Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Saya juga bisa

Anak cacat mental ditampung di sekolah pendidikan luar biasa bagian c.pt merek indonesia mengadakan lomba gambar untuk anak-anak cacat mental. diperlukan bantuan dari pemerintah untuk anak cacat. (pdk)

11 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Wina, ibukota Austria, 7% dari bayi yang lahir selama tahun 1974 diketahui menderita cacat mental. Di Indonesia angka itu sulit diketahui. Selain fihak Departemen Kesehatan dan para dokter merasa "kurang tangan" untuk menyelidikinya, para orang tua yang mengetahui ada kelainan itu pada bayi atau anaknya biasanya lebih suka menutup-nutupi kekurangan yang ada pada anaknya. Salah satu cara adalah dengan mengasingkan anak itu dari pergaulan luar. Tapi ada juga orang tua yang mulai sadar cara menyembunyikan kenyataan itu bakal merugikan si anak sendiri. Maka mereka pun menyekolahkan anaknya ke Sekolah Pendidikan Luar Biasa (APLB) bagian C. Apakah anak-anak yang cacat mental itu perlahan-lahan bisa tertolong, banyak bergantung dari kesabaran para guru. Tapi kekurangan itupun banyak tergantung dari uluran tangan fihak luar. Salah satu uluran itu datang dari perusahaan farmasi PT Merek Indonesia yang baru-baru ini menyelenggarakan lomba gambar untuk anak-anak yang cacat mental. Dengan mengambil thema: "Lihat, saya juga bisa", sebanyak 300 murid dari berhagai SPLB antara 10 sampai 15 tahun telah mengikuti lonba gambar itu. Dan pekan lalu tim juri yang antara lain terdiri dari psikolog dan psikiater itu memutuskan 7 pemenang yang gambarnya akan dipajang dalam kalender 1977 perusahaan farmasi itu. Juga masing-masing pemenang mendapat hadiah sebuah tape recorder mungil dari sebuah kalender yang memuat hasil karya mereka. Bagaimana mengetahui seorang anak itu menderita cacat mental? Dalam diskusi seusai pembagian hadiah di Sanatorium Dharmawangsa Sabtu 27 Nopember lalu, dr Betty Hardjawana mengakui, untuk mengetahui adanya kekurangan itu membutuhkan kesabaran dari para orang tua. "Si anak harus bolak balik di check up", katanya. "Banyak orang tua yang merasa jengkel karena itu, tapi rasa putus asa perlu dicegah". Menurut Hardjawana, para dokter ahli biasanya akan melakukan pemeriksaan neuro pediatric (pemeriksaan fungsi syaraf pada anak-anak) dengan teliti. Tapi, katanya pula, ada juga cacat mental yang sudah bisa diketahui sejak si bayi dalam kandungan. Contohnya? "Seorang ibu penderita kencing manis yang lagi menlgandulng, perlu berobat dengan cara memeriksa air ketubannya", katanya Ada juga keluarga yang tak ingin ambil risiko anaknya kemudian rnendcrita cacat rnental. "Di Singapura misalnya, banyak juga para ibu yang melakukan aborsi setelah mengetahuli denganl pasti anaknlya bakal menlderita". Di Indonesia cara aborsi begitu memang belum laim. Tapi untuk menyekolahkan anak-anak di SPLB tentu hanya terbatas pada para orang tua yang mampu. Apalagi untuk melakukan pengecekan yang harus "sabar bolak balik" itu. Seorang dokter, apalagi yang spesialis, palitlg tidak memasang tarip Rp 2.000 sekali datang. Nah, dalam soal yang membutuhkan banyak kesabaran dan biaya itu, tak pelak lagi Pemerintah perlu memberi uluran tangan yang lebih lebar. Terutama bagi para keluaga yang - sekalipun sadar ingin menolong anaknya tak punya banyak uang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus