SETIAP tahun ratusan penduduk Riau yang tinggal di perbatasan
dengan Singapura masih tetap menjadi langganan ruang tahanan
Tanjung Balai di Pulau Karimun. Mereka ditangkap dengan tuduhan
menyelundupkan berkilo-kilo ojol, puluhan kilo ikan, mang ga
mentah dan barang-barang kecil lainnya ke Singapura. Lalu dari
negara tetangga itu mereka membawa pulang beras, gula, kopi
serta kebutuhan sehari-hari lainnya. Yaitu satu cara hidup yang
sudah berlangsung puluhan tahun sehingga sering disebut sebagai
penyelundupan tradisionil.
Akibatnya ruang tahanan Tanjung Balai yang mestinya hanya
menampung 150 orang, terpaksa dijejali 500 hingga 800 orang.
Karena itu, "banyak tahanan yang mendapat perlakuan tak layak
sebagai manusia" seperti diakui Santon Napitupulu SH, seorang
hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Balai. Padahal, tambah
Santon, kesalahan mereka hanya membawa beberapa ratus kilo ojol
dan jengkol. Makanya Santon dan beberapa orang rekannya
menyarankan agar penyidangan perkara penyelundupan tradisionil
itu dilakukan dengan sistem tilang saja.
Arifin Akhmad, Gubernur Riau, sudah lama bermaksud mengatasi
keadaan serupa itu. Kepada pihak Bea Cukai yang berpangkal di
Tanjung Balai, sudah kerap ia berharap agar jangan main sapu
bersih begitu saja. Arifin mengakui perbuatan warganya itu
salah. Tapi hendaknya "ada kebijaksanaan yang sedikit longgar
bagi masyarakat kecil itu." Bahkan ketika berada di Tanjung
Pinang Januari lalu, Arifin mengungkapkan usahanya untuk meminta
perhatian Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan dan Menteri
PAN--agar soal itu dapat diatasi.
Pasar Terapung
Menurut Gubernur Riau itu, Menteri Amirmachmud dan Menteri
Sumarlin sudah menyetujui permintaannya agar diberi sedikit
kelonggaran bagi penyelundup-penyelundup kecil itu. Hanya
tinggal Menteri Perdagangan yang menurut Arifin belum memberi
tanggapan. Namun ia optimis bahwa hal itu akan segera dapat
dibenahi. Sebab hingga akhir tahun lalu ruang tahanan Tanjung
Balai masih sesak oleh penyelundup-penyelundup teri itu. Dari
600 perkara yang selesai disitangkan tahun 1977, 400 di
antaranya adalah penyelundup tradisionil dengan hampir 900 orang
terhukum.
Dari pihak Pemerintah Pusat sebenarnya soal itu sudah pernah
mendapat perhatian khusus. Tahun 1971 Bina Graha secara langsung
menangani proyek pasar terapung (floating shop). Melalui kapal
Bintang 26, proyek ini bermaksud menghubungkan pulau-pulau yang
ada di kawasan sana sekaligus menjadikannya sebagai wadah
perdagangan bagi penduduk kepulauan itu. Sayang proyek ini hanya
berjalan 3 bulan saja. "Ada masalah yang belum rampung
dibicarakan," kata Gubernur Arifin. Antara lain, katanya, soal
prosedur pabean bagi barang-barang yang dimasukkan oleh proyek
khusus itu ke Kepulauan Riau. Dan ternyata soal itu memang
tak pernah rampung. Sampai akhirnya kapal hadiah Presiden itu
dijual ke pihak swasta.
Usaha Gubernur Arifin di akhir-akhir masa jabatannya itu memang
bukan untuk menghidupkan kembali proyek pasar terapung itu.
Tapi, "ada ide-ide baik dari gagasan floatin shop itu yang
patut diteruskan" seperti dituturkan Arifin Akhmad kepada Rida
K. Liamsi dari TEMPO Antara lain ikhtiar untuk membebaskan
beberapa jenis kebutuhan pokok dari bea masuk. Seperti gula,
sayur mayur, bawang, asam dan barang-barang dapur lainnya. Juga,
bagaimana agar hasil penduduk seperti ojol, ikan dan jengkol
dapat ditampung dengan mekanisme pasar. Sebab kenyataannya,
dengan 10 sampai 15 kg ikan, sudah dapat menghidupi sebuah
keluarga untuk 3 hingga 4 hari jika dijual pada pengumpul di
Pulau Semakau, Singapura.
Petisi 1969
DPRD Kepulauan Riau sendiri sebenarnya tahun 1969 pernah
mengajukan petisi kepada Pemerintah Pusat di Jakara. Isinya
meminta agar wilayah yang pernah jadi daerah bebas pabean ini
diberi status daerah perdagangan lintas batas (Border Trade
Zone). Ternyata setelah sampai di Departemen Dalam Negeri,
petisi itu dinilai sebagai gagasan yang "kurang berkesadaran
nasional." Tentu saja para pencetus petisi kecewa, lebih-lebih
karena menganggap "tidak didukung oleh Gubernur Arifin secara
penuh," seperti diungkapkan salah seorang pencetus petisi itu.
Karena itu usaha Arifin Akhmad di akhir masa jabatannya
sekarang, diniiai masyarakat daerah itu sebagai "mencari kesan
terakhir."
Tapi bahwa petisi tahun 1969 itu masih cukup bermutu, muncul
dalam diskusi masalah peningkatan ekspor perikanan rakyat oleh
Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) di Tanjung Pinang
belum lama ini. Tak sedikit peserta menyarankan agar perdagangan
lintas batas itu ditrapkan untuk menolong penduduk perbatasan
itu. Sebab toh barang-barang mewah yang memang sengaja
diselundupkan terus saja menjejali toko-toko di Kepulauan Riau,
sementara rakyat kecil yang menyelundup hanya untuk kebutuhan
pokoknya sehari-hari tetap memadati ruang tahanan. Begitulah di
Riau, propinsi yang 5 Maret baru lalu berusia 20 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini