Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH bukan kasir Lapindo Brantas Inc. Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan ganti rugi kepada sebagian korban lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, membuktikan lemahnya pemerintah di depan perusahaan ini. Dengan murah hati Presiden menyanggupi akan mengeluarkan uang sekitar Rp 700 miliar, yang diambil dari anggaran belanja negara.
Keputusan itu diketuk dalam sidang kabinet terbatas pekan lalu. Pemerintah merasa perlu turun tangan setelah menyaksikan tiga desa—Besuki, Pejarakan, dan Kedung Cangkring—ikut kelelep lumpur. Tentu bagus memberikan perlakuan yang sama terhadap warga yang terkena dampak luluk panas. Namun kepedulian itu tak serta-merta mesti membuat pemerintah repot mengeluarkan uang dari koceknya sendiri.
Dana ganti rugi jelas uang rakyat. Padahal, kita tahu, pemerintah sedang bekerja keras menghemat anggaran dengan cara memotong subsidi bahan bakar minyak dan listrik. Penghematan itu berdampak pada pengurangan anggaran hingga 15 persen di tiap departemen. Ironisnya, tatkala Presiden semestinya menggemakan semangat mengencangkan ikat pinggang, pemerintah justru mendermakan anggarannya untuk urusan yang masih kusut ini.
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyebut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap Lapindo pada akhir Desember lalu. Pengadilan menilai semburan lumpur merupakan fenomena alam. Karena itu, menurut Djoko, Lapindo tak bersalah dan pemerintah mesti aktif menangani korban semburan lumpur. Menteri Djoko lupa, keputusan pengadilan itu belum berkekuatan hukum tetap. Walhi masih mengajukan banding.
Kepolisian Daerah Jawa Timur pun menyidik kasus ini dan telah menetapkan 13 tersangka, dari pelaksana proyek, subkontraktor, hingga petinggi Lapindo. Ketika polisi bekerja, para ahli berdebat—apakah semburan akibat bencana alam atau kelalaian Lapindo—dan pengadilan belum sampai pada kata akhir, terlalu gegabah jika pemerintah mengeluarkan keputusan menyediakan ganti rugi.
Dasar keputusan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Pasal 15 ayat 3 peraturan itu menyatakan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta terkena dampak lumpur Lapindo dibebankan kepada negara. Sedangkan Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga desa yang masuk peta. Padahal peta yang dilampirkan dalam peraturan tersebut hanya memasukkan empat desa yang berada dalam tanggul.
Faktanya, semburan kian tak terbendung. Usaha Lapindo mematikan semburan tak kunjung berhasil. Debit lumpur yang dibuang ke Kali Porong pun terlampau kecil. Jelas saja lumpur meluber ke desa-desa lain. Lumpur yang diperkirakan baru habis 31 tahun mendatang itu akan semakin luas menggenangi desa, kecamatan, dan bahkan kota lain. Bukan mustahil, pemerintah yang masih mengacu pada peraturan presiden tersebut akan menanggung ganti rugi yang mahadahsyat, sedangkan Lapindo cuma kebagian ganti rugi sebatas peta yang secuil. Ini jelas tak adil.
Peraturan presiden itu mesti dikoreksi, dengan memperluas peta wilayah yang terkena dampak. Toh, beleid tersebut juga merupakan produk revisi dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur. Dengan peraturan presiden yang baru, pemerintah tak perlu lagi buang-buang uang. Pemerintah, sekali lagi, bukanlah ”juru bayar” Lapindo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo