Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Nabi Khaidir, Buraq Alias Skuter

Dukun Muh S. Dulai, 56, dari kampung Bakaran Batu, Kab. Labuhan batu menipu dengan praktek sebagai dukun. Telah menggugurkan kandungan salah seorang pasien dan menikahinya.(krim)

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU ketika dukun Muh. S. Dulai berkata kepada pasiennya:"Nah, ini soal yang sulit. Terpaksa harus disampaikan langsung, tanpa perantara. Untuk itu saya terpaksa naik buraq." Sang dukun, 56 tahun, adalah penduduk Kampung Bakaran Batu, 1 km di luar Kotapinang (Kabupaten Labuhan Batu -- Sumatera Utara). Kliennya, seorang penjabat kepolisian berpangkat perwira menengah yang tak ingin kedudukannya digeser dari Rantau Prapat, menjawab pilu. "Sekarang mana ada buraq, tuan?" Eh, "buraq itu 'kan di zaman nabi. Kalau di zaman kemajuan sekarang ini kita pakai saja yang mirip buraq." Apa itu? "Vespa! " Tanpa berfikir, apakah hubungannya antara 'burung buraq', kendaraan rasul ketika mikraj, dengan skuter buatan Itali, penjabat itu segera saja mengirimi mbah dukun sebuah Vespa. Walaupun, akhirnya, dengan buraq zaman sekarang itu dukun Muh. S. Dulai tak dapat mencegah penggeseran dinas si pasien. Taroklah Dulai itu memang dukun palsu. Tapi, bukankah pasiennya, yang berbondong-bondong berdatangan, juga orang yang tak gampang dibodohi? Buktinya, masih ada penjabat kepolisian lain dari daerah Dairi, penjabat penting Kantor P & K Labuhan Batu yang bertitel drs, penjabat-penjabat kelas sedang (yang datang ke Kampung Bakaran Batu dengan mobil dinas). Belum lagi ratusan rakyat biasa sekitar Medan, Asahan sampai Tapanuli. Namun, akhirnya tiba juga saatnya bagi sang dukun untuk mengakhiri petualangannya. Yaitu setelah penyelewengannya yang paling hebat terbong kar. Sejak 11 Maret lalu ia mulai meringkuk dalam tahanan kepolisian. Kisahnya begini. Zul & Nyonya Zul Siregar (21) belum lama menikah dengan R.D. Nasution (16). Mereka tinggal di Sibuhuan, Tapanuli Selatan. Ketika Nyonya Zul mulai hamil, bencana menimpa keluarga muda ini. Yaitu mendadak sang suami hilang kejantanannya. Orang sana bilang: "mati pucuk". Sudah ikhtiar ke berbagai dukun tak ada hasilnya. Hal itu membuat pasangan belia itu menjadi serba salah. Cekcok tak keruan. Nama dukun Muh. S. Dulai yang tenar mengundang Zul ke Kotapinang, 200 km dari kampungnya. Diantar oleh ayahnya, Japonso Siregar, Desember lalu, Zul menghadap dukun yang menjuluki dirinya sebagai 'syekh'. Lalu oleh sang dukun, pasien dari Sibuhuan itu langsung dihadapkan kepada 'nabi Khaidir'. "Semua yang dikatakannya nanti harus dipenuhi," begitu nasehat dukun. "Kalau tidak bisa celaka." Yang disebut Khaidir, berjubah dan bersorban putih, bersemayam di kamar gelap di salah sebuah ruangan rumah dukun Dulai. Tampangnya tak kelihatan jelas. Sebab dibalut kain putih. Kedua lengannya juga tertutup kain kuning.Upacara dimulai. Dukun, mula-mula membakar kemenyan. Mulutnya komat-kamit. Makhluk berjubah itu tiba-tiba menegang. Kemudian dukun Dulai mengutarakan maksud penghadapannya kali ini. Sang nabi menjawab. Perkataannya tak jelas. Seperti meracau saja. Lalu, entah pingsan atau tertidur, nabi berjubah itu tergeletak. Dan pemilik nabi (si dukun) kemudian menjelaskan maksud Khaidir-nya. Katanya, Zul mengidap penyakit buatan bekas pacar isterinya. Itu dapat disembuhkan asal memenuhi berbagai syarat yang akan ditetapkan kemudian.Yang pertama Zul harus menyerahkan uang Rp 10.000 sebagai pembeli ramuan berbagai jamu. Untuk lebih tepatnya cara pengobatan, dukun sendiri perlu bertemu isteri Zul, sebagai penelitian on the spot. Para Fakir Beberapa hari kemudian Dulai sudah berada di Sibuhuan. Tapi itu belum cukup. Nyonya Zul harus dibawa langsung menghadap Khaidir. Apa boleh buat, kedua pasien itu terpaksa menuruti perintah dukunnya. Dari Khaidir keluar perintah: semua isi kantong harus diserahkan kcpada dukun. Sebab Khaidir hanya mau mengobati para fakir saja. Dari kantong Zul keluar uang Rp 27.000. Dari ayahnya lebih dari Rp 80.000. Lalu seuntai kalung dan gelang emas perhiasan Nyonya Zul juga dilolosi. Semuanya dipersembahkan kepada pemilik Khaidir. Setelah acara pelucutan kekayaan barulah upacara pengobatan dimulai. Dukun sendiri yang memandikan suami isteri itu. Keduanya harus telanjang bulat dan duduk saling bertolak belakang. Dukun menyirami tubuh mereka dengan air kembang. Sekujur tubuh digosok rata dengan berbagai bunga dan dedaunan. Lalu keduanya dipersilakan tidur. Nyonya Zul ditempatkan di sebuah kamar. Suaminya harus tidur dengan ayahnya di kamar lain. Apa yang terjadi berikutnya barangkali sudah ada yang dapat menebak. Menjelang subuh dukun Dulai mulai berpraktek yang sebenarnya. Dengan ancaman dan atas nama Khaidir yang bersemayam di kamar sebelah, Nyonya Zul dipaksa menuruti nafsu setan si dukun. Esok paginya perintah-perintah Khaidir berikutnya mulai datang: Zul harus merantau, mengasingkan diri, keluar dari daerah sekitar Sumatera Utara selama 10 hari. Ayah Zul juga harus kembali ke Sibuhuan. Dan setiap waktu Nyonya Zul harus bersedia meladeni kemauan dukun. Ketika ayah kandung Nyonya Zul, Raja Hasayangan Nasution, membezuk anaknya, tanpa malu-malu lagi dukun 'melamar'. Dia bilang: sesungguhnya Nyonya Zul ini terkena semacam penyakit yang berbahaya. Sebagai obatnya,begitu titah nabi Khaidir, ia harus dikawininya. Tapi perempuan muda itu masih diperisteri Zul? Oh, itu gampang. Perkawinannya "hanya untuk sementara saja," sebagai ikhtiar pengobatan. Kepada Zul, setelah pulang dari pengasing annya, juga dimintakan pengertian. Zul sulit menolak perintah dukun ternama itu. Ia pun meneken sebuah surat perceraian. Mahkamah Syariah di Rantau Prapat mengesahkan perceraian cara begitu dengan talak satu (2 Pebruari). Berikutnya menikahlah dukun tua bangka itu dengan R.D. Nasution. Perempuan muda ini menjadi isteri ketiga. Digugurkan Berikutnya kisah ini pula. Begitu tahu kalau boru Nasution yang baru dinikahinya itu hamil, dukun Dulai mulai berbuat lancang. Tanggal 25 Pebruari dukun Dulai berada di rumah mertuanya. Pagi, jam 9, isterinya dicekoki segelas air beramu-ramuan. Entah ramuan macam apa. Tapi akibatnya berat. Perut isterinya jadi mulas melintir. Sampai malam hari perempuan malang itu menanggung derita hebat. Sementara suaminya, Dulai, terus memijat-mijat perutnya keras-keras. Boru Nasution sampai melolong tidak keruan. Seisi rumah gempar--tapi tak berani mengusik kerja pak dukun Dulai. Tengah malam barulah ketahuan maksud dukun yang sebenarnya. Kandungan boru Nasution gugur. Ayah perempuan itu sendiri yang diperintah dukun menguburkan janin di belakang rumah. Beberapa hari kemudian, setelah keadaan anaknya makin payah, Raja Hasayangan Nasution membawa anaknya ke dokter Puskesmas. Jika tak ada yang mencegah niscaya kerja dukun Dulai ini akan makin sewenang-wenang. Adalah Sahala Siregar, abang kandung Zul yang tinggal di Kotapinang, mulai mencium ketidakberesan dukun Dulai. Dia dapat mengumpulkan tiga orang yang pernah digarap dukun yang sama. Malik Siregar, yang menghadap dukun untuk ikhtiar memperoleh anak, kena gaet lumayan juga: sebuah sepeda motor, seekor lembu, sehektar sawah dan 15 mayam emas. Rekannya, Baginda Harahap, yang pernah minta restu Khaidir agar dagangannya maju, telah terbujuk untuk menyerahkan kekayaannya sekitar Rp 200.000. Sedangkan Pahlawan Harahap, yang minta pusaka rantai babi, dikenai biaya oleh Khaidir sebanyak Rp 135.000. Ayah Zul sendiri, Japonso Siregar, juga sudah mulai curiga. Begini ceritanya. Suatu hari dukun Dulai menyarankan agar Japonso membawa dua karung goni kosong menghadap Khaidir. Nanti Khaidir akan mendrop uang sebanyak-banyaknya. Pokoknya akan kembalilah semua uang yang pernah dikeluarkan sebagai biaya pengobatan Zul. Tapi kali yang terakhir itu kepercayaan Japonso kepada dukun Dulai sudah habis. Ia tak menuruti lagi perintah Khaidir lewat Dulai. Hut Pulungan Hampir tengah malam, ketika seisi rumah tengah tidur, datanglah Dulai dengan Khaidirnya mengetok-ngetok pintu rumah Sahala Siregar--tempat Japonso menginap selama di Kotapinang. Dulai mengancam seluruh keluarga Japonso akan celaka karena melanggar perintah Khaidir. Khaidir sendiri juga mengeluarkan suara kemarahannya. Nah, ketika Khaidir itu bersuara, anak dan menantu Japonso, Sahala dan Ros Hasibuan, benar-benar yakin akan kedustaan Dulai dengan Khaidirnya. Baik Sahala maupun isterinya yakin mengenali siapa sesungguhnya Khaidir yang dibawa Dulai. Tak lain orang yang mereka kenal juga: Hut Pulungan yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Lorong Bakaran Batu. Setelah yakin benar akan kepalsuan Dulai dan Khaidirnya, kelima orang-Malik, Pahlawan, Baginda, Zul dan ayahnya--menghadap polisi membuat laporan. Tanggal 11 Maret yang lalu setelah berkonsultasi dengan berbagai pihak-maklum hendak menggerebek seorang yang sudah terlanjur ternama --polisi menangkap Dulai. R.D. Nasution diketemukan tergeletak di ranjang dalam keadaan pingsan karena kesakitan yang gawat. Dalam penggeledahan berikutnya polisi menemukan satu stel pakaian Khaidir dan seperangkat pakaian hitam yang biasa digunakan Hut Pulungan jika sedang berperan menjadi Hulubalang Sijumbe. Mula-mula Dulai hendak memungkiri perbuatannya. Tapi keterangan Pulungan yang polos membuatnya terdesak. Ia mengaku berasal dari Tapanuli Selatan.Pernah empat tahun belajar agama di bidang ilmu tarekat di Basilam. Tahun 1965 ia mulai tinggal di Bakaran Batu, tempat kediamannya sekarang, dan mendirikan suluk Tarikat Naksabandiyah Kholidin dan sebuah masjid untuk perguruannya. Muridnya cukup banyak. "Saya semula memang lurus," katanya. Lalu nabi Khaidir buatannya itu? Diakui itu memang akal-akalan saja. Tapi kemudian banyak orang yang mempercayai. Nasehatnya sebagai dukun disegani orang. Makin hari makin banyak saja orang meminta berkah. Juga para pejabat penting dari berbagai daerah ikut-ikutan mempercayainya. Salah siapa? Kepada R.D. Nasution, isteri Zul, dia bilang memang jatuh cinta beneran.'Dia memang cantik," katanya. Dia menggugurkan kandungan isterinya, katanya, memang termasuk dalam rencananya. Ia menganggap perkawinannya dengan R.D. Nasution, yang tengah menghamili bayi Zul, tidak sah. Ia harus membereskan kandungan dulu baru menikahi kembali boru Nasution agar segala sesuatunnya jadi lebih beres. Ketika polisi merekonstruksi berbagai kejadian yang pernah dibuat Dulai di Sibuhuan, di rumah ayah R.D. Nasution, penduduk Sibuhuan melontarkan kemarahannya. Ada yang bergolok ada juga yang memegang pentungan. Polisi dapat menguasai keadaan. Tapi berbagai makian penduduk hinggap juga di telinga Dulai. Ada yang bilang penipu, syekh porno dan dukun cabul. Dulai, bertampang dukun tinggi besar dan gagah itu, hanya menundukkan kepala. "Saya sesat ketika setua ini.... apa kah saya dapat bertobat?" katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus