SECARA resmi pemerintah akhirnya menolak usul agar wajib militer (wamil) diberlakukan pada semua warga negara. Di depan Komisi I DPR pekan lalu Menhankam Jenderal (Pur.) Poniman menegaskan, saat ini wamil secara umum bagi mereka yang telah berusia 18 tahun belum dapat dilaksanakan. Alasannya, "karena terbatasnya keuangan negara dan juga dianggap belum ada urgensinya," katanya. Berbicara mengenai soal dana, Menteri Poniman lantas berhitung. Pemuda yang memasuki usia 18 tahun setiap tahun diduga sekitar 1,8 juta orang. Kalau yang akan masuk wamil cuma laki-laki saja, maka ada 900.000 orang yang harus dilatih kemiliteran setiap tahun. "Jika sepertiganya saja yang memenuhi syarat wamil, tiap tahun selama empat bulan harus dididik sedikitnya 300 ribu pemuda," katanya. Kesulitan lain adalah fasilitas yang dimiliki ABRI, misalnya asrama, tempat latihan, dan pelatih. Sekarang ini saja, katanya, fasilitas yang dipunyai untuk pendidikan bintara, tamtama, dan perwira cuma mampu menampung 23.000 orang per tahun. Ditambahkan, masa dinas wamil -- seperti ketentuan -- adalah dua tahun. Dengan demikian, setiap tahun mesti disediakan dana dan fasilitas seperti gaji, tunjangan, lauk-pauk, dan perlengkapan lainnya untuk 600 ribu prajurit wamil itu. Padahal, sekarang saja jumlah prajurit ABRI yang aktif cuma 450 ribu. Artinya, lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pemuda yang harus diwamilkan itu. Penjelasan pemerintah itu tampaknya untuk menanggapi gelombang pendapat masyarakat yang diawali oleh pernyataan Letjen (Pur.) Sayidiman Suryohadiprojo 10 Oktober lalu. Wamil selama 3-4 bulan katanya dalam suatu simposium di Jakarta menyambut HUT PT Pembangunan Jaya, akan sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan disiplin nasional. "Wamil penting, sebab itu melatih otak, hati, dan tubuh," katanya. Lewat wamil, seseorang akan bekerja dan hidup secara disiplin. Gagasan Sayidiman itu dinilai tidak salah. "Secara tidak langsung memang ada kaitannya antara wamil dan peningkatan disiplin nasional itu," kata Jenderal (Pur.) Poniman. Untuk menanamkan disiplin nasional itu, katanya, bisa saja dilakukan lewat cara lain yang tidak memakan biaya terlalu besar. Jenis pendidikan seperti diamanatkan UU Nomor 20/1982 adalah Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) di sekolah seperti pramuka untuk SD, SMTP, dan SMTA, dan kewiraan untuk perguruan tinggi. Yang sekarang dilaksanakan, seperti ketentuan UU Nomor 66/1958, adalah wamil secara terbatas. Untuk tahun ini, diterima 535 orang sarjana yang mengikuti wamil. "Ini dilaksanakan tidak secara umum, karena tidak ada urgensi dan terbatasnya dana," kata Poniman. Artinya, bentuk wamil -- seperti rumusan UU Nomor 20/1982 -- adalah rakyat terlatih. Mereka diambil dari lingkungan pendidikan, permukiman, dan pekerjaan. Pada dasarnya, rakyat terlatih itu bebas memilih setelah mengikuti pendidikan dan pembinaan, kembali ke bidang pekerjaan atau keahlian semula, atau bergabung sebagai anggota ABRI. Sebetulnya, kebijaksanaan untuk tidak melaksanakan wamil, menurut beberapa pengamat, bukan cuma atas pertimbangan dana dan urgensinya. Dasarnya, anggapan bahwa tingkat disiplin nasional saat ini dinilai belum mantap. Jika setiap orang dilengkapi dengan kemampuan kemiliteran dengan disiplin nasional yang masih "tanggung", ada kekhawatiran ini akan malah membahayakan keamanan nasional. "Seseorang, misalnya, sudah dilatih menembak. Selesai wamil, karena disiplin nasionalnya tipis, bisa saja ia menyalahgunakan kemampuannya untuk tindakan yang merugikan masyarakat," kata seorang perwira tinggi. Pada Sidang Umum MPR 1978, usul untuk diadakannya wamil juga dimunculkan. Namun, usul ini ditolak. Alasannya mirip juga: kekhawatiran bahwa wamil ini akan disalahgunakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini