HOTEL Hilton yang megah bertingkat 14 di Senayan, Jakarta,
agaknya banyak mendapat berkah. Selama seminggu penuh, di minggu
II Desember ini, 80 kamar dari 296 kamar plus 29 lanaiznya,
dihuni tak kurang dari 150 ulama dan khatib/muballigh dari 26
propinsi (propinsi termuda Timor Timur berhalangan datang tanpa
kabar). Mereka berkumpul di sana untuk pekan orintasi Yang
mengurus mereka ada 3 fihak: Departemen Dalam Negeri,
Departemen Agama dan Majlis Ulama Indonesia. Selain kamar-kamar
dan banquet-hallnya dipenuhi gaung nama Tuhan, hiruk pikuk
ulama dan khatib itu memasukkan uang ke kocek hotel. Kabarnya
biaya Rp 21.000 all-in per kamar semalam, tapi demi promosi ada
potongan 40%.
Itu bukan soal. Atau juga bagaimana para ulama berumur antara 30
-an tahun ini "terpaksa" hidup bermewah-mewah. Meski beberapa
di antara mereka ada juga yang merangkap sebagai pengusaha.
"Ditempatkan di rumah-rumah, masjid-masjid, merepotkan dan tak
praktis. Di hotel murahan, "aib bagi ulama. Sesekali tak apa di
hotel mewah", gurau Hamka. Hingga banyak di antaranya yang kikuk
menggunakan bak-mandi dan terpaksa panitia menyediakan gayung
plastik. Dan sewaktu-waktu mesti beristigfar karena berpapasan
bar-girl atau pelayan wanita cantik. Untung di sana tak ada
kolam renang.
Tapi yang jadi soal, bagaimana menghindarkan kesibukan itu agar
tak cuma suatu kemubaziran. Bila cuma melihat para
penceramahnya (Menteri Wijoyo Nitisastro, Amirmachmud, Sutami,
Panggabean, Syarif Thayeb, Subroto, Thojib dan Menteri Mukti Ali
lus Kas Kopkamtib Sudomo dan tentu pula Ketua Majlis Ulama
Hamka), pekan kumpul di Hilton itu bukan suatu yang sia-sia.
Apalagi menurut HMD Datuk Palimo Kayo, ulama dari Sumatera Barat
dan tampaknya paling kritis menilai itu pekan, "pekan orintasi
ini bagus", "Biaya, apa boleh buat. Manfaat yang bisa diambil
lebih besar dari sekedar biaya yang keluar", ujar Buya Palimo
Kayo. Dan KH Masyhur Azhari dari Sumatera Selatan, menyebut
pekan orintasi itu sesuatu yang baru terjadi sepanjang sejarah
Republik. Karena baru kali inilah terjadi pertemuan antara ulama
dari segala penjuru tanah air dengan pemerintah. "Merupakan
dawah tersendiri", ucap Tengku Abdullah Ujong Rimba dari Aceh.
Tapi memang terlepas dari kerepotan mengumpulkan ulama/khatib
itu ada terkesan kaitannya dengan Pemilu dan Golkarisasi. Ini
sesungguhnya tak perlu, karena menurut seorang peserta dari
Kalbar, 55% peserta adalah pimpinan/ calon Golkar di Pemilu plus
sebagian lagi pegawai negeri, urgensinya cukup mendesak.
Beberapa waktu sebelum pertemuan itu berlangsung misalnya, Kas
Kopkamtib Laksamana Sudomo mensi nyalir ada da'wah yang
menghasut. Ketika TEMPO meminta pendapat drs. H. Kafrawi MA,
Sekretaris Umum Majlis Ulama Indonesia Pusat mengakui, "ada satu
dua orang khatib atau da'i (juru da'wah) yang dalam khutbah dan
da'wahnya memang bernada keras". Tapi ia mengharap, "janganlah
digeneralisir dengan ukuran satu dua orang itu". Tapi pernyataan
itu sempat mencekam para ulama/khatib atau muballigh (juru
da'wah). Lalu Mendagri Amirmachmud pernah melihat pula, "para
khatib kurang mengemukakan keberhasilan pembangunan". Hal ini
menurut Kafrawi, "mungkin istilah yang mereka pergunakan
bersifat tak langsung". Sedang menurut Rahmatullah Siddiq, Ketua
I MUI DKI, "bukan tak berarti tak mengemukakan, tapi mungkin
kurang seimbang. Masalah keagamaan memang lebih banyak".
Rupanya terdapat perbedaan pengertian dan kesalah-fahaman antara
para ulama dan pemerintah dalam hal da'wah akan pembangunan.
Hingga seperti dikemukakan baik oleh Mendagri Amirmachmud atau
Menag Mukti Ali pada saat pembukaan tujuan pertemuan seminggu
itu tak boleh tidak, "menciptakan kesatuan pengertian tentang
pembangunan nasional". Yang diperinci oleh Menag Mukti Ali,
"pertama memberi pengertian tentang pelbagai aspek pembangunan
dan masalah-masalahnya yang akan dilakukan para pejabat di
Pusat. Dan, menerima saran dan pendapat dari para ulama dan
khatib seluruh Indonesia. Karena mereka adalah para pemimpin
yang langsung memimpin masyarakat yang mengetahui masalah yang
langsung dihadapi dan dirasakan masyarakat". Tak aneh kalau
pekan tersebut berlangsung hangat, meski alat pendingin hawa
terus berjalan dan hujan sesekali jatuh dari langit di luar
hotel. Sebab seperti dilukiskan Palimo Kayo, "pendapat-pendapat
yang muncul saling berbeda, yang dari atas dan dari bawah
(ulama/khatib)". Tapi katanya selama masih bisa dipertemukan,
merupakan satu kebahagiaan di negara demokrasi. "Dalam
perbedaan pendapat bisa dicapai titik-titik persamaan", katanya.
Saya Bisa Tidur
Maka yang ditunggu-tunggu ialah ceramah Kas Kopkamtib Sudomo.
Sebab selain para peserta pekan yang bergairah dan penuh rasa
ingin tahu, Laksamana Sudomo sendiri amat bersemangat. Hingga
waktu yang disediakan baginya, 2 jam dimulai tepat 11.00, mesti
terlampaui sampai 14.15. "Yang dipersoalkan ada penda'wah yang
menghasut, memfitnah dan menjelek-jelekkan orang
lain/pemerintah. Bukan masalah da'wahnya", ujar Sudomo. "Jangan
hanya menjelek-jelekkan saja, tapi perlu alternatif", katanya
lagi seraya mengutip ayat Qur'an dalam bahasa Arab dalam
hubungan fitnah memfitnah. Menurut Sudomo, sesuai peraturan,
mengumpulkan orang lebih dari 5, memang masih diperlukan izin.
Tapi pengajian tak memerlukan izin. "Bukan untuk mencurigai.
Yang penting buat saya, ada komunikasi antara bapak-bapak ulama
atau khatib dan pemerintah", ujar Sudomo lagi. Tapi bagaimana
sebaiknya, Sudomo menyerahkannya kepada MUI dan Menteri Agama.
Ia condong menganjurkan ulama/khatib menyampaikan kepada
rekannya dari daerah supaya jangan menghasut. Hingga ia tak
perlu bertindak. Dan bagaimana penda'wah yang baik pun, seperti
ditanyakan seorang peserta, Sudomo cenderung,"bagaimana
sebaiknya menurut Depag dan MUI. Kalau sudah baik, saya bisa
tidur", ujarnya bergurau.
Beres? "Buya baik sangka. Niat pak Domo baik. Tapi
pelaksanaannya bagaimana?", tukas Dt. Palimo Kayo lagi. Menurut
ketua MU Sumbar itu, "ucapan menghasut" mengingatkanya pada
peraturan zaman Belanda yang dikenal 'bis' dan 'ter'nya, hingga
sebaiknya tak perlu dikeluarkan". Lagi pula, katanya, "lain di
Pusat, lain di daerah". Meski, "setelah orintasi mungkin ada
perobahan". Karena dalam orintasi itu Sudomo mengungkapkan
instruksi terbarunya (bernomor: 392,Kopkam/X/1976, 26 Oktober
1976) yang akan difoto-copy dan dibagikan kepada peserta, agar
bisa dipergunakan seperlunya. Isinya tentang cara pelaksanaan
izin yang cukup dari Polri (kordinasi dengan instansi lain oleh
Polri), tak perlu pungutan, jangan birokratif dan supaya dibina
kordinasi dan komunikasi yang baik antara ulama dan pemerintah.
Ini tampaknya cukup melegakan. Tapi menurut Dt. Palimo Kayo,
"masih perlu bimbingan langsung Pusat kepada daerah. Agar setiap
instruksi pusat benar-benar dilaksanakan di daerah". Sebab,
katanya, masih terjadi misalnya ucapan, "Gubernur berkuasa di
Padang saya yang berkuasa di sini (di daerah wewenangnya)".
Dalam bentuk lebih kecil pekan orintasi seperti ini akan
diadakan pula di daerah-daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini