Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAI akhir bulan lalu, demo guru honorer masih kerap terjadi, berharap diangkat menjadi pegawai negeri. Jenjang pendidikan bukan masalah yang menghalangi mereka, melainkan kuota yang sudah terpenuhi. Pada awal 1980-an sebaliknya yang terjadi: banyak sekali guru negeri yang belum mengenyam perguruan tinggi. Alhasil, mereka diwajibkan ikut kuliah.
Karena jumlah guru wajib belajar begitu banyak, sekitar 60 ribu, perguruan tinggi kewalahan. Kelas tidak sanggup menampung. Maka, pada akhir 1982, dibukalah kuliah jarak jauh. Majalah Tempo dalam rubrik Pendidikan edisi 9 Juli 1983 membuat laporan panjang tentang belajar tanpa tatap muka ini. Juga tentang siswa tingkat menengah yang belajar dengan cara serupa.
Ini seperti yang dijalani Rustini, guru SMPN II Bandung. Selepas mengajar, atau di rumah, dia banyak membaca. Bahannya diantar oleh pak pos. Inilah sistem belajar jarak jauh (SBJJ) yang dirintis kala itu. Kuliah lewat pos dibuka di lima IKIP negeri dan dua universitas: Universitas Sriwijaya dan Universitas Negeri Surakarta 11 Maret. "Menyuruh mereka kuliah lagi tidak mungkin," kata Hamdan Mansoer, ketua proyek SBJJ. "Mereka bisa meningkatkan mutu tanpa mengurangi jumlah guru di lapangan."
Dengan sistem ini, Rustini tidak perlu setiap hari ke IKIP tempat ia tercatat sebagai mahasiswi. Tatap muka dengan dosen paling banyak sekali dalam sebulan. Karena itu para mahasiswanya terpacu untuk mengumpulkan bahan pertanyaan saat pertemuan. "Banyak rekan saya yang meminjam modul untuk dipelajari sendiri," kata Rustini. "Kini mereka berniat mendaftar menjadi mahasiswa jarak jauh."
Selain menghemat waktu dan tenaga, karena tidak meninggalkan tugas utama mengajar, biaya kuliah ini lebih ringan dibanding mengikuti kelas reguler. Setahun hanya bayar sekitar Rp 100 ribu, jauh di bawah biaya kuliah normal yang bisa mencapai Rp 750 ribu.
Selain perkuliahan, belajar jarak jauh yang sedang naik pamornya adalah SMP terbuka. Lulusan sekolah "tanpa gedung" dan sedikit guru ini ternyata mampu bersaing dengan lulusan SMP biasa. Tohaini, misalnya. Pada 1982, dia lulus dari SMPT Kalisat, Jember, Jawa Timur, dan melanjutkan ke SMEA negeri. Ketika naik ke kelas II, dia ranking pertama. Ada juga Jufriadi, yang lulus tahun itu dan bisa melanjutkan ke SMA Negeri Jember tanpa lewat tes, berkat prestasinya selama belajar di SMPT.
Padahal model SMP itu, sewaktu berdiri pada 1979, dipandang sebelah mata. Akibatnya, SMPT Kalianda, Lampung Selatan, pun hanya mendapat 50-an siswa. Bahkan SMPT Adiwerna, Tegal, baru memperoleh 4 siswa. Waktu itu lulusan SD segan mendaftar ke SMPT karena tak punya gedung dan jam sekolah yang teratur.
Perkembangan selanjutnya menyadarkan masyarakat. Misalnya Pak Seca, pedagang buah di Kecamatan Plumbon, Cirebon, yang begitu bersyukur karena tak "kehilangan" Kastira, anaknya yang ketujuh. Kastira tiap hari masih bisa membantunya berjualan semangka, sambil membaca bahan pelajaran. Pun Munani, anak pemilik warung makan di daerah itu, tetap bisa membantu orang tuanya menunggu warung tanpa mempengaruhi hasil belajarnya di SMPT Plumbon, Cirebon.
Sekolah menengah ini memang tak perlu gedung sendiri dan tak perlu banyak guru. Pelajaran di tiap tingkat cukup diisi oleh seorang guru pembina. Mereka bertatap muka sekali seminggu. Para siswa sehari-hari belajar dengan cara berkelompok di pusat kegiatan belajar, dipimpin seorang guru pembimbing. Kegiatannya dimulai pukul 13.00 hingga 17.00. Biasanya diikuti 10-20 siswa. Selain belajar dengan modul, siswa mendengarkan Radio Republik Indonesia dari kota terdekat, yang menyiarkan penjelasan bahan pelajaran. Bagi siswa yang tertinggal, tersedia rekaman dalam kaset yang sewaktu-waktu bisa diputar.
SMPT ini pun memberi manfaat bagi guru pembimbing. "Ilmu saya jadi tidak mandek," kata Sunaryo, guru pembina di SMPT Adiwerna, Tegal. Dia mengaku kagum pada murid-murid itu, yang mampu mengemukakan dengan jelas kesulitan mereka dalam belajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo