Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari lalu media sosial dihebohkan dengan siswa SD di Bojonegoro yang membawa bekal nasi dengan lauk ulat. Hal tersebut ramai diperbincangkan oleh netizen karena ekspresi siswa dan tanggapan guru yang dinilai negatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Surabaya Nurhidayatullah Romadhon menyebut ulat sagu merupakan larva dari kumbang sagu yang bernama latin Rhynchophorus ferrugineus. Ulat sagu merupakan salah satu jenis serangga yang tidak terdengar menggiurkan sebagai makanan, tetapi makanan ini telah lama menjadi hidangan tradisional di beberapa daerah di dunia, terutama di Indonesia dan wilayah tropis lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ulat sagu adalah sumber pangan yang kaya akan protein, lezat, dan memiliki potensi untuk menjadi makanan alternatif yang berkelanjutan,”ujar Dayat sapaan Nurhidayatullah Senin, 16 Oktober 2023 dilansir dari situs UM Surabaya.
Dayat mengatakan ulat sagu memiliki kandungan gizi yang tinggi. Ulat sagu mengandung sejumlah nutrisi penting dan sumber protein yang baik, dengan sekitar 50 persen protein dalam bobot keringnya. Selain itu, juga mengandung lemak sehat, serat, vitamin, dan mineral seperti zat besi dan kalsium. Makanan ini rendah kalori, sehingga cocok untuk mereka yang ingin mengonsumsi makanan yang rendah lemak.
Dia menjelaskan pemeliharaan ulat sagu memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah daripada pemeliharaan ternak besar. Ulat sagu dapat ditemukan di pohon sagu, yang tumbuh liar di hutan hujan tropis. Tidak seperti hewan ternak, pemeliharaan ulat sagu tidak memerlukan lahan yang luas, pakan tambahan, atau sumber air berlimpah. Ini membuatnya menjadi pilihan yang lebih berkelanjutan dari segi lingkungan.
Kemampuan beradaptasi ulat sagu cukup baik. Ulat sagu memiliki keunggulan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Mereka mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah dengan berbagai situasi ekologis. Ini menjadikan pilihan yang kuat dalam usaha mengatasi tantangan perubahan iklim. "Potensi sebagai pangan alternatif di masa depan," ujarnya.
Seiring dengan pertumbuhan populasi dunia yang terus meningkat dan tekanan pada sumber daya pangan konvensional seperti daging sapi dan ayam, mencari sumber pangan alternatif yang berkelanjutan adalah suatu keharusan.
Ulat sagu, menurut Dayat, adalah salah satu solusi yang menarik. Ulat sagu dapat diolah menjadi berbagai hidangan seperti keripik, bakso, atau dimasak dengan berbagai cara yang berbeda. Dengan beragam kuliner yang dapat dihasilkan dari ulat sagu, kita dapat memenuhi kebutuhan pangan secara kreatif dan bergizi.
Di beberapa daerah di Indonesia dan negara-negara tropis lainnya, ulat sagu adalah bagian dari tradisi dan budaya makanan. Makanan ini bukan hanya tentang nutrisi, tetapi juga tentang menjaga keanekaragaman makanan lokal dan mewariskan tradisi kuliner kepada generasi mendatang. Dengan memasukkan ulat sagu dalam menu, seseorang dapat melestarikan budaya dan kuliner tradisional yang berharga.
“Meskipun makan ulat sagu mungkin tidak sesuai untuk semua orang, penting untuk mempertimbangkan manfaatnya sebagai sumber pangan yang berkelanjutan dan bergizi. Dengan pertumbuhan populasi dan masalah lingkungan yang semakin kompleks, alternatif seperti ulat sagu bisa menjadi bagian dari solusi,” kata Dayat.