SELAMA yang kita pandang adalah ke lima sila dari Pancasila,
maka sejauh mata memandang, Pancasila akan menjadi dasar hidup
bersama yang terpilih. Lahirnya Pancasila menjadi suatu
peristiwa yang bersejarah, karena pada saat itu ke-pribadi-an
bangsa kita dikristalisasikan. Kemudian ia menjadi puncak
konsensus nasional yang unik, yang hanya bisa kita alami apabila
kita berada dalam suasana kesepakatan yang bersejarah itu.
Selama ini keutuhan pribadi kita sebagai bangsa nampaknya memang
tak terpikirkan tanpa Pancasila. Dengan kata lain, kebersamaan
kita tak akan terpandang apabila ke 5 sila dari Pancasila itu
lepas pula dari pandangan kita.
Sejauh yang kita alami, Pancasila memang telah berfungsi. Yaitu
sebagai dasar hidup bersama di mana kita berpijak. Dengan itu
sering kita katakan bahwa setiap ancaman yang akan merusakkan
kebersamaan kita sebagai bangsa kita anggap sebagai langkah yang
menyeleweng dari Pancasila. Pun langkah-langkah yang cenderung
menjerumuskan kita ke dalam malapetaka nasional, sebagaimana
yang pernah terjadi di masa lalu, kita anggap juga sebagai
langkah yang berlawanan dengan Pancasila. Jadi Pancasila kita
anggap sebagai 'batu penjuru' di mana bengkok dan lurusnya suatu
bangunan kita ukur bersama.
Namun, bila yang kita pandang adalah ke lima sila dari
Pancasila, maka Pancasila sebagai kepribadian bangsa akan lebih
membuat kita sadar diri daripada setiap kali hanya memakainya
sebagai sumber pembenaran diri belaka. Pembenaran diri cenderung
menempatkan diri sebagai pengukur dan bukan yang diukur. Lalu,
siapa mengukur pengukur?
Jarak
Di sinilah mungkin perlunya membuat jarak yang berguna antara
diri kita dan Pancasila. Kalau Pancasila hanya diberi fungsi
sebagai sumber pembenaran diri belaka, maka godaan nyata yang
kita hadapi ada bahwa ia akan menjadi sekedar suatu 'konsepsi'
untuk membela diri yang bisa berarti membela kesalahan diri.
Sebagaimana kita maklumi, ini adalah godaan biasa terhadap
manusia biaa yang lubang hidungnya dua.
Namun, bila yang kita pandang adalah ke lima sila dari Pancasila
maka ia akan berfungsi sebagai dasar berpijak bersama yang akan
menjagai setiap langkah yang kita putuskan. Sehingga pengamalan
Pancasila dalam praktek beserta penguukurannya akan menjadi
kesibukan kita setiap hari. Nyata bahwa masalah pokok yang kita
hadapi di sini adalah bagaimana agar Pancasila dapat menjadi
alat pengukur yang efektip, untuk membuat kita mampu mengadakan
koreksi terhadap langkah-langkah yang kita lakukan bersarna.
Khususnya koreksi terhadap kesalahan yang masih dan sedang
berlangsung.
Soal penjabaran Pancasila yang selama ini kita pikirkan juga tak
lepas dari upaya kita untuk menempatkan Pancasila sebagai alat
pengukur bagi langkah dan tindakan kita. Dan mengenai alat
pengukur inipun kita dihadapkan kepada bahaya untuk terjerumus
dalam sisi lain dari mata uang gobang kesalahan yang sama. Yaitu
kesalahan yang akan muncul dari apa yang biasa disebut
'ideologi'. Yaitu ketika Pancasila cenderung menjadi suatu
sistim ajaran formil yang dianggap sakral pada dirinya. Dalam
suasana seperti itu maka ia akan segera berfungsi sebagai alat
untuk mengesahkan kedudukan absolut dari para penganutnya. Ia
tak pernah lagi mampu mempertajam pemahaman diri yang lebih
mendalam, kecuali yang sudah ditentukan oleh 'ideologi'nya itu.
Dengan demikian Pancasila memang harus dijabarkan dalam tindakan
hari demi hari, dan bukannya dijabarkan dengan minat untuk
memperoleh kebenaran kekal dalam pergumulan abstrak, yang lepas
dari persoalan yang kita hadapi setiap hari. Dalam hubungan ini
maka tugas penjabaran Pancasila bukan menjadi tugas spesial dari
para 'filsuf' saja, tetapi langsung merupakan tugas seluruh
rakyat.
Tindakan, Bukan Teoritis
Juga soal penjabaran Pancasila bukanlah suatu usaha untuk
sekedar mengulangi konsensus nasional dalam tindaka yang
bersifat rituil. Akan tetapi mencari jalan untuk mempraktekkan
kesadaran, bahwa soal kebersamaan dan masa depan kita akan
ditentukan oleh apa yang kita perbuat bersama untuk menjawab
persoalan bersama. Di sinilah kemungkinan untuk melangkah ke
masa depan menjadi nyata.
Pendekatan teoritis selalu menuntut pembenaran yang sifatnya
absolut, sehingga kemacetan absolut sering tak bisa dihindarkan.
Sedangkan orientasi kepada tindakan pengamalan tak pernah
mengandung claim yang bersifat absolut. Sebab tindakan itu
sendiri sel itu bersifat sementara dan relatip. Ia selesai
setiap kali sudah dilakukan. Ia serta merta rampung dan menjadi
nisbi, sehingga kekosongan di depannya mesti disi dengan
langkah dan tindakan yang baru. Koreksi praktis bisa berlangsung
di sini. Jalan ke masa depan menjadi terbuka.
Sebab dalam arti tertentu masa depan memang menghendaki
pencairan terhadap segala perbendaharaan manusiawi yang ada
dalam sejarah. Berhadapan dengan masa depan manusia menjadi
relatip. Karena masa depan tak pernah mutlak berada di bawah
kekuasaan dan kendali manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini