Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Abah Beye Di Desa Jelekong

Abah Beye, 85, dukun dari desa Jelekong, Kab. Bandung dapat mengobati penyakit apa saja. Pendapatan desa meningkat karena prakteknya. Setelah prakteknya ditutup kejaksaan Cimahi, pendapatan desa menurun.(ils)

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pinggir jalan raya Bandung-Majalaya, terdapat sebuah papan penunjuk yang menerangkan letak Kampung Benyeng di Desa Jelekong. Papan penunjuk ini banyak gunanya, walau ditulis secara sederhana saja. Ratusan orang selalu memasang matanya dengan awas, agar tidak kesasar. Dan yang dicari cuma satu orang Abah Beye, orang "pinter dan bisa menyembuhkan segala penyakit." Tidak mudah untuk datang ke rumah Abah Beye. Bukan karena dijaga ketat, tapi jalanan menuju rumahnya cukup sulit jika ditempuh dengan kendaraan beroda empat. Begitu masuk di mulut jalan yang menuju Jelekong, jalanan yang tidak beraspal itu menanjak. Di musim kemarau mobil cuma bisa masuk sepenggal jalan saja. Sisanya, harus dilaksanakan dengan jalan kaki. Jangan dikata di musim hujan, bisa mobil berkubang dengan lumpur. Tusukan Jara Tapi bagi yang tidak kuat jalan, entah dia ini sakit atau memang enggan bertemu dengan lumpur jangan kuatir. Di dekat papan penunjuk tadi ada pula beberapa orang berdiri, siap untuk mengangkut siapa saja dengan tandu. Sebuah kursi, diikat erat-erat dengan tali plastik dan dua bilah kayu atau bambu. Tarif, relatif murah, antara 1000 sampai 2000 rupiah, tergantung kurus gemuknya orang yang akan digotong.Untuk orang yang banyak duit, tentu saja lebih baik memilih naik tandu, dari pada harus berpeluh melawan lumpur. Apalagi kalau badan tak sehat, karena perjalanan dapat menghabiskan waktu 1 jam. orang yang akan berobat, tidak bisa langsung bisa ketemu Bah Beye. Apalagi kalau yang menunggu puluhan orang jumlahnya. Yang pertama harus dilakukan, pengunjung mendaftarkan diri. Seseorang yang bertindak sebagai sekretaris atau ya tukang catat, akan bertanya nama, umur, alamat dan pekerjaan. Kemudian harus membeli karcis Rp 50, mirip di RS Ciptomangunkusumo, Jakarta. "Tapi karcis ini atas ketetapan penduduk Desa Jelekong," kata A. Suhada yang jadi polisi di desa tersebut. Pungutan karcis macam ini baru dilakukan pertengahan tahun lalu. Uang yang dikumpulkan itu oleh penduduk Desa Jelekong dipergunakan untuk membangun desa. Abah Beye sendiri tidak menerima apa-apa dari hasil penjualan karcis. Dia juga tidak memasang tarif bak layaknya seorang dokter. Begitu dia selesai mengobati seseorang yang sakit, kalau ditanya berapa ongkosnya, Abah Beye selalu berkata "Terserah berapa saja." Biasanya ada yang memberi seratus atau dua ratus rupiah, lebih dari itu tak pula ditolaknya. Orang kota yang percaya akan si Abah ini tentu kasih uang ribuan beberapa lembar. Gengsi to. Jadi bisa dibayangkan, berapa pendapatan desa dan Abah Beye kalau seharinya ada 300 pasien misalnya. Dan jumlah itu bukan suatu hal yang mustahil, karena pengunjung memang selalu melimpah. Abah Beye yang mengaku berumur 85 tahun ini, sampai sekarang tidak pernah menolak setiap orang yang datang untuk berobat padanya. "Penyakit apa saa, mamang coba untuk mengobatinya," katanya, "meskipun hanya dengan mantera." Jampi-jampi atau mantera, biasanya dilakukannya kalau pasien sudah uzur. Atau kalau tidak cukup saksi. Pokoknya terserah Abah Beye-lah bagaimana si sakit itu akan disembuhkan . Misalnya, seorang wanita dari Ciawi, Tasikmalaya, datang ke Jelekong karena di punggungnya ada daging berlebih. Ini sudah dideritanya selama 3 tahun. "Jika mau dibuang, harus ada saksi empat orang baru saya bisa melakukan pengobatan," kata Abah Beye, setelah sejenak dia memijit-mijit daging yang membungkul di punggung wanita tersebut. Keempat saksi yang diminta Abah Beye harus menandatangani pernyataan di atas kertas bermeterai yang isinya, jika esok lusa terjadi apa-apa, si sakit tidak akan menuntut. Apa boleh buat, saksi yang harus dikumpulkan wanita tersebut tidak cukup. Pengobatan diberikan hanya lewat mantera saja. Ada lagi, seorang laki-laki datang dari Purwakarta. Di kaki sebelah kanannya ada daging tumbuh. Daging tersebut diraba-raba oleh Abah Beye. Kemudian alkohol diusapkan. Dan sebuah jara (benda tajam dari besi yang menyerupai jarum tukang kasur) ditusukkan ke daging berlebih tersebut. Sebelum ditusukkan ke orang yang sakit, Abah Beye mencoba jara itu ke tangannya sendiri dulu. Kalau terasa sakit, dia tidak mau memotong daging berlebih itu. Kalau tidak terasa sakit, operasi dilanjutkan dengan cara sederhana itu. Dengan Ludah Tidak sakitnya tusukan jara di lengan Bah Beye, katanya, juga akan menular ke si pasien. Yaitu tidak berasa apa-apa kalau jara ditusukkan ke kaki yang tampaknya kegemukan itu. Biasanya, jara bertugas membuat lubang. Dari lubang itu, luka diperbesar dengan jalan menggunting kulit sedikit. Tentu saja, darah menetes deras. Kemudian, daging yang jadi penyakit itu dicapit sedikit demi sedikit dengan sebuah pinset. Macam orang makan capcai dengan supit saja. Beberapa saksi menyatakan bahwa pasien yang "dioperasi" itu tidak menderita sakit atau tidak menjerit-jerit kesakitan karena dia--si sakit--tetap dalam keadaan sadar. Katanya, pencabutan daging dengan pinset ini berlangsung cuma seperempat jam saja. Setelah daging berlebih itu habis, luka cuma diolesi dengan obat merah saja, ditutup dengan kapas untuk kemudian diplester. Pasien bisa langsung pulang hari itu juga. Dan masih banyak pasien lagi yang datang ke sana dengan segala rupa penyakit. Ada yang ditusuk matanya untuk --katanya--diambil cairan semacam lendir. Yang lain, seorang laki-laki yang tidak bisa buang air kecil. Dia disuruh celentang, itunya dipegang dan pada lubang kencing kemudian dimasukkan slang karet kecil sepanjang 30 sentimeter. Laki-laki tersebut menggeliat sedikit. Dia tidak berteriak dan cuma mengatakan rasa ngilu. Dari slang inilah Bah Beye menentukan ada batu atau tidak di kandung kencing si penderita. Kalau tidak ada, Bah Beye cukup mengurutnya saja dan kalau ada, tentu dengan ucapan bismillah, dilakukan operasi. Bagi Bah Beye, tampaknya, semua penyakit bisa diobati dengan jalan gampang dan tampaknya pula, dilakukan dengan seenaknya. Terakhir, dia mengobati orang dengan memakai alkohol dan obat merah. Menurut orang yang datang ke sana dulu, dua zat itu tidak dipakainya. Karena selain jara dan alat penolong lainnya, luka bekas tusukan diobatinya dengan ludahnya sendiri. Ludah diusap pada luka, dan kabarnya, luka tersebut hilang. Tidak diketahui dengan pasti kapan ludah diganti alkohol dan obat merah. Abah Beye mengaku telah mengobati orang sejak umurnya masih 19 tahun. Menurut lurah Jelekong, Suherman, ketenaran Bah Beye ke segala tempat baru 3 tahun terakhir ini. Suherman kemudian berceritera bahwa terkenalnya Bah Beye ketika dia mulai mengobati seorng isteri direktur bank di Jakarta. Sebelumnya, nyonya direktur ini sudah berobat ke Singapura dan tidak bisa sembuh. Entah lewat siapa, Bah Beye harus menyusul ke kota Singapura tersebut. Suherman juga turut mengantar ke sana. "Sehari di sana alhamdulillah, pasien itu bisa sembuh," kata Suherman. Hingga kini tidak pernah diselidiki, siapa yang bikin sembuh nyonya tersebut. Dokter yang ada di Singapura atau Bah Beye. Atau memang sudah saatnya sembuh. A.B.J. Tengker yang direktur AMI/ ASMI juga pernah berobat ke Bah Beye. Tengker sendiri tidak menderita terlalu parah, tapi menurut kepercayaannya Bah Beye telah menyembuhkan penyakitnya atau dengan kata lain, dia merasa lebih sehat. "Direktur AMI/ASMI datang tahun lalu, bulan Juli," kata Suhada, polisi Desa Jelekong. Untuk rasa terimakasihnya, Tengker memberikan sejumlah uang (Rp 200.000). Bah Beye kemudian menyerahkannya kembali ke Kepala Desa situ dan dibuatlah sebuah jembatan kecil tanpa lupa mencantumkan nama AMI/ASMI. Kemudian pecahlah berita tentang beberapa pasien Bah Beye yang meninggal, ada pula keadaannya makin payah dan kemudian harus ditangani dokter. Jawatan Kesehatan geger. Para dokter (terutama dokter ahli bedah mulai mengeluarkan protes-protes. Sejak 2 Maret kemarin, praktek Abah Beye telah dilarang oleh Pakem (Pengawas Agama dan Kepercayaan dalam Masyarakat) Kabupaten Bandung. Pelaksana penutupannya dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Cimahi, yang daerah kuasanya juga sampai wilayah Kabupaten Bandung. "Ini merupakan tindakan preventif," kata Suwardi, Kabag Intel Kejari. Kini Pakem sedang meneliti sampai berapa jauh, praktek Bah Beye ini telah merugikan (atau menguntungkan) masyarakat. Tambah Suwardi lagi "Tindakan ini kami lakukan setelah melihat kenyataan bahwa dalam prakteknya, Abah Beye telah mempergunakan pengobatan secara tehnis medis kepada pasiennya." Dan ini telah melanggar peraturan UU Kesehatan, bahwa seseorang yang bukan tenaga medis telah melakukan pekerjaan seorang medis. Kini Pakem sedang menanti penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung. Kemudian boleh tidaknya Bah Beye mengadakan praktek tergantung dari keputusan rapat Bakon Pakem yang terdiri dari unsur Kejaksaan, Kepolisian Kodim dan Pemda setempat. Juga diturut-sertakan para alim ulama. Dukun, orang pinter dan sebangsanya memang banyak jumlahnya, di mana-mana. Di seputar Bandung saja, Pakem mencatat ada 132 orang. Rakyat lebih banyak pergi ke mereka, karena di kelurahannya tidak ada Puskesmas. Sekarang ini," kata Suwardi, "di daerah kami, satu Puskesmas satu kecamatan. Malah ada kecamatan yang mempunyai 10 desa." Diapun kemudian mengatakan bahwa nantinya, kemungkinan praktek Abah Beye diperbolehkan hanya lewat jampi-jampi saja. Penusukan lewat jara apalagi mengadakan pemotongan anggota tubuh dilarang. Protes Suwardi juga mengakui, banyak orang yang merasa sembuh setelah datang ke Bah Beye. Dan begitu Pakem mengumumkan penutupan, puluhan orang datang ke kantor Pakem untuk protes. "Ini memang harus jadi bahan pertimbangan Pakem pula," ujar Suwardi. Hingga kini, masih banyak orang berdatangan ke Desa Jelekong untuk minta disembuhkan. Biarpun jumlahnya kini sudah menyusut, sekitar 60 orang saja setiap harinya. "Bahkan mereka yang terlanjur datang ke mari," kata Suherman yang jadi lurah, "juga bikin pernyataan protes akan keputusan kejaksaan tersebut." Pengumuman Suwardi ada tertempel di pintu rumah Abah Beye. Tapi pintu rumah Abah Beye tentu saja tidak cuma sebuah. Desa Jelekong sekarang tampak agak sepi dan sedikit suram. Banyak warung makanan yang kini kosong melompong, menunggu pengunjung luar kota. Juga puluhan botol berisi air putih, seret laku. Botol ini tadinya laris dibeli oleh pengunjung. Harga setiap botol Rp 100. Setelah diberi mantera oleh Bah Beye botol dibawa pulang untuk diminum. Pendapatan desa juga menyusut. Para pembantu Bah Beye yang jumlahnya 5 orang, kini tentu tidak bisa lagi menerima "gaji" yang tadinya sekitar Rp 1000 hingga Rp 2000 sehari. Abah Beye yang jadi ayah dari 5 orang anak, tetap tenang. "Sekarang ini, saya dipaksa oleh pasien untuk praktek," ujar Bah Beye. Abah Beye kemudian menerangkan bahwa kepandaiannya ini dia dapat setelah melakukan puasa selama 40 hari 40 malam, tanpa makan dan tidur. Dia kemudian mendapat ilham, bahwa rezeki dan tugasnya adalah menyembuhkan orang. "Saya ini tidak sekolah ataupun mengaji," demikian Bah Beye mengaku. Sambil menunjuk ke perabotan alat operasi seperti gunting, pinset dan sebagainya, Abah Beye berkata: "Gunting dan pisau itu pemberian dokter Ikin, dari Dinas Kepolisian." Bah Beye tidak memberikan nama komplit dari sang dokter yang rupanya sealiran dengan Bah Beye. Tentang kelima anaknya, Bah Beye rupanya mengandalkan kepada anaknya yang nomor empat. Namanya D. Ruswandi, yang dirasa bisa menggantikan kedudukannya sebagai dukun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus