Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pancasila, sejauh mata memandang

Sejauh mata memandang, pancasila terpilih sebagai dasar hidup bersama. mencari jalan untuk mempraktekan kesadaran, bahwa kebersamaan & masa depan ditentukan oleh perbuatan bersama untuk menjawab persoalan bersama.

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA yang kita pandang adalah ke lima sila dari Pancasila, maka sejauh mata memandang, Pancasila akan menjadi dasar hidup bersama yang terpilih. Lahirnya Pancasila menjadi suatu peristiwa yang bersejarah, karena pada saat itu ke-pribadi-an bangsa kita dikristalisasikan. Kemudian ia menjadi puncak konsensus nasional yang unik, yang hanya bisa kita alami apabila kita berada dalam suasana kesepakatan yang bersejarah itu. Selama ini keutuhan pribadi kita sebagai bangsa nampaknya memang tak terpikirkan tanpa Pancasila. Dengan kata lain, kebersamaan kita tak akan terpandang apabila ke 5 sila dari Pancasila itu lepas pula dari pandangan kita. Sejauh yang kita alami, Pancasila memang telah berfungsi. Yaitu sebagai dasar hidup bersama di mana kita berpijak. Dengan itu sering kita katakan bahwa setiap ancaman yang akan merusakkan kebersamaan kita sebagai bangsa kita anggap sebagai langkah yang menyeleweng dari Pancasila. Pun langkah-langkah yang cenderung menjerumuskan kita ke dalam malapetaka nasional, sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu, kita anggap juga sebagai langkah yang berlawanan dengan Pancasila. Jadi Pancasila kita anggap sebagai 'batu penjuru' di mana bengkok dan lurusnya suatu bangunan kita ukur bersama. Namun, bila yang kita pandang adalah ke lima sila dari Pancasila, maka Pancasila sebagai kepribadian bangsa akan lebih membuat kita sadar diri daripada setiap kali hanya memakainya sebagai sumber pembenaran diri belaka. Pembenaran diri cenderung menempatkan diri sebagai pengukur dan bukan yang diukur. Lalu, siapa mengukur pengukur? Jarak Di sinilah mungkin perlunya membuat jarak yang berguna antara diri kita dan Pancasila. Kalau Pancasila hanya diberi fungsi sebagai sumber pembenaran diri belaka, maka godaan nyata yang kita hadapi ada bahwa ia akan menjadi sekedar suatu 'konsepsi' untuk membela diri yang bisa berarti membela kesalahan diri. Sebagaimana kita maklumi, ini adalah godaan biasa terhadap manusia biaa yang lubang hidungnya dua. Namun, bila yang kita pandang adalah ke lima sila dari Pancasila maka ia akan berfungsi sebagai dasar berpijak bersama yang akan menjagai setiap langkah yang kita putuskan. Sehingga pengamalan Pancasila dalam praktek beserta penguukurannya akan menjadi kesibukan kita setiap hari. Nyata bahwa masalah pokok yang kita hadapi di sini adalah bagaimana agar Pancasila dapat menjadi alat pengukur yang efektip, untuk membuat kita mampu mengadakan koreksi terhadap langkah-langkah yang kita lakukan bersarna. Khususnya koreksi terhadap kesalahan yang masih dan sedang berlangsung. Soal penjabaran Pancasila yang selama ini kita pikirkan juga tak lepas dari upaya kita untuk menempatkan Pancasila sebagai alat pengukur bagi langkah dan tindakan kita. Dan mengenai alat pengukur inipun kita dihadapkan kepada bahaya untuk terjerumus dalam sisi lain dari mata uang gobang kesalahan yang sama. Yaitu kesalahan yang akan muncul dari apa yang biasa disebut 'ideologi'. Yaitu ketika Pancasila cenderung menjadi suatu sistim ajaran formil yang dianggap sakral pada dirinya. Dalam suasana seperti itu maka ia akan segera berfungsi sebagai alat untuk mengesahkan kedudukan absolut dari para penganutnya. Ia tak pernah lagi mampu mempertajam pemahaman diri yang lebih mendalam, kecuali yang sudah ditentukan oleh 'ideologi'nya itu. Dengan demikian Pancasila memang harus dijabarkan dalam tindakan hari demi hari, dan bukannya dijabarkan dengan minat untuk memperoleh kebenaran kekal dalam pergumulan abstrak, yang lepas dari persoalan yang kita hadapi setiap hari. Dalam hubungan ini maka tugas penjabaran Pancasila bukan menjadi tugas spesial dari para 'filsuf' saja, tetapi langsung merupakan tugas seluruh rakyat. Tindakan, Bukan Teoritis Juga soal penjabaran Pancasila bukanlah suatu usaha untuk sekedar mengulangi konsensus nasional dalam tindaka yang bersifat rituil. Akan tetapi mencari jalan untuk mempraktekkan kesadaran, bahwa soal kebersamaan dan masa depan kita akan ditentukan oleh apa yang kita perbuat bersama untuk menjawab persoalan bersama. Di sinilah kemungkinan untuk melangkah ke masa depan menjadi nyata. Pendekatan teoritis selalu menuntut pembenaran yang sifatnya absolut, sehingga kemacetan absolut sering tak bisa dihindarkan. Sedangkan orientasi kepada tindakan pengamalan tak pernah mengandung claim yang bersifat absolut. Sebab tindakan itu sendiri sel itu bersifat sementara dan relatip. Ia selesai setiap kali sudah dilakukan. Ia serta merta rampung dan menjadi nisbi, sehingga kekosongan di depannya mesti disi dengan langkah dan tindakan yang baru. Koreksi praktis bisa berlangsung di sini. Jalan ke masa depan menjadi terbuka. Sebab dalam arti tertentu masa depan memang menghendaki pencairan terhadap segala perbendaharaan manusiawi yang ada dalam sejarah. Berhadapan dengan masa depan manusia menjadi relatip. Karena masa depan tak pernah mutlak berada di bawah kekuasaan dan kendali manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus