Moshi boku ga Kamisama dattara, sekaiju kanemochi ni shite yari
heiwa ni shite yaritaina Shigoto no nai hito ni wa, shigoto o
sagashite yari, byoki no hito ni wa yoi usun o otoshite yaru.
--Chisa na asa no uta, lagu kanak-kanak Jepang
KONON kejatuhan Adam dan Hawa itu akibat Iblis yang menggoda
agar memakan buah larangan (pemberi hikmat pengetahuan).
Keduanya terbujuk. Maka Tuhan murka, lalu mengusir mereka dari
Firdaus dan melaknat Iblis. Itu kisah dalam Bibel (Genesis 2
:15--24, 3 :1--24).
Di dalam al-Quran (al-Baqarah 1:30--38), Adam dan Hawa adalah
mahluk berpengetahuan. Mereka diberi tahu nama benda-benda alam
dan hukum-hukum yang berlaku atasnya. Tapi begitulah mereka
terbujuk Iblis, menghampiri pohon larangan (penyebab kejahatan).
Dengan murka Tuhan, terusirlah mereka dari Firdaus. Tuhan
mengampuni mereka setelah sadar dan sama-sama mohon ampun,
sedang Ia melaknat Iblis.
Tuhan Maha Pengampun, Maha Penguasa. Ia dijanjikan anugerah tapi
juga malapetaka, dan setiap mahluk yang memiliki kesadaran
diberi kebebasan penuh untuk memilih. Kini bagaimana bila mahluk
tadi malah melamun hendak menjadi Tuhan, lebih-lebih bila mahluk
itu, tak lain, seorang bocah? Semata-mata karena daya
fantasinyalah bila seorang bocah bertutur: 'Kalau aku Tuhan'.
Setelah ketawa atau tercengang-cengang kita mungkin menyusulnya:
'Lantas kau mau apa?' Dan mendengar jawabnya, kita lebih baik
mengusap-usap kepala anak itu. Mulia benar hatinya! Dan anak itu
barangkali cuma kemalu-maluan, nyengir-nyengir saja dengan wajah
polos, jernih tanpa bayangan dosa.
Semula, saya juga terkekeh-kekeh mendengar paduan suara
anak-anak yang menyanyikan Chisa na asa no uta itu. Khas suara
kanak-kanak, nyaring dan tanpa tedeng aling-aling. Dengarlah:
Jika aku Tuhan, seluruh dunia kan kubuat jadi(orang-orang)
kaya, dan kubikin aman tenteram. Bagi yang nganggur kucarikan
pekerjaan, sedang bagi yang sakit kujatuhkan obat manjur'
Chisai atau chisa na, berarti kecil, mungil, sederhana. Asa no
uta berarti lagu pagi. Chisa na asa no uta, "lacu kecil mungil
di pagi hari" itu, memang hanya terdiri dari satu bait pendek
dan dinyanyikan cuma dalam waktu tiga puluh detik. Dua tiga
kali mendengarnya saya tersenyum-senyum sendirian. Tapi makin
didengar, amboi .... dalam lagu kecil itu ternyata tersembunyi
pesan moral yang 'besar'.
Lagu itu mengumumkan suatu cita-cita. Keinginan untuk menjadi
Pejabat yang memegang kekuasaan. Bukan yang kotor dan
sewenang-wenang, tapi seorang Pejabat mulia. Dengan kekuasaan
jabatannya, bukan hendak mengeruk kekayaan bagi diri sendiri,
tapi hendak memberi kesempatan seluas-luasnya bagi mereka yang
miskin-melarat untuk berusaha menjadi kaya dan sama-sama
menikmati kemakmuran. Pejabat agung, yang menghilangkan
bentrokan-bentrokan sosial dan melindungi keamanan setiap
pribadi. Bukan hendak menutup, tapi membuka dan mempermudah
kesempatan setiap pribadi untuk mengembangkan daya-daya
terpendam,bekerja melahirkannya jadi karya nyata yang berguna.
Hendak menciptakan pula lembaga-lembaga pembawa kesejahteraan.
Tentulah mudah dimengerti, kekuasaan itu beriringan dengan
jabatan. Makin tinggi jabatan, makin besar kekuasaan. Namun, ada
semacam gejala, bahwa kesewenang-wenangan gampang sekali lahir
dari seorang pemegang kekuasaan. Sering terlihat, penyebab
bentrokan-bentrokan sosial dan juga koruptor-koruptor, bukanlah
orang-orang dari lapisan rendahan. Mereka adalah figur-figur
dari kalangan tinggi. Tentang ini seorang guru mengingatkan,
katanya, tiada gading yang tak retak. Ya, manusia bukan, dan
takkan pernah, bisa jadi Tuhan. Manusia adalah mahluk yang
memiliki kelemahan-kelemahan, baik kelemahan bawaan (Gregor
Mendel), baikpun kelemahan bentuk lingkungan. Karena ia manusia
seorang pejabat mudah tergelincir menyalahgunakan jabatan,
seorang penguasa gampang terpeleset jadi lalim. Sebetulnya
kasihan seorang pejabat demikian. Sekarang mungkin tak apa-apa,
tapi lama-lama ia akan alami konfiik jiwa: bukankah nuraninya
berteriak-teriak menentang penyelewengan-penyelewengannya?
Diburu mimpi buruk tentu tidak menyenangkan, salah-salah bisa
jadi senewen. Konfilikasi jiwa akhirnya mengundang penyakit
fisik, entah tekanan darah tinggi, entah kencing gula, entah
tbc. Kasihan.
Terkenanglah kita peristiwa Adam dan Hawa. Setelah mereka
sadar, lalu memohon, mendapat ampunan dari Tuhan. Tapi sebelum
itu mereka harus menerima keputusan Dari Sang Maha Penguasa:
dicopot dari jabatannya sebagai penghuni Firdaus. Dan
sebagaimana mula-mula telanjang di Firdaus, tibanya mereka di
bumi pun telanjang tanpa 'kekayaan' apa-apa. Di atas itulah
Tuhan mengampuni mereka, memberi kebebasan berbuat kebajikan
agr bisa kembali ke Firdaus. Tapi, bila manusia tetap dalam
pngaruh Iblis, biarlah Tuhan yang akan menunjukkan kekusaanNya
dengan cara yang hanya Dia ketahui.
Sementara itu, salah satu keajaiban manusia, adalah kemampuannya
mengubah hal-hal negatif menjadi positif, kata Alfred Adler.
Juga kita tahu, tak sedikit pejabat-pejabat yang mampu dengan
gemilang menunjukkan kebajikannya: seolah-olah menjahitkan
benang emas dalam sejarah bangsanya, berkarya positif sepanjang
masa jabatannya. Nama dan karya-karyanya abadi, terpuji dan
dikenang generasi berikutnya.
Manusia bukan, dan takkan pernah, jadi Tuhan. Tapi ia bisa
memiliki sifat-sifat mulia, berbuat kebajikan yang terpuji.
Kiranya usaha ke arah itulah yang menjadi pesan besar dari lagu
kecil tadi. Maka bila disetujui, arti lagu itu bisa menjadi
begini:
'Bila aku Pejabat, akan kugunakan kekuasaanku untuk
kebajikan, memberi kesempatan setiap rakyat jadi kaya
raya menikmati kemakmuran, menjamin keamanan setiap
pribadi lahir batin, menciptakan lapangan kerja yang luas,
mendirikan lembaga-lembaga kesejahteraan fisik dan non-
fisik bagi masyarakat '
Kanazawa, 10 April 1976.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini