Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perjuangan dari Negeri Perantauan

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACEH, negeri yang teraniaya itu, telah melahirkan sejumlah pelarian dan simpatisan di negeri orang. Di perantauan, pelarian dan simpatisan itu lalu membangun basis perjuangan dan perlawanan. Ada yang radikal seperti Aceh Merdeka, ada pula yang moderat. Yang moderat misalnya orang Aceh di New York, yang membentuk Aceh Forum New York. Didirikan pada 27 Maret 1998, forum ini diketuai Jafar Sidik, putra Aceh yang pernah menjadi pengacara di Lembaga Bantuan Hukum Medan dan sejak tiga tahun lalu menetap di Amerika, setelah dikejar-kejar aparat seusai menyelidiki kasus pembantaian di Aceh. Berbeda dengan gerakan separatis semacam Aceh Merdeka pimpinan Hasan Tiro, Aceh Forum--yang mendapat dukungan dari banyak lembaga internasional--tidak semata-mata bertujuan membuat Serambi Mekah itu independen, lepas dari Indonesia. Mereka bahkan mengaku tidak ada hubungannya dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). "Kami membangun forum ini untuk kampanye memberitahukan kepada masyarakat internasional bahwa pelanggaran HAM memang terjadi di Indonesia," kata Jafar, yang beristrikan Jacqueline A. Siapno, profesor asal Filipina yang menulis disertasi tentang kekerasan terhadap wanita Aceh. Forum tersebut, katanya, semata-mata bertujuan menguatkan dan memberdayakan rakyat Aceh. Aktivitas ini bukan dimaksudkan untuk berbicara soal kemerdekaan, melainkan bagaimana membangun solidaritas antara masyarakat Aceh di dalam negeri dan di luar negeri. Jafar mengungkapkan, forum yang dipimpinnya ini bukan organisasi massa, jadi tak punya anggota. Mereka cuma mengadakan kegiatan yang mengundang orang. Kegiatan PR itu mereka rasa harus diadakan karena sudah sembilan tahun lebih kasus Aceh tak kunjung usai. "Masyarakat internasional tidak tahu soal ini," ujar Jafar. Karena itu, mereka juga tak peduli kalau ada pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Padahal, dalam jangka sembilan tahun itu, korban yang jatuh sudah begitu banyak. Amnesti Internasional dalam laporan 1993 menyebutkan bahwa sepanjang 1989 sampai 1993 saja, 2.000 orang hilang, dibunuh tanpa hak, atau ditahan secara sewenang-wenang dan disiksa dalam operasi militer. Untuk alasan "agar masyarakat internasional tahu" itulah mereka lantas mendatangi markas Pentagon di Washington, DC, 22 Desember silam. Tidak tanggung-tanggung, mereka diterima langsung Direktur Pentagon Urusan Asia Pasifik, Mayjen Wallace C. Gregson, dan asistennya, Derek J. Michell. Kepada Gregson, rombongan Aceh Forum menyampaikan bahwa bantuan militer Amerika telah dipraktekkan tanpa batas di provinsi paling utara Indonesia itu. "Jadi, kami memberi tahu mereka bahwa apa yang terjadi di Aceh juga merupakan andil mereka," kata Jafar. Tentu saja langkah forum ini tak hanya sampai Pentagon. Mereka juga menjalin kerja sama dengan teman-teman di Eropa. Sekarang bahkan sudah terbentuk apa yang disebut International Forum for Aceh. Ini merupakan suatu wadah kerja sama antarorang Aceh di seluruh dunia. Kantornya tersebar di Jepang, Kanada, dan London. Jafar menuturkan bahwa Aceh Forum mencoba mempersiapkan suatu database tentang kasus-kasus yang siap pakai untuk masyarakat internasional. Mereka juga sedang memikirkan upaya hukum untuk menuntut pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap tragedi Aceh dari jauh. "Kami sedang membicarakan kemungkinan penuntutan terhadap Mobil Oil karena ada indikasi keterlibatan mereka," tutur Jafar. Mobil Oil, salah satu perusahaan minyak Amerika yang punya tambang di daerah Aceh, dituduh oleh kalangan lembaga swadaya masyarakat dan warga Aceh ikut bertanggung jawab dalam kasus pelanggaran HAM di sana. Belakangan, Aceh Forum bercita-cita membentuk NGO truth commission, guna membantu perjuangan hukum orang Aceh yang merasa dirugikan oleh ABRI ataupun pemerintah Indonesia. Gagasan ini didapatkan setelah mereka belajar dari kasus gugatan Helen Todd, warga Selandia Baru, terhadap bekas Panglima Daerah Militer IX Udayana, Mayjen Sintong Pandjaitan--orang yang paling bertanggung jawab atas kematian anaknya di Timor Timur. Sintong akhirnya harus membayar US$ 14 juta kepadanya. Tentu saja semua ikhtiar tadi tidak gampang. Jafar sendiri mengakui, perjuangan itu terhitung berat. Pertama-tama, mereka harus mengubah persepsi orang: bahwa masyarakat Aceh bukan kelompok fundamentalis seperti yang digembar-gemborkan pemerintah. Lalu, mereka juga mesti berjuang mengenyahkan rasa takut yang melanda rakyat Aceh terhadap ABRI dan pemerintah. Karena itu, Jafar dan teman-temannya sadar entah kapan mereka sempat menikmati perjuangan yang mereka rintis dari negeri seberang ini. Wicaksono dan Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus