Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tak lebih indah dari warna aslinya

Sutradara: syarifudin skenario: amiruddin pemain: w.d. mochtar, fuad rachman, drg. fadly resensi oleh: eddy herwanto.(fl)

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPERASI TINOMBALA Sutradara: Syarifudin Skenario: Aminuddin Produksi: PT Djati Film JATUHNYA pesawat Twin Otter MNA di gunung Tinombala--Sulawesi Tengah, sesungguhnya mencengkam. Tulisan wartawan di koran dari hari ke hari, sejak pesawat hilang, sampai usaha pencarian yang sulit, seolah memupuk alur ketegangan. Dramaturgi yang biasanya dimiliki sebuah film, berada dalam bentuk laporan yang obyektif. Klimaksnya tidak hanya berhenti pada diketemukannya bangkai pesawat berikut korban. Dasar wartawan, cerita menarik dari rasa haru, keluarga yang menunggu, sampai pada seorang Menteri Perhubungan yang tergopoh-gopoh, masih juga jadi tulisan. Apa jadinya. cerita bagus itu kalau dituangkan ke dalam bentuk film? Film dimulai Syarifudin dari lapangan terbang Mutiara--Palu (Sulawesi Tengah). Ia tidak memperkenalkan seorang atau dua orang penumpang, yang kira-kira bisa ditonjolkan. Mungkin karena dianggapnya penerbangan perintis itu, hanya memakan waktu sebentar. Shoot yang diambil kamera menjelang kecelakaan memang bagus. Tapi sampai hancurnya pesawat di sebuah gunung antah berantah, penonton tak mendapatkan informasi apa-apa tentang penumpangnya. Menara pengawas Toli Toli lalu kontak Palu, tapi seperti halnya Ujung Pandang kontrol kedua menara pengawas itu kelabakan mencari jejak terakhir Twin Otter. Kamera kemudian langsung menukik kembali pada pesawat yang robek-robek berikut penumpangnya. Sutradara tampaknya amat sayang mengorbankan bagian dari seluloid untuk menceritakan betapa kalang kabut sebuah keluarga menunggu seorang sanaknya turun dar pesawat. Tidak ada kegelisahan. Yang ada: darah, rintihan kesakitan, kaki patah, dan tubuh yang siap menjadi mayat. Dalam suasana sakratul maut, terasa begitu cepat kapten pilot Achmad Anwar (WD Mochtar) membiarkan co pilot Masykur (Fuad Rachman) dan Hasan Tawil (Bung Salim) mencari pertolongan. Rosa Marunduh Awal tragedi, konflik-konflik setia kawan, sayang tidak dikemukakan. Sutradara rupanya lebih senang menyuguhkan gambar-gambar Rosni Marunduh (isteri Husni Alatas), dr. Dwiwahyono (drg. Fadly) dan wartawan Husni Alatas (M. Amin), yang berjuang melawan maut dan sakit. Maksudnya sih pengin mengeksploitasi rasa sakit yang ditanggung mereka. Dari gunung, kamera kemudian berpindah pada kesibukan team SAR. Kepala SAR Nasional (Kapusarnas) Marsekal Dono Indarto (Kusno Sudjarwadi), sibuk memberikan instruksi. Sementara team SAR mati-matian menjejak Twin Otter itu--disertai halangan kabut tebal dan cuaca buruk--cerita pindah pada korban yang berusaha menyelamatkan diri Hasan Tawil yang repot sembahyan setiap saat, dan Masykur yang masih tampak sehat. Pada gambar lain diceritakan usaha dr. Dwi menolong korban yang luka parah -- menjelang Husni menghembuskan nafas terakhir. Agak aneh juga, di bawah tekanan batin dan fisik yang berat itu, Munzir Hanafi (Pong Harjatmo), dan dr. Dwi, selalu tampil dalam wajah yang segar, sejak pesawat jatuh sampai hari kesekian. Hanya Rosa Marunduh, yang sudah berbekal pengalaman pahit itu, tampil dalam sosoknya yang kuat. Efisien berakting dan cukup impresif. Cerita tentang Teki Angjaya berikut 2 anak dan sterinya, memang gelap. Syarifudin tampaknya hanya ingin mengajak penonton menikmati mekanisme kerja SAR, berikut rangkaian pemandangan di gunung. Kecemasan keluarga yang menunggu dari hari ke hari, sebagai potensi yang baik, tidak digalinya. Informasi kronologis usaha pencarian, yang mungkin bisa membangun ketegangan, dan perkembangan korban, kurang diperhatikan. Dan tragedi menegangkan selama hampir 2 minggu itu, seperti terjadi dari pagi sampai sore saja. Kehilangan Darah Sampai pada Hasan Tawil bertemu penduduk desa transmigrasi Ongka film itu akhirnya bercerita tanpa emosi. Ia kehilangan darah yang sudah dimilikinya sejak peristiwa itu harus diulang ke atas seluloid. Ini mungkin sebuah kesulitan, membuat film dari cerita yang sudah diketahui kesudahannya. Tapi sebetulnya menguntungkan menjual film dari cerita populer, dengan serangkaian ketegangan. Sejak para korban meninggal satu-satu, pertemuan di Rumah Sakit dengan keluarga, sampai cerita rombongan Menteri yang sedang kampanye Pemilu menjenguk: ceritanya yang asli sungguh kaya. Tapi filmnya tidak. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus