BUKIT di tepi kota Situbondo itu bernama Gunung Pattok.
Disingkat Guppa. Dan tiga tahun belakangan ini amat populer.
Sebelumnya memang sudah mashur, karena di lereng baratnya
terdapat lapangan tempat latihan menembak. Tapi kini adanya
tempat lokalisasi WTS "Puncak Sari" di kawasan lebih baratnya
lagi, menambah semarak itu bukit. Meski di bukit sebelahnya
terdapat pekuburan Cina baru, pengganti pekuburan lama yang kena
gusur karena perluasan kota, itu tak adi halangan bagi para
pengunjung.
Hingga tak aneh, bila para peminatnya tak terbatas cuma penduduk
setempat. Juga berdatangan dari Jember, Bondowoso, Besuki sampai
Asembagus. Sebab di kota-kota yang belakangan ini, konon belum
punya tempat macam "Puncak Sari" tadi. Yang mengendap-endap,
tentu saja ada. Tapi ketimbang was-was kepergok Hansip, lebih
aman "menembak" di Puncak Sari. Selain aman dan tempatnya
nyaman, 75 'pelayan sorga' dengan 20 germo alias mucikari
penghuni 25 rumah permanen atau dinding bambu, siap jadi
pilihan.
Maksud semula Bupati Situbondo berpayah-payah membeli tanah
seluas 1 1/2 Ha di bukit tersebut, bukanlah seperti yang
berkembang sekarang. Sebab tanah bekas tempat pembuangan sampah
di desa Mimbaan, Kecamatan Panji yang dibeli Pebruari 1972 untuk
Team Pemberantasan Pelacuran itu bertujuan sebaliknya. Yakni
memberantas "sorga hitam" bernama pelacuran. Memang tak
sekaligus. Tapi dengan mula-mula melarang mereka berjaja di
jalanan, terutama di alun-alun kota. Yang tentu saja terpaksa
mereka setujui. Lalu selama 3 hari dalam seminggu, mereka
dikumpulkan, buat dicekoki petuah-petuah dan
pelajaran-pelajaran. Berupa agama, budi pekerti, olahraga atau
kewanitaan. Juga para mucikarinya. Dua minggu sekali, mereka
diwajibkan mendengarkan ceramah perihal ketertiban dan keamanan.
Bukan itu saja kewajiban para mucikari dan ini memang aneh.
Sebab kepada RT setempat setiap germo juga diwajibkan menyetor
iuran harian Rp 150. Dan uang yang terkumpul, yang maksudnya
buat biaya pembinaan, ternyata jadi rebutan di antara pembinanya
sendiri. Hingga terpaksa team yang bertanggung jawab,
menyisihkan 30 buat pembina terdiri penjaga ketertiban dan
keamanan. Yang berseragam atau tidak, tapi biasanya menyandang
pistol.
Dan para petugas ini tampaknya juga tak peduli, dari kalangan
mana para tamu yang datang bertandang ke sana. Tampaknya mereka
bersemboyan: yang penting toh para tamu itu membayar. Hingga
terdiri dari para pelajar pun, bukan soal. Dan jumlah mereka
ini kabarnya tak sedikit. Ada yang cuma lihat-lihat. Tak kurang
pula yang masuk kamar. "Iseng, oom", jawab mereka bila ditanya.
"Habis belajar melulu bisa gila". Tak jelas maksudnya. Yang
terang, meski harus melewati jalan Argopuro yang gelap, tegalan
dan pekuburan, tak jadi halangan buat berkunjung ke "Puncak
Sari". Di sini agaknya mereka merasa lebih nikmat, ketimbang
menekuni buku di bawah penerangan lampu kota yang spaningnya
rendah.
Tentu saja fihak Kepolisian atau Dinas Sosial setempat tak bisa
mendiamkan hal itu berlangsung terus. Itu tempat lokalisasi
perlu dipindahkan. Harus dijauhkan dari para "tunas bangsa" itu.
Tapi kemana? Mula-mula direncanakan ke tepi jalan raya
Bondowoso-Situbondo, di desa Kotakan. Tapi diprotes Komandan
Kodim setempat. Sebab di sana baru saja dibuka markas Kompi
Senapan Batalyon 5,14. Lalu sebidang tanah seberang kali
Sampeyan di desa Ardirejo, sebelah timur Kotakan, jadi pilihan.
Kali ini Kepala Dinas osialnya Soegiyanto, tak setuju.
Alasannya? Tempat berdagang alat vital itu dDkhawatirkan
menimbulkan pencemaran air sungai yang mengalir ke tengah kota
itu. Sebab tentunya air bekas para "P" itu dan barang bekas
mereka lainnya, akan mengalir ke sana. Sedang sungai tersebut
tempat yang paling disukai penduduk Situbondo memenuhi segala
hajatnya: mandi, mencuci dan lainnya "Air najis itu pasti
mencemarkan sebagian penduduk kota", ujar Soegiyanto.
Akhirnya Puncak Sari dibiarkan mendekam di lereng Guppa. Dengan
ruparupa akibatnya. Apalagi tanah kapling di sana kini menjadi
milik para mucikari. Karena mereka mencicilnya kepada Kepala
Desa Mimbaan. Tanpa sepengetahuan Team Pemberantasan Pelacuran,
si pemilik semula, yang dulu membeli tanah itu,dengan uang APBD
Kabupaten Situbondo. Repot sekali agaknya mengatur pelacur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini