Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM reda gonjang-ganjing akibat kenaikan bahan bakar minyak pada Mei dan Oktober 2005 sebesar lebih dari 100 persen, masyarakat kembali dikagetkan oleh rencana kenaikan tarif listrik. Tapi tarif setrum akhirnya tidak naik, setelah dikritik kiri-kanan, depan-belakang.
Rencana kenaikan tarif itu amat menohok. Ketika inflasi belum juga terkendali, tarif listrik diusulkan naik hingga 48 persen dari Rp 1.200 per kilowatt jam (kWh). Alasannya klasik: APBN sudah tak sanggup menombok subsidi yang masih kurang Rp 21 triliun untuk menambal biaya produksi. Beban kepada konsumen adalah jalan terakhir.
Badan Pemeriksa Keuangan punya pendapat lain. Lembaga audit ini menyodorkan data bahwa biaya produksi PLN paling tinggi dibanding negara Asia lainnya. Pantas saja, subsidi tak kunjung cukup. Jika saja PLN mau berhemat, begitu saran BPK kepada DPR, subsidi Rp 17 triliun sudah cukup untuk membiayai seluruh operasinya.
Kali ini DPR mendengar apa kata BPK. Mereka menolak tarif baru yang diusulkan PLN dan pemerintah. Tapi, hari-hari ini, krisis setrum kembali datang dengan pokok masalah yang sama. PLN membungkus kenaikan tarif itu dengan program insentif-disinsentif. Siapa hemat, dapat murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo