DI Wina, ibukota Austria, 7% dari bayi yang lahir selama tahun
1974 diketahui menderita cacat mental. Di Indonesia angka itu
sulit diketahui. Selain fihak Departemen Kesehatan dan para
dokter merasa "kurang tangan" untuk menyelidikinya, para orang
tua yang mengetahui ada kelainan itu pada bayi atau anaknya
biasanya lebih suka menutup-nutupi kekurangan yang ada pada
anaknya. Salah satu cara adalah dengan mengasingkan anak itu
dari pergaulan luar.
Tapi ada juga orang tua yang mulai sadar cara menyembunyikan
kenyataan itu bakal merugikan si anak sendiri. Maka mereka pun
menyekolahkan anaknya ke Sekolah Pendidikan Luar Biasa (APLB)
bagian C. Apakah anak-anak yang cacat mental itu perlahan-lahan
bisa tertolong, banyak bergantung dari kesabaran para guru. Tapi
kekurangan itupun banyak tergantung dari uluran tangan fihak
luar. Salah satu uluran itu datang dari perusahaan farmasi PT
Merek Indonesia yang baru-baru ini menyelenggarakan lomba gambar
untuk anak-anak yang cacat mental. Dengan mengambil thema:
"Lihat, saya juga bisa", sebanyak 300 murid dari berhagai SPLB
antara 10 sampai 15 tahun telah mengikuti lonba gambar itu. Dan
pekan lalu tim juri yang antara lain terdiri dari psikolog dan
psikiater itu memutuskan 7 pemenang yang gambarnya akan dipajang
dalam kalender 1977 perusahaan farmasi itu. Juga masing-masing
pemenang mendapat hadiah sebuah tape recorder mungil dari sebuah
kalender yang memuat hasil karya mereka.
Bagaimana mengetahui seorang anak itu menderita cacat mental?
Dalam diskusi seusai pembagian hadiah di Sanatorium Dharmawangsa
Sabtu 27 Nopember lalu, dr Betty Hardjawana mengakui, untuk
mengetahui adanya kekurangan itu membutuhkan kesabaran dari
para orang tua. "Si anak harus bolak balik di check up",
katanya. "Banyak orang tua yang merasa jengkel karena itu, tapi
rasa putus asa perlu dicegah". Menurut Hardjawana, para dokter
ahli biasanya akan melakukan pemeriksaan neuro pediatric
(pemeriksaan fungsi syaraf pada anak-anak) dengan teliti. Tapi,
katanya pula, ada juga cacat mental yang sudah bisa diketahui
sejak si bayi dalam kandungan. Contohnya? "Seorang ibu penderita
kencing manis yang lagi menlgandulng, perlu berobat dengan cara
memeriksa air ketubannya", katanya Ada juga keluarga yang tak
ingin ambil risiko anaknya kemudian rnendcrita cacat rnental.
"Di Singapura misalnya, banyak juga para ibu yang melakukan
aborsi setelah mengetahuli denganl pasti anaknlya bakal
menlderita".
Di Indonesia cara aborsi begitu memang belum laim. Tapi untuk
menyekolahkan anak-anak di SPLB tentu hanya terbatas pada para
orang tua yang mampu. Apalagi untuk melakukan pengecekan yang
harus "sabar bolak balik" itu. Seorang dokter, apalagi yang
spesialis, palitlg tidak memasang tarip Rp 2.000 sekali datang.
Nah, dalam soal yang membutuhkan banyak kesabaran dan biaya itu,
tak pelak lagi Pemerintah perlu memberi uluran tangan yang lebih
lebar. Terutama bagi para keluaga yang - sekalipun sadar ingin
menolong anaknya tak punya banyak uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini