SEKALIPUN Prof. Amiruddin, rektor Universitas Hasanuddin
Ujungpandang, sudah menganjurkan agar jangan merasa rendah diri
terhadap perguruan tinggi di Jawa, universitas-universitas di
pulau itu nampaknya masih akan tetap jadi favorit. Di pulau yang
menurut Prof. Sutami, Menteri PUTL, sembilan tahun lagi semua
penduduknya akan terkena penyakit "bingung" itu, agaknya masih
akan kebanjiran calon mahasiswa dari seberang. Maklumlah di sana
paling tidak ada lima universitas negeri yang tempo hari pernah
dijuluki centers of excellence. Sehingga sudah bisa dipastikan
ke lima perguruan tinggi yang lima tahun lalu menyatukan diri ke
dalam Sekertariat Kerjasama Antar Lima Universitas itu (SKALU --
ITB, IPB, UI, Gama dan Unair), bakal mendapatkan peminat yang
paling banyak.
Lewat ujian bersama yang diadakan mulai tahun ini, diperkirakan
pelamar akan mencapai 40 ribu orang. "Sedangkan tempat yang
tersedia di lima universitas itu sekitar 6 ribu tempat", ucap
Pramutadi, Ketua Panitia Ujian Bersama, beberapa waktu yang
lalu. Yang jadi masalah nampaknya bukan hanya soal tempat yang
terbatas, tapi kini banyak orang tua yang bingung, apa dan
bagaimana ujian SKALU yang baru pertama kali ini dilaksanakan
pada tanggal 13 Desember ini.
Ranking
Menurut Pramutadi, ujian SKALU membuat calon mahasiswa ke lima
universitas negeri yang terletak di lima kota di Jawa itu, tak
usah payah-payah datang ke perguruan tinggi yang diinginkan.
Misalnya, anak Surabaya yang ingin masuk ke ITB, tak usah datang
ke Bandung. Atau anak Yogyakarta yang ingin ke IPB, tak usah
datang ke Bogor. Begitu juga sebaliknya. Sehingga proses ujian
masuk serupa itu, selain menghemat waktu dan tenaga si calon
mahasiswa, sekaligus juga menghemat biaya. Calon mahasiswa yang
ikut ujian SKALU rencananya akan diberikan tanda prestasi berupa
penggolongan-penggolongan: A, B, C dan D. Nah, dengan kartu
penggolongan (ranking) itulah si calon mahasiswa mendaftarkan ke
fakultas dan universitas yang dipilihnya.
Apakah dengan kartu ranking itu otomatis si calon mahasiswa bisa
diterima? "Belum tentu", ucap Praradi. Itu masih tergantung
dari fakultas masing-masing, yang memiliki sendiri standar
ranking mana yang harus dimiliki calon mahasiswanya. Sehingga
nampaknya bisa saja FEUI mensyaratkan ranking A yang bisa
diterima, sementara Gama cukup ranking B. Atau bisa juga
masing-masing hanya menerima calon yang memiliki kartu ranking
A. Dan agaknya dalam soal ini belum ada kesepakatan bersama
antara anggota SKALU itu. Sebab kalau begitu caranya, bukan tak
mungkin di antara ke lima universitas itu pun akan terjadi
favoritisme. "Masyarakat jelas akan melakukan pilihan, sehingga
sementara ini memang masih akan menimbulkan kelas-kelas di dalam
SKALU sendiri", ucap Pramutadi mengakui. Tapi, katanya ekses
serupa itu mesti dilihat dari segi positifnya. Maksudnya agar
misalnya fakultas yang kebetulan dipilih untuk prioritas kedua
atau ketiga, mau mengangkat dirinya semutu fakultas yang
diminati banyak calon mahasiswa.
Ujian SLA
Namun, "ranking ini sampai sekarang sebenarnya belum begitu
jelas", ucap Kusmardiono, Sekretaris SKALU, "sebab logikanya,
mestinya yang lulus ujian SKALU harus diterima di
universitas-universitas SKALU". Dan memang belum jelas benar,
apakah kepada peserta ujian SKALU akan diberikan istilah "lulus
atay tidak lulus, diterima atau tidak diterima, dan berhak atau
tidak berhak". "Persoalan itu akan di Putuskan nanti setelah
selesai ujian SKALU", tambah Koesmardiyono. Yang jelas dengan
sistim ujian bersama itu, ingin dicari standarisasi mutu
"sehingga anak Menteri atau anak tak mampu asal berkwalitas,
boleh masuk".
Sementara itu waktu penutupan pendaftaran yang lebih cepat dari
pada waktu pengumuman lulus tidaknya EBTA (Evaluasi Belajar
Tahap Akhir) SLTA membikin para orang tua bertambah puyeng.
Sebab, bagaimana nanti bila setelah mendaftar (dan misalnya
lulus ujian SKALU nya) ternyata EBTA nya tidak lulus? Betrok
soal jadwal ini, menurut Kusmardiono, akibat jadwal EBTA yang
menurut SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah diharapkan
selesai Nopember, mundur hingga Desember. Sementara itu jadwal
ujian SKALU sudah terlanjur dibikin. Itulah sebabnya diambil
jalan kompromi: bagi mereka yang blum lulus EBTA pun dibolehkan
mendftar untuk ujian SKALU. Konsekwensinya nanti memang bisa
saja terjadi, yang lulus SKALU ternyata tidak lulus EBTA nya.
Kalau terjadi begitu, lantas bagaimana? Nampaknya belum ada cara
pemecahannya hingga kini. "Tapi ingat, kompromi dari kami itu
hanya untuk tahun ini saja, tahun depan mudah-mudahan lebih
rapi", ucap Koesrmardiyono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini