DI pinggir jalan raya Bandung-Majalaya, terdapat sebuah papan
penunjuk yang menerangkan letak Kampung Benyeng di Desa
Jelekong. Papan penunjuk ini banyak gunanya, walau ditulis
secara sederhana saja. Ratusan orang selalu memasang matanya
dengan awas, agar tidak kesasar. Dan yang dicari cuma satu orang
Abah Beye, orang "pinter dan bisa menyembuhkan segala penyakit."
Tidak mudah untuk datang ke rumah Abah Beye. Bukan karena dijaga
ketat, tapi jalanan menuju rumahnya cukup sulit jika ditempuh
dengan kendaraan beroda empat. Begitu masuk di mulut jalan yang
menuju Jelekong, jalanan yang tidak beraspal itu menanjak. Di
musim kemarau mobil cuma bisa masuk sepenggal jalan saja.
Sisanya, harus dilaksanakan dengan jalan kaki. Jangan dikata di
musim hujan, bisa mobil berkubang dengan lumpur.
Tusukan Jara
Tapi bagi yang tidak kuat jalan, entah dia ini sakit atau memang
enggan bertemu dengan lumpur jangan kuatir. Di dekat papan
penunjuk tadi ada pula beberapa orang berdiri, siap untuk
mengangkut siapa saja dengan tandu. Sebuah kursi, diikat
erat-erat dengan tali plastik dan dua bilah kayu atau bambu.
Tarif, relatif murah, antara 1000 sampai 2000 rupiah, tergantung
kurus gemuknya orang yang akan digotong.Untuk orang yang banyak
duit, tentu saja lebih baik memilih naik tandu, dari pada harus
berpeluh melawan lumpur. Apalagi kalau badan tak sehat, karena
perjalanan dapat menghabiskan waktu 1 jam.
orang yang akan berobat, tidak bisa langsung bisa ketemu Bah
Beye. Apalagi kalau yang menunggu puluhan orang jumlahnya. Yang
pertama harus dilakukan, pengunjung mendaftarkan diri. Seseorang
yang bertindak sebagai sekretaris atau ya tukang catat, akan
bertanya nama, umur, alamat dan pekerjaan. Kemudian harus
membeli karcis Rp 50, mirip di RS Ciptomangunkusumo, Jakarta.
"Tapi karcis ini atas ketetapan penduduk Desa Jelekong," kata A.
Suhada yang jadi polisi di desa tersebut. Pungutan karcis macam
ini baru dilakukan pertengahan tahun lalu.
Uang yang dikumpulkan itu oleh penduduk Desa Jelekong
dipergunakan untuk membangun desa. Abah Beye sendiri tidak
menerima apa-apa dari hasil penjualan karcis. Dia juga tidak
memasang tarif bak layaknya seorang dokter. Begitu dia selesai
mengobati seseorang yang sakit, kalau ditanya berapa ongkosnya,
Abah Beye selalu berkata "Terserah berapa saja." Biasanya ada
yang memberi seratus atau dua ratus rupiah, lebih dari itu tak
pula ditolaknya. Orang kota yang percaya akan si Abah ini tentu
kasih uang ribuan beberapa lembar. Gengsi to. Jadi bisa
dibayangkan, berapa pendapatan desa dan Abah Beye kalau
seharinya ada 300 pasien misalnya. Dan jumlah itu bukan suatu
hal yang mustahil, karena pengunjung memang selalu melimpah.
Abah Beye yang mengaku berumur 85 tahun ini, sampai sekarang
tidak pernah menolak setiap orang yang datang untuk berobat
padanya. "Penyakit apa saa, mamang coba untuk mengobatinya,"
katanya, "meskipun hanya dengan mantera." Jampi-jampi atau
mantera, biasanya dilakukannya kalau pasien sudah uzur. Atau
kalau tidak cukup saksi. Pokoknya terserah Abah Beye-lah
bagaimana si sakit itu akan disembuhkan .
Misalnya, seorang wanita dari Ciawi, Tasikmalaya, datang ke
Jelekong karena di punggungnya ada daging berlebih. Ini sudah
dideritanya selama 3 tahun. "Jika mau dibuang, harus ada saksi
empat orang baru saya bisa melakukan pengobatan," kata Abah
Beye, setelah sejenak dia memijit-mijit daging yang membungkul
di punggung wanita tersebut. Keempat saksi yang diminta Abah
Beye harus menandatangani pernyataan di atas kertas bermeterai
yang isinya, jika esok lusa terjadi apa-apa, si sakit tidak akan
menuntut. Apa boleh buat, saksi yang harus dikumpulkan wanita
tersebut tidak cukup. Pengobatan diberikan hanya lewat mantera
saja.
Ada lagi, seorang laki-laki datang dari Purwakarta. Di kaki
sebelah kanannya ada daging tumbuh. Daging tersebut diraba-raba
oleh Abah Beye. Kemudian alkohol diusapkan. Dan sebuah jara
(benda tajam dari besi yang menyerupai jarum tukang kasur)
ditusukkan ke daging berlebih tersebut. Sebelum ditusukkan ke
orang yang sakit, Abah Beye mencoba jara itu ke tangannya
sendiri dulu. Kalau terasa sakit, dia tidak mau memotong daging
berlebih itu. Kalau tidak terasa sakit, operasi dilanjutkan
dengan cara sederhana itu.
Dengan Ludah
Tidak sakitnya tusukan jara di lengan Bah Beye, katanya, juga
akan menular ke si pasien. Yaitu tidak berasa apa-apa kalau jara
ditusukkan ke kaki yang tampaknya kegemukan itu. Biasanya, jara
bertugas membuat lubang. Dari lubang itu, luka diperbesar dengan
jalan menggunting kulit sedikit. Tentu saja, darah menetes
deras. Kemudian, daging yang jadi penyakit itu dicapit sedikit
demi sedikit dengan sebuah pinset. Macam orang makan capcai
dengan supit saja.
Beberapa saksi menyatakan bahwa pasien yang "dioperasi" itu
tidak menderita sakit atau tidak menjerit-jerit kesakitan karena
dia--si sakit--tetap dalam keadaan sadar. Katanya, pencabutan
daging dengan pinset ini berlangsung cuma seperempat jam saja.
Setelah daging berlebih itu habis, luka cuma diolesi dengan obat
merah saja, ditutup dengan kapas untuk kemudian diplester.
Pasien bisa langsung pulang hari itu juga.
Dan masih banyak pasien lagi yang datang ke sana dengan segala
rupa penyakit. Ada yang ditusuk matanya untuk --katanya--diambil
cairan semacam lendir. Yang lain, seorang laki-laki yang tidak
bisa buang air kecil. Dia disuruh celentang, itunya dipegang dan
pada lubang kencing kemudian dimasukkan slang karet kecil
sepanjang 30 sentimeter. Laki-laki tersebut menggeliat sedikit.
Dia tidak berteriak dan cuma mengatakan rasa ngilu. Dari slang
inilah Bah Beye menentukan ada batu atau tidak di kandung
kencing si penderita. Kalau tidak ada, Bah Beye cukup
mengurutnya saja dan kalau ada, tentu dengan ucapan bismillah,
dilakukan operasi.
Bagi Bah Beye, tampaknya, semua penyakit bisa diobati dengan
jalan gampang dan tampaknya pula, dilakukan dengan seenaknya.
Terakhir, dia mengobati orang dengan memakai alkohol dan obat
merah. Menurut orang yang datang ke sana dulu, dua zat itu tidak
dipakainya. Karena selain jara dan alat penolong lainnya, luka
bekas tusukan diobatinya dengan ludahnya sendiri. Ludah diusap
pada luka, dan kabarnya, luka tersebut hilang. Tidak diketahui
dengan pasti kapan ludah diganti alkohol dan obat merah.
Abah Beye mengaku telah mengobati orang sejak umurnya masih 19
tahun. Menurut lurah Jelekong, Suherman, ketenaran Bah Beye ke
segala tempat baru 3 tahun terakhir ini. Suherman kemudian
berceritera bahwa terkenalnya Bah Beye ketika dia mulai
mengobati seorng isteri direktur bank di Jakarta. Sebelumnya,
nyonya direktur ini sudah berobat ke Singapura dan tidak bisa
sembuh. Entah lewat siapa, Bah Beye harus menyusul ke kota
Singapura tersebut. Suherman juga turut mengantar ke sana.
"Sehari di sana alhamdulillah, pasien itu bisa sembuh," kata
Suherman. Hingga kini tidak pernah diselidiki, siapa yang bikin
sembuh nyonya tersebut. Dokter yang ada di Singapura atau Bah
Beye. Atau memang sudah saatnya sembuh.
A.B.J. Tengker yang direktur AMI/ ASMI juga pernah berobat ke
Bah Beye. Tengker sendiri tidak menderita terlalu parah, tapi
menurut kepercayaannya Bah Beye telah menyembuhkan penyakitnya
atau dengan kata lain, dia merasa lebih sehat. "Direktur
AMI/ASMI datang tahun lalu, bulan Juli," kata Suhada, polisi
Desa Jelekong. Untuk rasa terimakasihnya, Tengker memberikan
sejumlah uang (Rp 200.000). Bah Beye kemudian menyerahkannya
kembali ke Kepala Desa situ dan dibuatlah sebuah jembatan kecil
tanpa lupa mencantumkan nama AMI/ASMI.
Kemudian pecahlah berita tentang beberapa pasien Bah Beye yang
meninggal, ada pula keadaannya makin payah dan kemudian harus
ditangani dokter. Jawatan Kesehatan geger. Para dokter (terutama
dokter ahli bedah mulai mengeluarkan protes-protes. Sejak 2
Maret kemarin, praktek Abah Beye telah dilarang oleh Pakem
(Pengawas Agama dan Kepercayaan dalam Masyarakat) Kabupaten
Bandung. Pelaksana penutupannya dilakukan oleh Kejaksaan Negeri
Cimahi, yang daerah kuasanya juga sampai wilayah Kabupaten
Bandung. "Ini merupakan tindakan preventif," kata Suwardi, Kabag
Intel Kejari. Kini Pakem sedang meneliti sampai berapa jauh,
praktek Bah Beye ini telah merugikan (atau menguntungkan)
masyarakat.
Tambah Suwardi lagi "Tindakan ini kami lakukan setelah melihat
kenyataan bahwa dalam prakteknya, Abah Beye telah mempergunakan
pengobatan secara tehnis medis kepada pasiennya." Dan ini telah
melanggar peraturan UU Kesehatan, bahwa seseorang yang bukan
tenaga medis telah melakukan pekerjaan seorang medis.
Kini Pakem sedang menanti penelitian dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Bandung. Kemudian boleh tidaknya Bah Beye mengadakan
praktek tergantung dari keputusan rapat Bakon Pakem yang terdiri
dari unsur Kejaksaan, Kepolisian Kodim dan Pemda setempat. Juga
diturut-sertakan para alim ulama.
Dukun, orang pinter dan sebangsanya memang banyak jumlahnya, di
mana-mana. Di seputar Bandung saja, Pakem mencatat ada 132
orang. Rakyat lebih banyak pergi ke mereka, karena di
kelurahannya tidak ada Puskesmas. Sekarang ini," kata Suwardi,
"di daerah kami, satu Puskesmas satu kecamatan. Malah ada
kecamatan yang mempunyai 10 desa." Diapun kemudian mengatakan
bahwa nantinya, kemungkinan praktek Abah Beye diperbolehkan
hanya lewat jampi-jampi saja. Penusukan lewat jara apalagi
mengadakan pemotongan anggota tubuh dilarang.
Protes
Suwardi juga mengakui, banyak orang yang merasa sembuh setelah
datang ke Bah Beye. Dan begitu Pakem mengumumkan penutupan,
puluhan orang datang ke kantor Pakem untuk protes. "Ini memang
harus jadi bahan pertimbangan Pakem pula," ujar Suwardi.
Hingga kini, masih banyak orang berdatangan ke Desa Jelekong
untuk minta disembuhkan. Biarpun jumlahnya kini sudah menyusut,
sekitar 60 orang saja setiap harinya. "Bahkan mereka yang
terlanjur datang ke mari," kata Suherman yang jadi lurah, "juga
bikin pernyataan protes akan keputusan kejaksaan tersebut."
Pengumuman Suwardi ada tertempel di pintu rumah Abah Beye. Tapi
pintu rumah Abah Beye tentu saja tidak cuma sebuah.
Desa Jelekong sekarang tampak agak sepi dan sedikit suram.
Banyak warung makanan yang kini kosong melompong, menunggu
pengunjung luar kota. Juga puluhan botol berisi air putih, seret
laku. Botol ini tadinya laris dibeli oleh pengunjung. Harga
setiap botol Rp 100. Setelah diberi mantera oleh Bah Beye botol
dibawa pulang untuk diminum. Pendapatan desa juga menyusut.
Para pembantu Bah Beye yang jumlahnya 5 orang, kini tentu tidak
bisa lagi menerima "gaji" yang tadinya sekitar Rp 1000 hingga Rp
2000 sehari. Abah Beye yang jadi ayah dari 5 orang anak, tetap
tenang. "Sekarang ini, saya dipaksa oleh pasien untuk praktek,"
ujar Bah Beye.
Abah Beye kemudian menerangkan bahwa kepandaiannya ini dia dapat
setelah melakukan puasa selama 40 hari 40 malam, tanpa makan dan
tidur. Dia kemudian mendapat ilham, bahwa rezeki dan tugasnya
adalah menyembuhkan orang. "Saya ini tidak sekolah ataupun
mengaji," demikian Bah Beye mengaku. Sambil menunjuk ke
perabotan alat operasi seperti gunting, pinset dan sebagainya,
Abah Beye berkata: "Gunting dan pisau itu pemberian dokter Ikin,
dari Dinas Kepolisian." Bah Beye tidak memberikan nama komplit
dari sang dokter yang rupanya sealiran dengan Bah Beye. Tentang
kelima anaknya, Bah Beye rupanya mengandalkan kepada anaknya
yang nomor empat. Namanya D. Ruswandi, yang dirasa bisa
menggantikan kedudukannya sebagai dukun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini