Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UANG rupanya masih diyakini sebagai instrumen terpenting untuk melempangkan jalan menuju Balai Kota Jakarta. Kita pun cuma bisa prihatin ketika mendengar kabar buruk yang jamak tersiar di masa kampanye pemilihan Gubernur DKI. Lembaga swadaya seperti Indonesia Corruption Watch mengumumkan adanya puluhan praktek politik uang di tengah kompetisi calon pemimpin Ibu Kota ini.
Praktek kotor ini, celakanya, diperkirakan terus berlangsung menjelang pemungutan suara, bahkan kelak ketika rekapitulasi suara. Modusnya bisa berupa jual-beli suara, bagi-bagi uang atau bahan kebutuhan pokok, dan bentuk lainnya. Ada yang memberi uang saku kepada setiap sukarelawan, ada pula yang menyiapkan kemasan hadiah paket umrah. Inkumben bahkan dituduh melakukan politisasi birokrasi melalui penyalahgunaan fasilitas negara serta mendompleng iklan pemerintah daerah di baliho dan televisi.
Belanja iklan di televisi jelas mahal. Kandidat yang bisa memanfaatkannya tentulah terbatas pada mereka yang paling tajir. Majalah ini menghitung, kalau saja satu spot iklan di masa kampanye bertarif Rp 20 juta, pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi, yang paling sering muncul di semua stasiun televisi, menggerujuk fulus sekitar Rp 28 miliar. Kandidat yang sedikit bisa bersaing tayang di televisi sepertinya Alex Noerdin-Nono Sampono, dengan pundi-pundi gemuknya. Pasangan dari jalur nonpartai politik, semisal Faisal Basri-Biem Benjamin, yang mengandalkan saweran para pendukung di akar rumput, tentu hanya bisa gigit jari.
Kuasa modal duit jelas jauh dari misi persaingan sehat. Disparitas kocek antarkandidat ini membuat mereka tak bertarung di medan pertempuran yang sepadan. Di ranah layar kaca, gendutnya dana tim Foke membuahkan privilese melebihi para kandidat lain. Seharusnya pola kampanye dengan cara beriklan di televisi sejalan seirama dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga setiap kandidat memperoleh kesempatan yang sama untuk beriklan di televisi. Sungguh tidak adil jika peluang menggunakan frekuensi milik publik ini hanya bisa dinikmati kandidat yang koceknya jumbo.
Kelak perlu diatur bahwa setiap inkumben yang hendak maju lagi sebagai gubernur, bupati, atau wali kota harus dinonaktifkan dari jabatannya. Aturan ini penting untuk menghindari tuduhan politisasi birokrasi, atau aji mumpung menyalahgunakan jabatannya sebagai kepala daerah melalui pelibatan birokrasi. Cara yang juga lazim digunakan para petinggi daerah yang hendak menjabat lagi adalah menghambur-hamburkan anggaran belanja daerah, terutama melalui pos-pos bantuan sosial yang memang rentan diselewengkan.
Langkah tercela ini sangatlah berisiko. Inkumben dimaksud bisa dihukum pidana maksimal enam bulan, berikut denda—meski maksimal cuma sejuta rupiah. Undang-Undang Pemerintahan Daerah tadi menegaskan bahwa birokrat atau perangkat daerah yang tidak netral dalam pemilu kepala daerah akan dikenai sanksi pidana. Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa yang sengaja membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon bisa diganjar hukuman enam bulan plus denda.
Karena itulah sistem pengawasan keuangan perlu diperketat. Peraturan yang ada selama ini masih membuka celah bagi masuknya sumbangan para pihak yang tak jelas identitasnya. Kandidat masih bisa mengkamuflase proses penerimaan sumbangan dengan pelbagai cara. Masih banyak penyokong fiktif, atau kandidat bersangkutan menyetor dana seolah-olah dari rekening pribadinya sendiri, padahal duit dari bohir, atau bisa pula dengan memecah besaran sokongan yang sejatinya berasal dari satu cukong yang sama. Aturan pembatasan yang kemudian diadopsi Komisi Pemilihan Umum DKI ini masih gampang diakali.
Enam kandidat DKI-1 memang berhak berkampanye semeriah mungkin untuk menarik simpati konstituen. Namun mereka seharusnya melakukannya secara bermartabat, transparan, dan akuntabel. Hanya kandidat yang mengharamkan politik uang, yang sumber dananya paling siap diaudit, yang pantas dipilih. Mengingat bahaya tindakan tak terpuji ini, Mahkamah Konstitusi bisa menjadikan alasan dalam salah satu putusannya untuk membatalkan hasil pemilihan kepala daerah, tidak hanya lantaran adanya pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif, tapi juga jika sang kandidat mendapatkan sumber dananya secara ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo