Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Usaha Terakhir Seorang Gubernur

Penduduk riau diperbatasan singapura jadi langganan ruang tahanan tanjung balai di p. karimun dituduh penyelundup. gubernur arifin akhmad membebaskan beberapa makanan pokok dari bea masuk.(dh)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP tahun ratusan penduduk Riau yang tinggal di perbatasan dengan Singapura masih tetap menjadi langganan ruang tahanan Tanjung Balai di Pulau Karimun. Mereka ditangkap dengan tuduhan menyelundupkan berkilo-kilo ojol, puluhan kilo ikan, mang ga mentah dan barang-barang kecil lainnya ke Singapura. Lalu dari negara tetangga itu mereka membawa pulang beras, gula, kopi serta kebutuhan sehari-hari lainnya. Yaitu satu cara hidup yang sudah berlangsung puluhan tahun sehingga sering disebut sebagai penyelundupan tradisionil. Akibatnya ruang tahanan Tanjung Balai yang mestinya hanya menampung 150 orang, terpaksa dijejali 500 hingga 800 orang. Karena itu, "banyak tahanan yang mendapat perlakuan tak layak sebagai manusia" seperti diakui Santon Napitupulu SH, seorang hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Balai. Padahal, tambah Santon, kesalahan mereka hanya membawa beberapa ratus kilo ojol dan jengkol. Makanya Santon dan beberapa orang rekannya menyarankan agar penyidangan perkara penyelundupan tradisionil itu dilakukan dengan sistem tilang saja. Arifin Akhmad, Gubernur Riau, sudah lama bermaksud mengatasi keadaan serupa itu. Kepada pihak Bea Cukai yang berpangkal di Tanjung Balai, sudah kerap ia berharap agar jangan main sapu bersih begitu saja. Arifin mengakui perbuatan warganya itu salah. Tapi hendaknya "ada kebijaksanaan yang sedikit longgar bagi masyarakat kecil itu." Bahkan ketika berada di Tanjung Pinang Januari lalu, Arifin mengungkapkan usahanya untuk meminta perhatian Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan dan Menteri PAN--agar soal itu dapat diatasi. Pasar Terapung Menurut Gubernur Riau itu, Menteri Amirmachmud dan Menteri Sumarlin sudah menyetujui permintaannya agar diberi sedikit kelonggaran bagi penyelundup-penyelundup kecil itu. Hanya tinggal Menteri Perdagangan yang menurut Arifin belum memberi tanggapan. Namun ia optimis bahwa hal itu akan segera dapat dibenahi. Sebab hingga akhir tahun lalu ruang tahanan Tanjung Balai masih sesak oleh penyelundup-penyelundup teri itu. Dari 600 perkara yang selesai disitangkan tahun 1977, 400 di antaranya adalah penyelundup tradisionil dengan hampir 900 orang terhukum. Dari pihak Pemerintah Pusat sebenarnya soal itu sudah pernah mendapat perhatian khusus. Tahun 1971 Bina Graha secara langsung menangani proyek pasar terapung (floating shop). Melalui kapal Bintang 26, proyek ini bermaksud menghubungkan pulau-pulau yang ada di kawasan sana sekaligus menjadikannya sebagai wadah perdagangan bagi penduduk kepulauan itu. Sayang proyek ini hanya berjalan 3 bulan saja. "Ada masalah yang belum rampung dibicarakan," kata Gubernur Arifin. Antara lain, katanya, soal prosedur pabean bagi barang-barang yang dimasukkan oleh proyek khusus itu ke Kepulauan Riau. Dan ternyata soal itu memang tak pernah rampung. Sampai akhirnya kapal hadiah Presiden itu dijual ke pihak swasta. Usaha Gubernur Arifin di akhir-akhir masa jabatannya itu memang bukan untuk menghidupkan kembali proyek pasar terapung itu. Tapi, "ada ide-ide baik dari gagasan floatin shop itu yang patut diteruskan" seperti dituturkan Arifin Akhmad kepada Rida K. Liamsi dari TEMPO Antara lain ikhtiar untuk membebaskan beberapa jenis kebutuhan pokok dari bea masuk. Seperti gula, sayur mayur, bawang, asam dan barang-barang dapur lainnya. Juga, bagaimana agar hasil penduduk seperti ojol, ikan dan jengkol dapat ditampung dengan mekanisme pasar. Sebab kenyataannya, dengan 10 sampai 15 kg ikan, sudah dapat menghidupi sebuah keluarga untuk 3 hingga 4 hari jika dijual pada pengumpul di Pulau Semakau, Singapura. Petisi 1969 DPRD Kepulauan Riau sendiri sebenarnya tahun 1969 pernah mengajukan petisi kepada Pemerintah Pusat di Jakara. Isinya meminta agar wilayah yang pernah jadi daerah bebas pabean ini diberi status daerah perdagangan lintas batas (Border Trade Zone). Ternyata setelah sampai di Departemen Dalam Negeri, petisi itu dinilai sebagai gagasan yang "kurang berkesadaran nasional." Tentu saja para pencetus petisi kecewa, lebih-lebih karena menganggap "tidak didukung oleh Gubernur Arifin secara penuh," seperti diungkapkan salah seorang pencetus petisi itu. Karena itu usaha Arifin Akhmad di akhir masa jabatannya sekarang, diniiai masyarakat daerah itu sebagai "mencari kesan terakhir." Tapi bahwa petisi tahun 1969 itu masih cukup bermutu, muncul dalam diskusi masalah peningkatan ekspor perikanan rakyat oleh Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) di Tanjung Pinang belum lama ini. Tak sedikit peserta menyarankan agar perdagangan lintas batas itu ditrapkan untuk menolong penduduk perbatasan itu. Sebab toh barang-barang mewah yang memang sengaja diselundupkan terus saja menjejali toko-toko di Kepulauan Riau, sementara rakyat kecil yang menyelundup hanya untuk kebutuhan pokoknya sehari-hari tetap memadati ruang tahanan. Begitulah di Riau, propinsi yang 5 Maret baru lalu berusia 20 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus