Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -- Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyatakan prajurit yang bertugas di Papua selalu bertindak profesional dalam menangani konflik bersenjata. Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi menjelaskan, sikap profesional yang dimaksud adalah tetap mengedepankan prinsip penegakkan hukum dan hak asasi manusia, terutama jika harus berhadapan dengan milisi anak. "Komitmen kami adalah disiplin dan berhati-hati untuk mencegah jatuhnya korban jiwa, khususnya anak-anak yang tidak berdosa," ujar Kristomei saat dihubungi pada Selasa, 15 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Kristomei, milisi anak di Papua memang menjadi tantangan bagi para prajurit yang bertugas. Apalagi, kata dia, anak-anak tersebut menjalankan tugas sebagai milisi atas paksaan dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dia menegaskan, TNI berpegang pada pendekatan dialog dalam menangani konflik di Papua. Pendekatan bersenjata, kata dia, hanya akan dilakukan sebagai opsi terakhir dan selektif. "Kami mematuhi hukum humaniter internasional," tutur Kristomei.
Keberadaan milisi anak di Papua diketahui dari penjelasan Frits Ramandey, Kepala Kantor Sekretariat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) daerah Papua. Frits yang pernah berkomunikasi dengan TPNPB melalui perantara membenarkan adanya milisi anak di Papua. Dia mengatakan anak-anak tersebut merupakan anak-anak yang masih memiliki ikatan kekeluargaan di antara para milisi. "Pelibatan mereka itu secara tidak langsung," ujar Frits.
Frits mendesak TNI-Polri maupun TPNPB-OPM untuk mematuhi aturan hukum humaniter internasional, yaitu tidak melibatkan atau mengambil tindakan tegas terhadap milisi anak. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 menyebutkan, selain perempuan dan orang lanjut usia, anak-anak adalah subjek yang kedudukannya amat rentan dan lemah dalam situasi konflik bersenjata.
Pasal 77 di protokol tambahan Tahun 1977 Konvensi tersebut juga mengatur, anak-anak sebelum berusia 15 tahun tidak boleh didaftarkan menjadi kombatan. Serta, apabila tertangkap, kombatan anak di bawah 15 tahun harus diperlakukan sesuai dengan usianya. Ketentuan tersebut juga menegaskan, kombatan yang berusia di bawah 18 tahun tidak boleh dijatuhi hukuman mati.
Di sisi lain, Konvensi Hak Anak 1989, khususnya Pasal 1, 2, 3, 4, dan 6, mengatur kewajiban negara untuk tidak membolehkan anak berusia di bawah 18 tahun terlibat konflik bersenjata. Konvensi ini memerintahkan negara menjamin hak hidup bagi anak sebagaimana Deklarasi HAM Internasional.
Dalam kesempatan terpisah, juru bicara markas pusat TPNPB-OPM Sebby Sambom mengatakan, milisi TPNPB tidak menyakiti orang asli Papua, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan. Dia juga mengatakan, keberadaan anak-anak di markas TPNPB-OPM bukan dilakukan atas perekrutan. Selain sebagai milisi, anak-anak di markas tersebut adalah mereka yang pernah menjadi korban kekerasan aparat di Papua. "Kami tidak mungkin menembak generasi asli Papua," ujar dia.
Pilihan Editor: