Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HINGGA akhir bulan lalu, pemerintah masih memberlakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke sejumlah negara karena kerap bermasalah, di antaranya ke Arab Saudi. Meski demikian, hal itu tidak menghentikan tekad para pekerja untuk merantau ke sana. Jumlah andunusi—sebutan orang Indonesia di Arab—masih saja banyak. Tentu mereka pergi secara diam-diam. Ada magnet kuat di Tanah Suci, yakni cerita tentang gelimang riyal para pengais rezeki.
Syahdan, pekerja asal Indonesia sudah berbondong-bondong ke Arab Saudi sejak berpuluh tahun lalu. Laporan utama Tempo edisi 28 Oktober 1978 memotret kehidupan mereka di sana. Ternyata sejumlah orang masih menggunakan paspor Belanda, yang berarti sudah hijrah ke Arab Saudi sejak zaman penjajahan. Tak sedikit di antara mereka yang berjaya. Misalnya, ada beberapa keturunan Al-Palembani yang menjadi jutawan terkenal—dinamai Al-Palembani karena berasal dari Palembang. Juga ada yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, seperti di kantor imigrasi, polisi, dan tentara.
Para pendahulu itu semula datang ke Arab Saudi untuk mengunjungi rumah Tuhan dalam ibadah umrah. Tapi mereka lalu bertahan di sana menunggu musim haji datang. Selama penantian itu, mereka bekerja untuk menyambung hidup.
Awalnya, pemerintah Arab Saudi tak ambil pusing terhadap para pendatang yang tinggal secara gelap ini. Menganggap diri sebagai penjaga rumah Tuhan, Kerajaan Saudi tidak mengusir para tamu Allah itu. Tapi, ketika petrodolar muncrat akibat melambungnya harga minyak bumi, makin banyak orang datang mencari kerja. Banjir imigran memunculkan banyak masalah sosial. Pemerintah akhirnya menertibkan para pendatang: yang tidak beridentitas disuruh hengkang.
Beruntung, Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi berhasil melobi pejabat Kerajaan. Identitas orang Indonesia yang sudah lama bermukim di sana diputihkan. Mereka diberi visa sesuai dengan tujuannya: ibadah atau kerja.
Namun masalah tetap saja ada. Banyak andunusi ini yang kena muslihat agen perjalanan. Niat mereka melakukan umrah, lalu haji, dan agen perjalanan biasanya berjanji melayani mereka selama menanti datangnya musim haji. Nyatanya, mereka ditelantarkan. Banyak yang kemudian jadi buron polisi dan terpaksa bersembunyi di Masjidil Haram di Mekah karena polisi tidak boleh masuk masjid. "Jumlah mereka sekitar dua ribu," kata satu orang di antara mereka. "Siang bersembunyi di saluran-saluran air atau kamar mandi. Malamnya tidur di tempat terbuka."
Dampak fisiknya, kesehatan mereka amat mengkhawatirkan. Banyak yang kelaparan dan tergeletak di lantai masjid. Untuk cari makan, mereka tak berani keluar dari masjid, takut ditangkap. Mandi pun hampir tak pernah karena tidak ada kamar mandi di masjid. Ada yang sudah sebulan tidak mandi.
Di antara cerita-cerita pilu tadi, Tempo juga mendapat kabar bahagia. Perusahaan-perusahaan yang mendapat kontrak di Arab Saudi menyerap banyak tenaga kerja Indonesia. Makin hari jumlahnya makin besar. Kebanyakan menjadi pelayan toko di kota-kota besar. Banyaknya orang Indonesia bisa dicek dengan mendatangi sebuah tokoh, misalnya di Jeddah. Anda bisa seenaknya berbahasa Indonesia di sana, kadang malah Sunda, Jawa, atau Bugis.
Para pekerja yang sukses ini, tentu saja, menyumbang pemasukan devisa negara. Muhamad Dimyati, lelaki asal Jawa Barat, misalnya, mengaku setiap bulan mengirim Rp 150 ribu untuk orang tuanya. Dia memilih mentransfer daripada menabung di Arab. "Negara kita perlu devisa untuk pembangunan," katanya.
Kisah sukses seperti itulah yang mendorong orang berdatangan. Paling sering mereka datang saat musim haji, dan tidak kembali ke Tanah Air setelah menapak tilas jalan Ibrahim. Ini sama seperti orang yang menyerbu Jakarta pasca-Lebaran karena diajak sanak saudaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo