OPERASI TINOMBALA
Sutradara: Syarifudin
Skenario: Aminuddin
Produksi: PT Djati Film
JATUHNYA pesawat Twin Otter MNA di gunung Tinombala--Sulawesi
Tengah, sesungguhnya mencengkam. Tulisan wartawan di koran dari
hari ke hari, sejak pesawat hilang, sampai usaha pencarian yang
sulit, seolah memupuk alur ketegangan. Dramaturgi yang biasanya
dimiliki sebuah film, berada dalam bentuk laporan yang obyektif.
Klimaksnya tidak hanya berhenti pada diketemukannya bangkai
pesawat berikut korban. Dasar wartawan, cerita menarik dari rasa
haru, keluarga yang menunggu, sampai pada seorang Menteri
Perhubungan yang tergopoh-gopoh, masih juga jadi tulisan. Apa
jadinya. cerita bagus itu kalau dituangkan ke dalam bentuk film?
Film dimulai Syarifudin dari lapangan terbang Mutiara--Palu
(Sulawesi Tengah). Ia tidak memperkenalkan seorang atau dua
orang penumpang, yang kira-kira bisa ditonjolkan. Mungkin karena
dianggapnya penerbangan perintis itu, hanya memakan waktu
sebentar. Shoot yang diambil kamera menjelang kecelakaan memang
bagus. Tapi sampai hancurnya pesawat di sebuah gunung antah
berantah, penonton tak mendapatkan informasi apa-apa tentang
penumpangnya. Menara pengawas Toli Toli lalu kontak Palu, tapi
seperti halnya Ujung Pandang kontrol kedua menara pengawas itu
kelabakan mencari jejak terakhir Twin Otter. Kamera kemudian
langsung menukik kembali pada pesawat yang robek-robek berikut
penumpangnya. Sutradara tampaknya amat sayang mengorbankan
bagian dari seluloid untuk menceritakan betapa kalang kabut
sebuah keluarga menunggu seorang sanaknya turun dar pesawat.
Tidak ada kegelisahan. Yang ada: darah, rintihan kesakitan, kaki
patah, dan tubuh yang siap menjadi mayat. Dalam suasana sakratul
maut, terasa begitu cepat kapten pilot Achmad Anwar (WD Mochtar)
membiarkan co pilot Masykur (Fuad Rachman) dan Hasan Tawil (Bung
Salim) mencari pertolongan.
Rosa Marunduh
Awal tragedi, konflik-konflik setia kawan, sayang tidak
dikemukakan. Sutradara rupanya lebih senang menyuguhkan
gambar-gambar Rosni Marunduh (isteri Husni Alatas), dr.
Dwiwahyono (drg. Fadly) dan wartawan Husni Alatas (M. Amin),
yang berjuang melawan maut dan sakit. Maksudnya sih pengin
mengeksploitasi rasa sakit yang ditanggung mereka.
Dari gunung, kamera kemudian berpindah pada kesibukan team SAR.
Kepala SAR Nasional (Kapusarnas) Marsekal Dono Indarto (Kusno
Sudjarwadi), sibuk memberikan instruksi. Sementara team SAR
mati-matian menjejak Twin Otter itu--disertai halangan kabut
tebal dan cuaca buruk--cerita pindah pada korban yang berusaha
menyelamatkan diri Hasan Tawil yang repot sembahyan setiap
saat, dan Masykur yang masih tampak sehat. Pada gambar lain
diceritakan usaha dr. Dwi menolong korban yang luka parah --
menjelang Husni menghembuskan nafas terakhir.
Agak aneh juga, di bawah tekanan batin dan fisik yang berat itu,
Munzir Hanafi (Pong Harjatmo), dan dr. Dwi, selalu tampil dalam
wajah yang segar, sejak pesawat jatuh sampai hari kesekian.
Hanya Rosa Marunduh, yang sudah berbekal pengalaman pahit itu,
tampil dalam sosoknya yang kuat. Efisien berakting dan cukup
impresif. Cerita tentang Teki Angjaya berikut 2 anak dan
sterinya, memang gelap.
Syarifudin tampaknya hanya ingin mengajak penonton menikmati
mekanisme kerja SAR, berikut rangkaian pemandangan di gunung.
Kecemasan keluarga yang menunggu dari hari ke hari, sebagai
potensi yang baik, tidak digalinya. Informasi kronologis usaha
pencarian, yang mungkin bisa membangun ketegangan, dan
perkembangan korban, kurang diperhatikan. Dan tragedi
menegangkan selama hampir 2 minggu itu, seperti terjadi dari
pagi sampai sore saja.
Kehilangan Darah
Sampai pada Hasan Tawil bertemu penduduk desa transmigrasi Ongka
film itu akhirnya bercerita tanpa emosi. Ia kehilangan darah
yang sudah dimilikinya sejak peristiwa itu harus diulang ke atas
seluloid. Ini mungkin sebuah kesulitan, membuat film dari cerita
yang sudah diketahui kesudahannya. Tapi sebetulnya menguntungkan
menjual film dari cerita populer, dengan serangkaian ketegangan.
Sejak para korban meninggal satu-satu, pertemuan di Rumah Sakit
dengan keluarga, sampai cerita rombongan Menteri yang sedang
kampanye Pemilu menjenguk: ceritanya yang asli sungguh kaya.
Tapi filmnya tidak.
Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini