Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Yang Pindah Dan Bertahan

Penduduk transmigrasi asal ja-teng yang tinggal di air priukan akan dipindahkan kanwil ditjen transmigrasi bengkulu ke air banai & air baus. mereka bertahan karena tanah sudah digarap & hasil cukup.(dh)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBANYAK 8 kepala keluarga (kk) dengan anggota 37 jiwa sampai sekarang tetap menghuni daerah terpencil di Air Priukan. Hutan atau katakanlah desa di Kecamatan Seluma, Bengkulu Selatan ini, ditempati mereka sejak awal 1975. Pada mulanya tempat ini dihuni oleh 214 kk transmigran asal Jawa Tengah. Tapi belum « tahun mereka tinggal, pihak Kanwil Ditjen Transmigrasi Bengkulu mengharuskan mereka pindah lokasi di Air Banai dan Air Baus, Kabupaten Bengkulu Utara. Alasan pemindahan itu tak banyak diketahui secara persis. Pihak Dinas Pengairan PU Bengkulu menyebut karena di Air Priukan tak mungkin dibuat sistem pengairan untuk sawah-sawah para transmigran itu. Lalu dari pihak Kanwil Ditjen Transmigrasi dan Kanwil Departemen Kesehatan disebutkan alasan, "karena di sekitar itu terdapat penyakit gajah" alias filaria. Tapi ke-37 transmigran itu mencoba tetap bertahan. Bukan lantaran mereka tak membutuhkan air untuk sawah atau kebal terhadap penyakit kaki gajah. Sejak kedatangan mereka pertama kali lebih 2 tahun lalu saja berbagai pengalaman pahit terpaksa mereka telan. Dituturkan, begitu mereka muncul di Air Priukan yang didapati adalah hutan belantara, tanah pertanian maupun tanah pekarangan seperti belum dijamah persiapan. Lebih-lebih lagi, rumah-rumah mereka banyak yang masih dalam bentuk rangka. Tak hanya itu: sedikit saja hujan turun, seluruh lokasi itu digenangi air. Suku Terasing Buat apa repot-repot pindah, kata seorang penghuni yang masih bertahan di Air Priukan mengapa tidak dari duludulu diselidiki sistem pengairan dan ada tidaknya penyakit gajah di sini--ia menambahkan. Dan memang sampai hari ini ke-37 orang di sana tetap segar bugar saja adanya. Akan halnya pengairan, secara perlahan-lahan mereka benahi sendiri sehingga tempat itu sudah menunjukkan tampang daerah pertanian. Bahkan, tutur mereka, dengan menggarap sawah « hektar saja sekali panen mereka mendapat 40 karung gabah. Tapi keterpencilan dan buruknya Jalan menuju tempat itu (walaupun hanya berjarak 40 km dari Kota Bengkulu) menyebabkan penghuninya benar-benar merasa terpencil. Bahkan seperti suku terasing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus