Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANDARA Soekarno-Hatta, pukul 21.00 WIB, 7 September 2004. Seteguk cokelat panas yang dipesan dari sebuah kedai kue donat di bandara mengalir ke kerongkongan Munir. Hangat. Tapi ia segera ingat sesuatu. ”Jangan-jangan saya dicekal seperti Januari lalu,” kata Munir seperti ditirukan Poengky Indira, Sekretaris Eksekutif Imparsial.
Januari lalu, menjelang berangkat ke Swiss untuk sebuah seminar, Munir sempat menelepon mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono. ”Apakah saya dicekal?” tanya Munir polos. ”Tidak, kok. Silakan Anda pergi,” kata Hendro ketika itu.
Menjelang pergi ke Belanda, Munir tak menelepon Hendro lagi. Ia yakin urusan cekal sudah tak menghambatnya lagi. Tapi, beberapa jam setelah itu, ternyata Munir benar-benar pergi untuk selamanya. Dia meninggal di pesawat Garuda dalam perjalanan dari Singapura menuju Amsterdam. Dari hasil otopsi Netherlands Forensisch In-stituut, ada racun arsenik di lambung, darah, dan urine.
Siapa pembunuh Munir dan apa pula motifnya sampai saat ini masih menjadi teka-teki. Beberapa nama disangkutkan dengan kasus ini. Sebelumnya, ada Pollycarpus, lalu kini muncul pemain baru, manusia dengan banyak nama alias, dari Ucok, Empe, Raden Patma, sampai Aa. Nama ini muncul dalam memori permohonan peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pekan silam.
Siapakah Ucok? ”Dia agen BIN,” kata M. Assegaf. Adakah itu pertanda kasus ini mulai mendapatkan titik terang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo