Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tepuk tangan

Tepuk tangan selesai berpidato itu banyak artinya. menunjukkan kekaguman, tanda setuju, basa-basi, sindiran dan cemoohan. banyak teks pidato yang sebagian besar tidak dipahami oleh pendengar.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN sedikit pengalaman pernah berbicara di hadapan orang banyak, saya memberikan sambutan pada suatu acara penutupan sebuah rapat kerja. Itulah pidato pertama saya sejak bertugas di tempat yang baru. Menurut pengamatan saya, pidato saya mendapat sambutan "lumayan". Hadirin bertepuk tangan. Mungkin karena saya orang baru. "Mengembang cuping hidung" saya karena puas. Menurut seorang staf senior di kantor saya, karena cara yang saya pakai yaitu cara mengajak pasti mendapat sambutan. Cara menggurui sudah lama tidak disukai. Memang benar. Buktinya tepuk tangan itu. Pidato pertama segera diikuti dengan pidato kedua dan seterusnya. Akhirnya, sesuai dengan bawaan tugas (maklum saya "pejabat penting" di daerah), saya terjerumus juga dalam keharusan banyak bicara. Memberikan sambutan di sana, memberikan pengarahan di sini, meresmikan pembukaan pameran di sana, menutup penataran di sini, melantik pejabat baru di sana, dan menyaksikan serah-terima di sini. Tanpa sadar betul saya mulai kemasukan kebiasaan "latah-latahan" dan "kecap-kecapan". Tapi, kata orang, hal ini biasa bagi seorang pejabat. Suatu hari saya harus berpidato di sebuah kecamatan, dengan tema "menggalang potensi pemuda dalam rangka memantapkan era menghadapi tinggal landas". Setelah "waktu dan tempat dipersilakan", dengan pura-pura ragu saya maju ke mimbar. Saya ragu bukan karena topik pidato sangat "berat", tapi lantaran yang dipersilakan ialah "waktu dan tempat", bukan saya. Saya pikir, salah kaprah ini perlu diingatkan, bila perlu bicara empat mata saja dengan pewara (pembawa acara) yang bersangkutan. Maka, mulailah berluncuran kalimat-kalimat saya. Pada ujung pidato saya katakan, "Saudara-saudara yang saya cintai lahir dan batin, marilah kita dalam tahap menuju era tinggal landas ini mencurahkan segala dana dan daya untuk menyukseskan program pembangunan kita yang sedang maju pesat ini menuju masyarakat adil, makmur, dan merata serta diridai oleh Tuhan Yang Mahakuasa mental dan spiritual, terutama dalam persaingan yang keras di seluruh dunia antara bangsa-bangsa sebagai manifestasi dari perburuan dan perebutan hidup, dan menyongsong dengan rasa curiga dan cemburu abad kedua puluh satu (sesak juga napas saya sedikit), yang pasti akan dialami oleh generasi muda angkatan Saudara-saudara (saya menunjuk ke barisan pemuda dengan pandang yang meyakinkan) sebagai komponen penerus, yang akan melestarikan kehidupan bangsa di masa datang. Oleh karena itu, perlulah terus dikembangkan kemampuan dan kreativitas sebagai sesuatu yang esensial dan yang harus dimulai dengan penajaman intuisi atau imajinasi. Ini kemudian diarahkan ke abstraksi yang terus berhubungan dengan serasi dengan mengindahkan norma-norma tradisi, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi. Dalam hubungan ini, Saudara-saudara harus menyadari fungsi Saudara sebagai mekanisme sentral regenerasi." Sebagian isi pidato saya itu (terutama slogannya) saya kutip dari dua tiga sumber yang "layak dipercaya" dan dapat dipertanggungjawabkan "keabsahannya". Hebat, bukan? Pejabat memang harus pintar meramu bahan pidato dari berbagai sumber, apalagi bila buah pikiran sendiri tidak ada (ini yang banyak). Tepat tidaknya ramuan, itu soal lain. Begitu, 'kan? Ternyata pula pidato saya ini mendapat sambutan yang cukup meriah, terutama dari kelompok pemuda di barisan depan yang berpakaian seragam. Mereka yang paling kuat bertepuk tangan. Pejabat-pejabat kecamatan dan utusan kabupaten tak ketinggalan. Saya puas, apalagi setelah Pak Camat menyalami saya. "Membesar lagi lubang hidung saya". Saya nikmati kudapan (snack) dan minuman yang disediakan panitia diiringi pandangan hadirin yang tampaknya sudah bertangkai matanya melihat cairan segar yang saya reguk. Di tempat jamuan makan saya coba kembali mengingat tepuk tangan hadirin tadi. Benarkah semuanya bertepuk karena kagum akan pidato saya? Rasanya ada kesan lain yang kurang enak. Tiba-tiba saja timbul rasa malu saya. Apalagi ketika mengingat tepuk tangan kelompok yang di belakang yang sangat keras dan agak lama. Kedua telapak tangan mereka aktif berlaga diikuti sorak, "Huuu!" Bahkan ada yang bersuit. Tanda setuju atau kagumkah? Atau tanda kesal karena udara panas dan mereka haus? Kelompok pejabat bertepuk ala kadarnya. Yang aktif hanya telapak tangan mereka yang kanan saja. Telapak kiri menunggu saja tepukan yang kanan. Bahkan ada yang hanya menepuk pahanya saja dengan empat jari. Basa-basi? Kelompok yang di tengah (sebagian besar bapak-bapak dan ibu-ibu) banyak yang diam saja sambil menoleh ke kiri-kanan. Tak mengerti isi pidato atau masa bodoh? Barisan depan memang bersemangat. Maklum, anak muda. Menunjukkan kepahaman atau solidaritas? Berbagai pertanyaan muncul di benak saya. Akhirnya mafhumlah saya, bahwa hari itu saya telah mendapat pelajaran berharga. Seorang tua sehabis pertemuan itu membisikkan terus terang kepada saya bahwa pidato saya tak dipahami sebagian besar pendengar. "Tapi bagaimana tepuk tangan yang meriah itu?" tanya saya. "Tepuk tangan itu banyak artinya, Engku. Dapat menunjukkan kekaguman, tanda setuju, basa-basi, dan dapat juga berarti sindiran atau cemooh. Terserah kepada kita apakah kita arif menanggapinya mana yang wajar, mana yang tidak," jawab orang tua itu. Lalu saya teringat berbagai macam bunyi dan gaya tepuk tangan. Umpamanya, sesudah sebuah lagu konser dimainkan, ada kalanya penonton masih bertepuk tangan terus dengan maksud minta tambah lagi. Tepuk tangan baru berhenti bila permintaan dapat dipenuhi. Tepuk tangan inl amat sopan dan ada aturan mainnya. Tepuk tangan penonton sepak bola jelas merupakan pujian bila kesebelasan kesayangan mereka mencetak gol. Tetapi tepuk tangan disertai sorakan di tengah menggebunya sebuah pidato yang penuh slogan, ungkapan klise, dan kata-kata sulit yang semuanya di jalin dengan gaya bombasme melambung-lambung jelas bukan bermaksud memuji atau minta pidato ditambah. Malah sebaliknya, pidato itu harap dihentikan saja. Nah, sekarang tergantung kita, tepuk tangan mana yang kita minati Jika memang ada di antara kita yang membutuhkannya, terutama yang gemar berpidato.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus