Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang menolak kursi DPR

Guruh sukarno putra tidak bersedia dicalonkan sebagai anggota dpr. karena ingin mengonsentrasikan kegiatannya di swara maharddhika. guruh menolak menjadi pengumpul suara bagi salah satu kontestan.(nas)

8 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA dilahirkan 33 tahun lalu, ia diberi nama Muhammad Guruh Irianto Sukarnoputra. Kalau saja ayahnya bukan Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dan kalau saja ibunya bukan Fatmawati, wanita yang menjahit Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan pada saat Proklamasi, 32 huruf yang membentuk nama pemuda itu tak ada artinya. Kini, Guruh adalah merk dagang untuk kabaret dengan penari melenggang penuh senyum sepanjang pertunjukan. Penonton bertepuk tangan, dan media massa menulis ulah pemuda itu tanpa lupa mencantumkan namanya secara lengkap. Tapi Guruh, bujangan yang belum menemukan pendamping idamannya itu menolak jika keberhasilannya tersebut dikaitkan dengan nama besar orangtuanya. Apakah Guruh juga merk dagang politik yang laku dijual pada Pemilu 1987? Akhir September lalu, harian sore Sinar Harapan memberitakan bahwa nama Guruh termasuk dalam daftar calon PDI untuk daerah pemilihan DKI Jakarta. Selain Guruh, terpilih pula dua anggota keluarga BK lainnya: Megawati (calon anggota DPR untuk daerah pemilihan Jawa Tengah) dan suaminya Taufiq Kiemas (untuk daerah pemilihan Sumatera Selatan). Lalu, orang pun membayangkan, kampanye PDI nanti pasti akan meriah bak pergelaran sendratari Swara Maharddhika. Megawati, 40, ternyata tidak bersedia dicalonkan. Tapi Taufiq, 43, sudah mulai bersiap-siap menghadapi kampanye di tanah kelahirannya. Bagaimana dengan Guruh? Kepada TEMPO, awal pekan ini, ia menyatakan tidak bersedia dicalonkan sebagai anggota DPR. Alasannya, ia ingin mengonsentrasikan kegiatannya di Swara Maharddhika, kelompok seni yang diasuhnya sejak 1977. Padahal, kalau saja ia bersedia, formulir pencalonan sudah dikirimkan kepadanya. Guruh menyanggah bahwa ketidaksediaannya berlomba dalam Pemilu 1987 lantaran belum siap mental. "Saya rasa bukan karena masalah mental saya belum siap terjun ke (dunia) politik. Mungkin lebih tepat dikatakan, saya belum siap duduk sebagai anggota DPR," ujarnya dengan nada tinggi. Guruh pada Pemilu 1982 ditawari PPP menjadi anggota DPR, juga menolak. Bagi Guruh, menolak jadi anggota DPR bukan berarti pemutusan pengabdian kepada nusa dan bangsa. "Bidang seni yang saya tekuni juga merupakan salah satu perluangan, 'kan? Kali ini, saya di bidang itu. Tapi lain waktu saya berhasrat juga untuk berkecimpung dalam bidang politik." Guruh juga menolak menjadi pengumpul suara (vote getter) bagi salah satu kontestan. "Anggota keluarga lainnya pun begitu. Kecuali mungkin Mas Taufiq," sahut Guruh. Namun, ia tidak ingin sikapnya ditafsirkan, ada perpecahan. "Bahwa perbedaan pendapat kadang-kadang timbul, itu adalah hal yang biasa," jawabnya. Keengganannya aktif dalam kegiatan politik bukan karena dilarang pemerintah, juga bukan lantaran keluarga besar BK tak memberikan persetujuan, melainkan semata-mata soal pribadi. Bagaimana komentarnya terhadap PDI ? "Saya tidak mengikuti perkembangannya. Namun, saya menangkap kesan, sewaktu kongres, ada kesemrawutan. Sampai-sampai Pak Pardjo (Mendagri Soepardjo Rustam) perlu turun tangan. Itu 'kan tandanya PDI semrawut." Secara tidak langsung, Guruh mengakui bahwa masalah pencalonan dirinya sebagai wakil rakyat sempat dikonsultasikan dengan anggota keluarga lainnya. "Karena masalah pencalonan tidak hanya menyangkut soal pribadi, tapi juga nama Bapak. Selain itu, sebagai anak bungsu, saya juga perlu tanggapan dari kakak-kakak, walau keputusan akhir ada di tangan saya," katanya. Di bagian lain, Guruh berucap bahwa tidak benar sejak Pemilu 1982 keluarga BK bersepakat tentang kegiatan mereka dalam bidang politik. "Bukan masalah terjun atau tidaknya. Tapi, kira-kira bagaimana sikap kami, sebagaimana ajaran BK, yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa." Menurut Guruh, sampai sekarang mereka belum menentukan di mana mereka berdiri. Sebab, katanya, keluarga Bung Karno berdiri di atas semua golongan. Dalam arti, tidak memihak PDI, PPP, ataupun Golkar. "Tapi kami bukan Golput (Golongan Putih). Sebab, Golput sama sekali tidak menggunakan hak pilih mereka. Sedangkan kami tetap menggunakan hak pilih kami," ujar Guruh. Jama R Lapian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus