Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tuntutlah Ilmu Hingga ke Pesantren

Pendidikan pesantren adalah alternatif pendidikan masa depan. Mereka mementingkan kemandirian dan orientasi pada kompetensi. Tapi manajemen pesantren di Indonesia masih membutuhkan pembenahan.

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

-------------------------------------------------------------------------------- MARYAM Az-Zahra baru duduk di kelas empat sekolah dasar. Di usianya yang belum genap sembilan tahun, ia sudah memiliki keputusan mantap. Selepas SD, ia ingin masuk pesantren. Dan anak perempuan yang selalu menjadi juara kelas itu juga sudah tahu pesantren mana yang dituju: Pesantren Al-Zaytun, di Desa Mekarjaya, Indramayu, Jawa Barat. Saking bulatnya niat Zahra, dia mulai menghafal Juz 'Amma—karena memang demikianlah persyaratan masuk pesantren itu. Dengan bangga Zahra mengaku telah hafal 18 dari 32 surat pendek. Mengapa Zahra, anak Jakarta kota metropolitan itu, kukuh ingin meneruskan sekolah di tempat tandus seperti Indramayu dan tinggal di asrama selama enam tahun? "Karena pesantren itu bagus," kata Zahra, yang sudah membaca artikel-artikel di media massa tentang Pesantren Al-Zaytun. Pesantren Al-Zaytun menempati area seluas 1.200 hektare, dengan 200 hektare untuk sarana pendidikan dan 1.000 hektare untuk pertanian dan peternakan, yang hasilnya dipakai untuk menghidupi penghuni pesantren. Tiga gedung megah—dengan kusen kayu jati, lantai marmer hijau, dan dinding merah bata—dengan arsitektur Timur Tengah, yang merupakan tempat belajar dan asrama, telah berdiri menggapai langit. Fasilitasnya? Lengkap. Mulai perpustakaan, laboratorium komputer dan bahasa, pasar swalayan mini, warung telekomunikasi, lapangan olahraga, ruang musik, hingga alat dapur dan cuci pakaian merek Electrolux sudah stand-by menanti para santri. Menurut Bambang Abdul Syukur, ketua proyek pembangunan Al-Zaytun, pembangunan di pesantren ini—sudah menampung 1.456 santri dari Indonesia dan mancanegara, seperti Malaysia—baru berjalan sekitar dua persen. Nantinya, setiap tahun akan bertambah satu gedung dengan fasilitas belajar lengkap hingga bisa menampung 20.400 murid. Murid di Al-Zaytun digembleng dari subuh hingga lepas isya dengan ilmu kurikulum umum dan ilmu agama serta kegiatan ekstrakurikuler. Bahasa asing standarnya adalah bahasa Inggris dan Arab. Dan yang wajib dikuasai adalah bahasa Mandarin (bahasa perdagangan dunia) dan Parsi (bahasa hukum Islam) serta satu bahasa asing pilihan: Jepang atau Prancis. Untuk transportasi antarbagian pesantren, hanya sepeda yang boleh digunakan. Sementara itu, televisi tidak diperbolehkan. "Kami ingin mencetak sumber daya manusia yang siap pakai dan siap menghadapi tantangan di masa depan," kata Haji Syarwani, salah satu pemodal Al-Zaytun. Melihat gambaran tentang Al-Zaytun, tampaknya, pendidikan pesantren adalah pendidikan yang ideal, terutama untuk alaf depan. Sayangnya, gambaran pesantren di Indonesia justru bukan seperti Al-Zaytun. Citra pesantren sebagai asrama pendidikan yang kumuh dengan pakaian yang bergelantungan ternyata masih lebih kuat dibandingkan dengan pesantren modern seperti Al-Zaytun. "Pesantren sering diidentikkan dengan keterbelakangan dan antimodernitas," demikian tulis jurnal pendidikan Madrasah. Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Husni Rahim, peran pesantren sebagai lembaga pendidikan telah disingkirkan oleh pemerintah Orde Baru. Pesantren tidak diikutkan dalam program pendidikan pemerintah seperti wajib belajar sembilan tahun. "Perlakuan pada pesantren tidak adil," kata Husni. Jatah dana pemerintah hanya diambilkan dari Departemen Agama dari bidang yang kecil, bukan dari pos pendidikan. Kalaupun ada dukungan dana pada pesantren, seperti yang ditulis Madrasah, biasanya terselip motif politik, seperti upaya mencari dukungan dari kiai tertentu. Istilah safari Ramadan dengan jadwal kunjungan dari pesantren ke pesantren oleh bekas Menteri Penerangan Harmoko selama Orde Baru merupakan contoh upaya pemerintah mencari aliansi dengan pesantren. Sokongan pemerintah terhadap pesantren biasanya makin gencar menjelang peristiwa khusus seperti pemilihan umum. Di pihak lain, toh pesantren harus patuh kepada pemerintah. Bagi pesantren yang menolak menerapkan kurikulum nasional SLTP dan SLTA, ijazahnya tidak akan diakui secara nasional. Contohnya, lulusan Pondok Pesantren Gontor dan Darul Rahman tidak bisa kuliah di perguruan tinggi di Indonesia karena ijazahnya tidak diakui pemerintah. Padahal, negara seperti Mesir, Arab Saudi, bahkan Amerika Serikat dan Australia justru menerima lulusan Gontor. Terlepas dari citra yang "tradisional" dan perlakuan pemerintah Orde Baru terhadap pesantren, toh pendidikan pesantren bertahan, bahkan berkembang. Menurut data Departemen Agama, dari sekitar 4.000 pesantren yang tersebar di Indonesia dengan hampir 700 ribu santri pada 1977, jumlahnya telah berkembang menjadi 9.400-an pesantren dengan 1,8 juta santri pada 1997. Bahkan, mulai 1970-an, agar berbaur dengan masyarakat, pesantren-pesantren mengembangkan kerja sama dengan masyarakat setempat, misalnya di bidang pertanian dan perikanan. "Itu karena pesantren merupakan infrastruktur budaya umat Islam di Indonesia. Jadi, kalaupun ada perubahan, (pesantren) mampu menyesuaikan diri," tutur Djohan Effendi, pengamat pendidikan Islam dari Universitas Deakin, Victoria, Australia. Itu membuktikan bahwa pesantren punya keunggulan, yaitu sistem pendidikan yang mandiri. Itulah sebabnya setiap pesantren memiliki pola pengajaran yang unik. Kekuatan pesantren yang lain adalah orientasi pada penguasaan materi (mastery learning), sementara pendidikan umum di Indonesia tidak mengikuti pola tersebut. Tidak mungkin seorang lulusan pesantren tidak hafal Quran atau tidak mungkin lulusan Gontor tidak fasih berbahasa Arab dan Inggris. "Kalau sistem itu berlangsung baik, inilah proses belajar yang sesungguhnya," kata Husni. Nah, yang juga penting, biaya pendidikan pesantren terhitung sangat murah. Untuk pendidikan enam tahun, lengkap dengan biaya hidup, kesehatan, dan tempat tinggal, di Al-Zaytun, hanya perlu Rp 6 juta—atau sekitar Rp 80 ribu per bulan. Bandingkan dengan biaya sekolah di Jakarta sekelas Al-Azhar: perlu biaya per bulan Rp 80 ribu, tanpa pondokan dan makan, dan masih ditambah uang pangkal Rp 4 juta. Yang terpenting, pendidikan pesantren menawarkan akhlak yang baik. "Sepandai apa pun, kalau kepribadiannya jelek, pasti tidak naik kelas," kata K.H. Hasan Abdullah Sahal, salah satu pemimpin Gontor. Pelanggaran seperti mengganja, otomatis, akan membuat sang murid dikeluarkan dari pesantren. Lalu, apa yang perlu diperbaiki agar pendidikan pesantren mampu beradaptasi ke masa yang akan datang? Menurut Husni, yang perlu dibenahi adalah sistem manajemen pesantren. Selama ini, manajemen pesantren berorientasi pada keluarga. Akibatnya, jika ada kiai terkenal yang meninggal dunia, pamor pesantren itu ikut meredup. Selain itu, tenaga pengajar yang tersedia masih kurang berpengalaman. "Anak-anak pesantren harus terbiasa dengan multimedia, misalnya," kata Djohan. Dan itu membutuhkan tenaga pengajar atau keahlian khusus. Selain itu, menurut Djohan, agar pesantren tetap kuat di masa mendatang, pemerintah harus lebih longgar dan tidak memaksakan penerapan keseragaman. Istilah pesantren tradisional atau modern pun sebaiknya tak perlu dipersoalkan. Yang penting, menurut Husni, pemerintah membuat semacam standar kompetensi. Beberapa kelemahan pendidikan pesantren sebetulnya tak lepas dari persoalan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Tapi kini nyatanya pesantren sudah mulai dilirik sebagai tujuan melanjutkan pendidikan oleh anak-anak Jakarta. Ini baru menarik. Maklum, setelah terbiasa dengan yang berkilau, heboh, dan glamor, mereka kemudian berpindah ke suatu suasana yang sublim nun di desa. Itu tentu merupakan sebuah keputusan besar. Dengar kata anak Jakarta ini: "Saya ingin jadi orang pintar tapi punya akhlak baik," tutur Aliyah. Gadis kecil ini baru berusia 12 tahun. Semula dia kepingin bergabung dengan salah satu sekolah terbaik, tapi urung. Lingkungan pergaulan di Jakarta, yang menurut dia sudah bobrok, membuat Aliyah memilih pendidikan di Pesantren Al-Zaytun. Dan Aliyah adalah anak Jakarta. Bina Bektiati, Dwi Arjanto, Rinny Srihartini (Bandung), Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus