Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBANGKANGAN Markas Besar Kepolisian dalam perkara korupsi pengadaan simulator kemudi 2011 semakin mengkhawatirkan. Tindakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sebenarnya lazim dilakukan, ditafsirkan sebagai serangan terhadap institusi. Perlawanan—yang ironisnya dilakukan aparat penegak hukum—ini sangat membahayakan perjuangan melawan korupsi.
Sikap keras ditunjukkan Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo. Ketika mengumpulkan ribuan perwira polisi dalam pertemuan tertutup, Senin pekan lalu, ia bertekad melawan "orang-orang yang mencoreng institusi". Ia pun menyebutkan "penggeledahan tanpa etika" sebagai "garong". Sang Jenderal rupanya mempersoalkan penggeledahan markas Korps Lalu Lintas oleh penyidik komisi antikorupsi, yang sebenarnya sah karena telah dilengkapi izin pengadilan.
Markas Besar Kepolisian sebelumnya berusaha menelikung penyidikan dengan buru-buru menetapkan lima tersangka dan langsung menahan mereka dalam perkara yang sama. Padahal lima orang ini merupakan saksi-saksi penting Komisi untuk membuktikan dugaan keterlibatan tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas.
Sulit memahami penolakan Markas Besar Kepolisian menyerahkan perkara korupsi pengadaan simulator ke Komisi. Padahal semua prasyarat yang diatur undang-undang telah terpenuhi agar komisi antirasuah menangani sepenuhnya kasus itu. Nota kesepahaman antara Komisi, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung, yang dijadikan dalih polisi untuk mempersoalkan penyidikan, seharusnya otomatis gugur dan tak bisa mengalahkan undang-undang antikorupsi.
Perlawanan Markas Besar Polri itu jelas merupakan tindakan melawan hukum—hal yang seharusnya wajib mereka tegakkan. Para petinggi lembaga itu, termasuk Kepala Polri, bisa dikatakan telah merintangi tugas komisi antikorupsi—sang "cicak". Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur, pelaku pelanggaran hukum semacam ini bisa diancam hukuman minimal tiga tahun penjara dan denda sedikitnya Rp 150 juta.
Sikap keras Trunojoyo juga memunculkan dugaan: mereka berusaha menutup-tutupi sesuatu yang jauh lebih dahsyat. Sudah menjadi rahasia umum, Korps Lalu Lintas merupakan "lumbung uang" bagi Kepolisian. Setiap tahun, korps ini mengumpulkan penerimaan negara nonpajak triliunan rupiah per tahun dari jutaan kendaraan bermotor di seluruh Indonesia. Sembilan puluh persen dari jumlah itu bisa dipakai kembali untuk "meningkatkan pelayanan kepada masyarakat". Bisa saja itu kemudian bocor ke mana-mana. Aliran dana inikah yang hendak disembunyikan?
Kecurigaan adanya kejahatan pada penggunaan dana itu bukan tanpa alasan. Dalam proyek pengadaan simulator kemudi untuk ujian surat izin mengemudi senilai Rp 196,87 miliar—yang juga dibiayai penerimaan negara nonpajak—tercatat aliran dana Rp 15 miliar ke Primer Koperasi Polisi Korps Lalu Lintas dari PT Inovasi Teknologi Indonesia. Menurut Sukotjo S. Bambang, direktur utama perusahaan subkontraktor itu, duit tersebut merupakan bagian dari pelicin proyek. Tapi, menurut Budi Susanto, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, yang memperoleh proyek, uang itu merupakan pembayaran utang.
Tidak tertutup kemungkinan, dana yang tak jelas peruntukannya juga mengalir dari proyek-proyek lain di Korps Lalu Lintas. Tentulah hampir mustahil mengharapkan penyidikan oleh Kepolisian untuk membongkar kebusukan ini. Itu sebabnya semakin mutlak perkara korupsi simulator ini ditangani sepenuhnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jenderal Timur Pradopo perlu diingatkan kembali kepada 10 janji yang disampaikan pada saat uji kelayakan dan kepatutan calon Kepala Polri di Dewan Perwakilan Rakyat, dua tahun lalu. Janji pertamanya ketika itu adalah "Menjunjung tinggi supremasi hukum dengan menegakkan hukum dan selalu bertindak sesuai ketentuan hukum". Ia juga berjanji meneruskan reformasi dan mempercepat transformasi polisi.
Perlawanan Kepolisian yang dipelopori Kepala Polri terhadap proses hukum kasus simulator kemudi mengingkari janji Jenderal Timur sendiri. Kekeliruannya semakin besar jika ia juga merestui berbagai tindakan ilegal anggota Kepolisian—misalnya penyadapan yang tidak sah—sebagai balas dendam kepada pemimpin komisi antirasuah.
Meski mungkin sia-sia, kita tetap berharap Presiden sebagai atasan segera memerintahkan Kepala Polri menyerahkan perkara ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Langkah ini bukanlah intervensi hukum, melainkan justru meluruskan pelaksanaan hukum. Jika Kepala Polri atau siapa pun petinggi polisi membangkang, Kepala Negara semestinya berani memecat lantaran mereka jelas-jelas melanggar ketentuan perundangan. Pertentangan ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut, kecuali jika Presiden mau dicap melindungi atau berada di pihak "buaya pelanggar hukum".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo