Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=2 color=#FF0000>Tempo Doeloe</font><br />Dibakar atau Dikubur Tumpang

9 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Chairil Anwar "memesan" kuburannya dalam sebuah bait puisi, Tempat Pemakaman Umum Karet masih lega. Maka, manakala penyair kondang itu meninggal pada 1949, boleh­lah dia disemayamkan di sana.

Tapi, 20-an tahun setelah itu, tanah pekuburan jadi masalah serius di Jakarta, seperti ditulis majalah Tempo edisi 12 Mei 1973. Khawatir lahan terbuka di Jakarta habis untuk pekuburan, Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Ali Sadikin melontarkan ide bagaimana kalau mayat yang meninggal dibakar saja.

Bang Ali—begitu ia akrab disapa—mencetuskan ini dalam pidato di suatu pagi, saat meresmikan pasar modern bertingkat dua yang menelan dana Rp 177 juta. Awalnya dia berbicara soal betapa sukar dan mahalnya mendapatkan tanah untuk bangunan pasar. Di tengah pidato, tiba-tiba dia melontarkan peringatan yang membuat hadirin saling pandang. "Nanti 50-60 tahun lagi area Jakarta akan habis untuk kuburan saja," katanya.

Supaya meyakinkan, Bang Ali bilang dia memiliki data valid hasil survei tentang masalah pemakaman di Jakarta. Menurut survei itu, nantinya separuh dari luas Jakarta yang 592 kilometer persegi akan berubah menjadi kuburan.

Hasil survei itu klop dengan data Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Mereka mencatat, pada 1970, ada 35.489 orang meninggal di Jakarta, dan meramalkan angka kematian bakal bergerak naik secara progresif mengingat jumlah penduduk Ibu Kota yang cepat tumbuh. Dengan kelahiran sekitar 200 ribu anak per tahun, diperkirakan 60 tahun ke depan penduduk Jakarta akan mencapai 10 juta orang!

Mengaku bertemu dengan dilema, mau memberikan tanah untuk yang hidup atau yang mati, Bang Ali akhirnya mencetuskan pernyataan kontroversial itu. "Mayat lebih baik dibakar karena abunya bisa disimpan di rumah," katanya.

Ini membuat gusar para ulama, seperti Buya Hamka, Mohamad Alhabsji, KH Abdullah Syafi'ie, dan Dr Rasjidi, serta tokoh Katolik, Dr Piet Maku Waso. "Orang yang khawatir kekurangan tanah kuburan itu kurang percaya kepada Tuhan atau lemah iman," kata KH Abdullah Syafi'ie menyindir.

Diserang dari segala penjuru, Bang Ali buru-buru meralat ucapannya, mengatakan dia tak bersungguh-sungguh. "Saya sudah tahu pembakaran itu dilarang. Saya hanya ingin minta pemikiran," katanya.

Juru bicara pemerintah DKI, Syariful Alam, ikut menjelaskan. "Soal bakar mayat itu untuk pancingan, untuk mencari efek publisitas bahwa DKI tengah mempersiapkan peraturan tentang sistem pemakam­an."

Sesungguhnya yang dikhawatirkan pemerintah DKI adalah meluasnya lahan pemakaman yang tidak tertata baik karena bisa menghambat pembangunan.

Dinas Pemakaman Pemerintah DKI Jakarta mencatat, hingga Mei 1973, terdapat 543 kompleks kuburan di Jakarta, dengan total luas 4.813.776 meter persegi. Lantaran letak pemakaman-pemakaman itu centang-perenang di seluruh penjuru kota, banyak proyek pembangunan terhambat. Ini menurut Ketua Badan Perencana Pembangunan DKI Jakarta Piek Mulyadi. Ia mengaku pernah mengalami kesulitan memindahkan tanah makam karena kuburan yang dimaksud dianggap keramat. Meski akhirnya berhasil, kata dia, DKI mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit.

Sebenarnya, sebelum muncul ide membakar mayat, ada pemikiran memakai sistem penguburan tumpang seperti di Arab Saudi. Cuma, gagasan ini pun belum sepenuhnya diterima warga Jakarta. KH Abdullah Syafi'ie, misalnya, mengaku heran mengapa pemerintah bingung sementara masih ada banyak tempat terbuka, seperti di Ceger dan Kapuk, untuk dijadikan pemakaman. Meski, menurut dia, jika keluarga setuju dan mayat sudah hancur, penguburan tumpang boleh saja dilakukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus