PERTENGAHAN April kemarin Iwan Tirta, untuk kesekian kalinya.
mengadakan lagi pameran pakaian dari batik buatan perusahaannya.
Di tokonya yang serba dipajang segala yang antik, banyak nyonya
yang nyaris tidak dapat tempat duduk. Siska Sudomo isteri
Kaskopkamtib yang datang terlambat terpaksa harus duduk di pojok
belakang. Mien Sudarpo duduk di mana saja. Beberapa nyonya kulit
putih rupanya lebih tertarik melihat pameran pakaian Iwan dari
pada datang ke bazaar pagi itu yang diadakan oleh nyonya
Yalink, isteri Dubes Belanda. Iwan Tirta tetap laku.
Pameran pakaian yang keluar jauh lebih sederhana kalau
dibandingkan batik-batik dan gaun-gaun ciptaannny yang
terdahulu. Koleksi "musim semi dan panas 1976" (mengapa tidak
"musim hujan"?) dari Iwan, condong ke warna lembut seperti
coklat, hijau muda atau kuning redup. Baju pendek dengan leher V
potongan sederhana, atau kaftan guntingan sederhana tapi corak
batik yang agung. Itu saja. Dua tiga nyonya bahkan memberi
komentar bahwa harga yang mahal (sekitar Rp 15.000) rasanya
tidak sesuai dengan potongan yang begitu sederhana.
Seni Dan Bisnis
"Saya tidak akan mencemplungkan diri untuk jadi disainer baju",
ujar Iwan Tirta pendek. Karena hal inilah mulai Mei nanti, dia
akan mengajak disainer pakaian Arthur Tambunan untuk bekerja
sama. Iwan yang mencipta bahannya, dan Arthur yang menggunting
jadi baju. "Mengatur manajemen, administrasi dan mendisain batik
saja sudah ruwet", tambahnya. Perusahaannya yang diberi nama
Rama craft kini memasuki tahun kelima. Dia memulai usahanya dari
kecil. Juga tidak mendapat fasilitas kredit lunak seperti
pemilik perusahaan batik lainnya yang cepat membesar untuk
kemudian seperti ban --kempes.
"Dan saya tetap mempertahankan segi seni dalam batik-batik
saya", begitu klaimnya. Artinya setiap mencetak batik, Iwan
selalu menyisakan 20% sendiri untuk batik eksklusif. Sisanya
batik sedang dan kodian (20% saja) yang bisa dibeli oleh pemilik
kantong senen-kemis. Yang eksklusif ini ternyata membutuhkan
cara tersendiri. Karena di mana pabrik batik lain memulai dengan
mesin. Iwan tetap mempertahankan tenaga manusia. "Indonesia
penuh dengan seni dan tenaga manusia. Inilah sebaiknya kita
pergunakan sekarang", katanya lagi. Hal ini katanya mendapat
perhatian laris dari luar negeri. Batik yang dibuat oleh tukang
batik, yang karena tangannya gemetar, punya garis yang tidak
lurus, yang dibuat berhari-hari. Tapi justeru inilah yang
menarik mata penduduk belahan sana, yang sudah jenuh akan barang
pabrik yang lebih rapi buatannya. Rama craft merasa bahwa
dengan masih banyaknya sumber tenaga kerja dewasa ini di
Indonesia, kerajinan tangan seperti batik perlu dipertahankan.
Tidak memerlukan modal investasi yang besar, "Cuma yang kami
perlukan sekarang ini ialah tenaga yang terlatih", tambah Iwan.
Dear Mas Iwan
Banyak memang Iwan mendapat surat dari penggemarnya - bagaikan
Chicha Koeswoyo. Biarpun dia bukan seorang bintang film atau
pemain ludruk terkenal. "Dear Mas Iwan yang baik! Nina ingin
sekali kenal dengan kakak, apa boleh! Soalnya Nina suka sekali
akan kreasi-kreasi kakak. Nina berhasrat sekali untuk menjadi
perancang mode atau peragawati", demikian tulis seorang gadis
umur belasan tahun. Surat-surat lain ada yang minta perkenalan,
minta tanda tangan, minta sokongan dan tidak kurang yang
menyatakan bahwa dia yakin dia berbakat membuat batik.
"Banyak yang mengira terkenalnya saya tidak ditempuh lewat jalan
yang sulit", ujarnya lagi. "Kalau melihat pameran pakaian yang
tampaknya begitu gemerlapan, memang. Tapi bagaimana sampai
gemerlapan, jarang orang paham". Ia tetap tidak mempunyai
keinginan untuk melempar pakaian jadi (ready to wear) ke luar
negeri. Alasannya: "Karena kita toh tidak bisa menyaingi
perusahaan pakaian jadi yang sudah meraksasa dan terkenal, di
samping kita memang tidak bisa menerima pesanan dalam jumlah
besar". Iwan lebih puas melempar batiknya ke luar negeri
(Amerika Utara dan Eropa) dalam bentuk bahan. Entah itu untuk
tap]ak meja, korden atau bikini. Givailehy, itu ahli perancang
mode' dari Paris, kini memulai memakai bahan Iwan Tirta untuk
ciptaan-ciptaannya. "Nama saya tidak akan disebut", katanya
lagi, "tapi-mereka yang tahu batik Indonesia, toh akan tahu itu
batik siapa".
Satu hal yang kini sangat diperlukannya: "Tenaga yang berbakat
untuk mencipta disain dasi, tas, selendang, perhiasan dan
assecories lain. Itu yang saya perlukan sekarang. Janganlah
hendaknya semua orang sekaligus ingin jadi perancang baju. Lha
yang buat sepatu tas dan lainnya, lantas siapa?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini