Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

"p" di gunung pattok

Bukit di tepi kota situbondo yg dibangun team pemberantasan pelacuran untuk mendidik wanita tuna susila dan mucikarinya, ternyata berubah sebaliknya peminatnya bahkan dari luar kota dan pelajar. (ils)

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKIT di tepi kota Situbondo itu bernama Gunung Pattok. Disingkat Guppa. Dan tiga tahun belakangan ini amat populer. Sebelumnya memang sudah mashur, karena di lereng baratnya terdapat lapangan tempat latihan menembak. Tapi kini adanya tempat lokalisasi WTS "Puncak Sari" di kawasan lebih baratnya lagi, menambah semarak itu bukit. Meski di bukit sebelahnya terdapat pekuburan Cina baru, pengganti pekuburan lama yang kena gusur karena perluasan kota, itu tak adi halangan bagi para pengunjung. Hingga tak aneh, bila para peminatnya tak terbatas cuma penduduk setempat. Juga berdatangan dari Jember, Bondowoso, Besuki sampai Asembagus. Sebab di kota-kota yang belakangan ini, konon belum punya tempat macam "Puncak Sari" tadi. Yang mengendap-endap, tentu saja ada. Tapi ketimbang was-was kepergok Hansip, lebih aman "menembak" di Puncak Sari. Selain aman dan tempatnya nyaman, 75 'pelayan sorga' dengan 20 germo alias mucikari penghuni 25 rumah permanen atau dinding bambu, siap jadi pilihan. Maksud semula Bupati Situbondo berpayah-payah membeli tanah seluas 1 1/2 Ha di bukit tersebut, bukanlah seperti yang berkembang sekarang. Sebab tanah bekas tempat pembuangan sampah di desa Mimbaan, Kecamatan Panji yang dibeli Pebruari 1972 untuk Team Pemberantasan Pelacuran itu bertujuan sebaliknya. Yakni memberantas "sorga hitam" bernama pelacuran. Memang tak sekaligus. Tapi dengan mula-mula melarang mereka berjaja di jalanan, terutama di alun-alun kota. Yang tentu saja terpaksa mereka setujui. Lalu selama 3 hari dalam seminggu, mereka dikumpulkan, buat dicekoki petuah-petuah dan pelajaran-pelajaran. Berupa agama, budi pekerti, olahraga atau kewanitaan. Juga para mucikarinya. Dua minggu sekali, mereka diwajibkan mendengarkan ceramah perihal ketertiban dan keamanan. Bukan itu saja kewajiban para mucikari dan ini memang aneh. Sebab kepada RT setempat setiap germo juga diwajibkan menyetor iuran harian Rp 150. Dan uang yang terkumpul, yang maksudnya buat biaya pembinaan, ternyata jadi rebutan di antara pembinanya sendiri. Hingga terpaksa team yang bertanggung jawab, menyisihkan 30 buat pembina terdiri penjaga ketertiban dan keamanan. Yang berseragam atau tidak, tapi biasanya menyandang pistol. Dan para petugas ini tampaknya juga tak peduli, dari kalangan mana para tamu yang datang bertandang ke sana. Tampaknya mereka bersemboyan: yang penting toh para tamu itu membayar. Hingga terdiri dari para pelajar pun, bukan soal. Dan jumlah mereka ini kabarnya tak sedikit. Ada yang cuma lihat-lihat. Tak kurang pula yang masuk kamar. "Iseng, oom", jawab mereka bila ditanya. "Habis belajar melulu bisa gila". Tak jelas maksudnya. Yang terang, meski harus melewati jalan Argopuro yang gelap, tegalan dan pekuburan, tak jadi halangan buat berkunjung ke "Puncak Sari". Di sini agaknya mereka merasa lebih nikmat, ketimbang menekuni buku di bawah penerangan lampu kota yang spaningnya rendah. Tentu saja fihak Kepolisian atau Dinas Sosial setempat tak bisa mendiamkan hal itu berlangsung terus. Itu tempat lokalisasi perlu dipindahkan. Harus dijauhkan dari para "tunas bangsa" itu. Tapi kemana? Mula-mula direncanakan ke tepi jalan raya Bondowoso-Situbondo, di desa Kotakan. Tapi diprotes Komandan Kodim setempat. Sebab di sana baru saja dibuka markas Kompi Senapan Batalyon 5,14. Lalu sebidang tanah seberang kali Sampeyan di desa Ardirejo, sebelah timur Kotakan, jadi pilihan. Kali ini Kepala Dinas osialnya Soegiyanto, tak setuju. Alasannya? Tempat berdagang alat vital itu dDkhawatirkan menimbulkan pencemaran air sungai yang mengalir ke tengah kota itu. Sebab tentunya air bekas para "P" itu dan barang bekas mereka lainnya, akan mengalir ke sana. Sedang sungai tersebut tempat yang paling disukai penduduk Situbondo memenuhi segala hajatnya: mandi, mencuci dan lainnya "Air najis itu pasti mencemarkan sebagian penduduk kota", ujar Soegiyanto. Akhirnya Puncak Sari dibiarkan mendekam di lereng Guppa. Dengan ruparupa akibatnya. Apalagi tanah kapling di sana kini menjadi milik para mucikari. Karena mereka mencicilnya kepada Kepala Desa Mimbaan. Tanpa sepengetahuan Team Pemberantasan Pelacuran, si pemilik semula, yang dulu membeli tanah itu,dengan uang APBD Kabupaten Situbondo. Repot sekali agaknya mengatur pelacur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus