mau Indonesia kuat', dan lain-lain untuk menangkis narasi penolakan RUU TNI," ujar Nenden.
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam tulisan ini.