SUATU ketika dukun Muh. S. Dulai berkata kepada pasiennya:"Nah,
ini soal yang sulit. Terpaksa harus disampaikan langsung, tanpa
perantara. Untuk itu saya terpaksa naik buraq." Sang dukun, 56
tahun, adalah penduduk Kampung Bakaran Batu, 1 km di luar
Kotapinang (Kabupaten Labuhan Batu -- Sumatera Utara). Kliennya,
seorang penjabat kepolisian berpangkat perwira menengah yang tak
ingin kedudukannya digeser dari Rantau Prapat, menjawab pilu.
"Sekarang mana ada buraq, tuan?" Eh, "buraq itu 'kan di zaman
nabi. Kalau di zaman kemajuan sekarang ini kita pakai saja yang
mirip buraq." Apa itu? "Vespa! "
Tanpa berfikir, apakah hubungannya antara 'burung buraq',
kendaraan rasul ketika mikraj, dengan skuter buatan Itali,
penjabat itu segera saja mengirimi mbah dukun sebuah Vespa.
Walaupun, akhirnya, dengan buraq zaman sekarang itu dukun Muh.
S. Dulai tak dapat mencegah penggeseran dinas si pasien.
Taroklah Dulai itu memang dukun palsu. Tapi, bukankah pasiennya,
yang berbondong-bondong berdatangan, juga orang yang tak gampang
dibodohi? Buktinya, masih ada penjabat kepolisian lain dari
daerah Dairi, penjabat penting Kantor P & K Labuhan Batu yang
bertitel drs, penjabat-penjabat kelas sedang (yang datang ke
Kampung Bakaran Batu dengan mobil dinas). Belum lagi ratusan
rakyat biasa sekitar Medan, Asahan sampai Tapanuli.
Namun, akhirnya tiba juga saatnya bagi sang dukun untuk
mengakhiri petualangannya. Yaitu setelah penyelewengannya yang
paling hebat terbong kar. Sejak 11 Maret lalu ia mulai meringkuk
dalam tahanan kepolisian. Kisahnya begini.
Zul & Nyonya
Zul Siregar (21) belum lama menikah dengan R.D. Nasution (16).
Mereka tinggal di Sibuhuan, Tapanuli Selatan. Ketika Nyonya Zul
mulai hamil, bencana menimpa keluarga muda ini. Yaitu mendadak
sang suami hilang kejantanannya. Orang sana bilang: "mati
pucuk". Sudah ikhtiar ke berbagai dukun tak ada hasilnya. Hal
itu membuat pasangan belia itu menjadi serba salah. Cekcok tak
keruan.
Nama dukun Muh. S. Dulai yang tenar mengundang Zul ke
Kotapinang, 200 km dari kampungnya. Diantar oleh ayahnya,
Japonso Siregar, Desember lalu, Zul menghadap dukun yang
menjuluki dirinya sebagai 'syekh'. Lalu oleh sang dukun, pasien
dari Sibuhuan itu langsung dihadapkan kepada 'nabi Khaidir'.
"Semua yang dikatakannya nanti harus dipenuhi," begitu nasehat
dukun. "Kalau tidak bisa celaka."
Yang disebut Khaidir, berjubah dan bersorban putih, bersemayam
di kamar gelap di salah sebuah ruangan rumah dukun Dulai.
Tampangnya tak kelihatan jelas. Sebab dibalut kain putih. Kedua
lengannya juga tertutup kain kuning.Upacara dimulai. Dukun,
mula-mula membakar kemenyan. Mulutnya komat-kamit. Makhluk
berjubah itu tiba-tiba menegang. Kemudian dukun Dulai
mengutarakan maksud penghadapannya kali ini. Sang nabi menjawab.
Perkataannya tak jelas. Seperti meracau saja. Lalu, entah
pingsan atau tertidur, nabi berjubah itu tergeletak.
Dan pemilik nabi (si dukun) kemudian menjelaskan maksud
Khaidir-nya. Katanya, Zul mengidap penyakit buatan bekas pacar
isterinya. Itu dapat disembuhkan asal memenuhi berbagai syarat
yang akan ditetapkan kemudian.Yang pertama Zul harus menyerahkan
uang Rp 10.000 sebagai pembeli ramuan berbagai jamu. Untuk lebih
tepatnya cara pengobatan, dukun sendiri perlu bertemu isteri
Zul, sebagai penelitian on the spot.
Para Fakir
Beberapa hari kemudian Dulai sudah berada di Sibuhuan. Tapi itu
belum cukup. Nyonya Zul harus dibawa langsung menghadap Khaidir.
Apa boleh buat, kedua pasien itu terpaksa menuruti perintah
dukunnya. Dari Khaidir keluar perintah: semua isi kantong harus
diserahkan kcpada dukun. Sebab Khaidir hanya mau mengobati para
fakir saja. Dari kantong Zul keluar uang Rp 27.000. Dari ayahnya
lebih dari Rp 80.000. Lalu seuntai kalung dan gelang emas
perhiasan Nyonya Zul juga dilolosi. Semuanya dipersembahkan
kepada pemilik Khaidir.
Setelah acara pelucutan kekayaan barulah upacara pengobatan
dimulai. Dukun sendiri yang memandikan suami isteri itu.
Keduanya harus telanjang bulat dan duduk saling bertolak
belakang. Dukun menyirami tubuh mereka dengan air kembang.
Sekujur tubuh digosok rata dengan berbagai bunga dan dedaunan.
Lalu keduanya dipersilakan tidur. Nyonya Zul ditempatkan di
sebuah kamar. Suaminya harus tidur dengan ayahnya di kamar lain.
Apa yang terjadi berikutnya barangkali sudah ada yang dapat
menebak. Menjelang subuh dukun Dulai mulai berpraktek yang
sebenarnya. Dengan ancaman dan atas nama Khaidir yang bersemayam
di kamar sebelah, Nyonya Zul dipaksa menuruti nafsu setan si
dukun. Esok paginya perintah-perintah Khaidir berikutnya mulai
datang: Zul harus merantau, mengasingkan diri, keluar dari
daerah sekitar Sumatera Utara selama 10 hari. Ayah Zul juga
harus kembali ke Sibuhuan. Dan setiap waktu Nyonya Zul harus
bersedia meladeni kemauan dukun.
Ketika ayah kandung Nyonya Zul, Raja Hasayangan Nasution,
membezuk anaknya, tanpa malu-malu lagi dukun 'melamar'. Dia
bilang: sesungguhnya Nyonya Zul ini terkena semacam penyakit
yang berbahaya. Sebagai obatnya,begitu titah nabi Khaidir, ia
harus dikawininya. Tapi perempuan muda itu masih diperisteri
Zul? Oh, itu gampang. Perkawinannya "hanya untuk sementara
saja," sebagai ikhtiar pengobatan. Kepada Zul, setelah pulang
dari pengasing annya, juga dimintakan pengertian. Zul sulit
menolak perintah dukun ternama itu. Ia pun meneken sebuah surat
perceraian. Mahkamah Syariah di Rantau Prapat mengesahkan
perceraian cara begitu dengan talak satu (2 Pebruari).
Berikutnya menikahlah dukun tua bangka itu dengan R.D. Nasution.
Perempuan muda ini menjadi isteri ketiga.
Digugurkan
Berikutnya kisah ini pula. Begitu tahu kalau boru Nasution yang
baru dinikahinya itu hamil, dukun Dulai mulai berbuat lancang.
Tanggal 25 Pebruari dukun Dulai berada di rumah mertuanya. Pagi,
jam 9, isterinya dicekoki segelas air beramu-ramuan. Entah
ramuan macam apa. Tapi akibatnya berat. Perut isterinya jadi
mulas melintir. Sampai malam hari perempuan malang itu
menanggung derita hebat. Sementara suaminya, Dulai, terus
memijat-mijat perutnya keras-keras. Boru Nasution sampai
melolong tidak keruan. Seisi rumah gempar--tapi tak berani
mengusik kerja pak dukun Dulai.
Tengah malam barulah ketahuan maksud dukun yang sebenarnya.
Kandungan boru Nasution gugur. Ayah perempuan itu sendiri yang
diperintah dukun menguburkan janin di belakang rumah. Beberapa
hari kemudian, setelah keadaan anaknya makin payah, Raja
Hasayangan Nasution membawa anaknya ke dokter Puskesmas.
Jika tak ada yang mencegah niscaya kerja dukun Dulai ini akan
makin sewenang-wenang. Adalah Sahala Siregar, abang kandung Zul
yang tinggal di Kotapinang, mulai mencium ketidakberesan dukun
Dulai. Dia dapat mengumpulkan tiga orang yang pernah digarap
dukun yang sama. Malik Siregar, yang menghadap dukun untuk
ikhtiar memperoleh anak, kena gaet lumayan juga: sebuah sepeda
motor, seekor lembu, sehektar sawah dan 15 mayam emas. Rekannya,
Baginda Harahap, yang pernah minta restu Khaidir agar
dagangannya maju, telah terbujuk untuk menyerahkan kekayaannya
sekitar Rp 200.000. Sedangkan Pahlawan Harahap, yang minta
pusaka rantai babi, dikenai biaya oleh Khaidir sebanyak Rp
135.000.
Ayah Zul sendiri, Japonso Siregar, juga sudah mulai curiga.
Begini ceritanya. Suatu hari dukun Dulai menyarankan agar
Japonso membawa dua karung goni kosong menghadap Khaidir. Nanti
Khaidir akan mendrop uang sebanyak-banyaknya. Pokoknya akan
kembalilah semua uang yang pernah dikeluarkan sebagai biaya
pengobatan Zul. Tapi kali yang terakhir itu kepercayaan Japonso
kepada dukun Dulai sudah habis. Ia tak menuruti lagi perintah
Khaidir lewat Dulai.
Hut Pulungan
Hampir tengah malam, ketika seisi rumah tengah tidur, datanglah
Dulai dengan Khaidirnya mengetok-ngetok pintu rumah Sahala
Siregar--tempat Japonso menginap selama di Kotapinang. Dulai
mengancam seluruh keluarga Japonso akan celaka karena melanggar
perintah Khaidir. Khaidir sendiri juga mengeluarkan suara
kemarahannya. Nah, ketika Khaidir itu bersuara, anak dan menantu
Japonso, Sahala dan Ros Hasibuan, benar-benar yakin akan
kedustaan Dulai dengan Khaidirnya. Baik Sahala maupun isterinya
yakin mengenali siapa sesungguhnya Khaidir yang dibawa Dulai.
Tak lain orang yang mereka kenal juga: Hut Pulungan yang
sehari-hari bertugas sebagai Kepala Lorong Bakaran Batu.
Setelah yakin benar akan kepalsuan Dulai dan Khaidirnya, kelima
orang-Malik, Pahlawan, Baginda, Zul dan ayahnya--menghadap
polisi membuat laporan. Tanggal 11 Maret yang lalu setelah
berkonsultasi dengan berbagai pihak-maklum hendak menggerebek
seorang yang sudah terlanjur ternama --polisi menangkap Dulai.
R.D. Nasution diketemukan tergeletak di ranjang dalam keadaan
pingsan karena kesakitan yang gawat. Dalam penggeledahan
berikutnya polisi menemukan satu stel pakaian Khaidir dan
seperangkat pakaian hitam yang biasa digunakan Hut Pulungan jika
sedang berperan menjadi Hulubalang Sijumbe.
Mula-mula Dulai hendak memungkiri perbuatannya. Tapi keterangan
Pulungan yang polos membuatnya terdesak. Ia mengaku berasal dari
Tapanuli Selatan.Pernah empat tahun belajar agama di bidang ilmu
tarekat di Basilam. Tahun 1965 ia mulai tinggal di Bakaran Batu,
tempat kediamannya sekarang, dan mendirikan suluk Tarikat
Naksabandiyah Kholidin dan sebuah masjid untuk perguruannya.
Muridnya cukup banyak. "Saya semula memang lurus," katanya. Lalu
nabi Khaidir buatannya itu? Diakui itu memang akal-akalan saja.
Tapi kemudian banyak orang yang mempercayai. Nasehatnya sebagai
dukun disegani orang. Makin hari makin banyak saja orang meminta
berkah. Juga para pejabat penting dari berbagai daerah
ikut-ikutan mempercayainya. Salah siapa?
Kepada R.D. Nasution, isteri Zul, dia bilang memang jatuh cinta
beneran.'Dia memang cantik," katanya. Dia menggugurkan kandungan
isterinya, katanya, memang termasuk dalam rencananya. Ia
menganggap perkawinannya dengan R.D. Nasution, yang tengah
menghamili bayi Zul, tidak sah. Ia harus membereskan kandungan
dulu baru menikahi kembali boru Nasution agar segala sesuatunnya
jadi lebih beres.
Ketika polisi merekonstruksi berbagai kejadian yang pernah
dibuat Dulai di Sibuhuan, di rumah ayah R.D. Nasution, penduduk
Sibuhuan melontarkan kemarahannya. Ada yang bergolok ada juga
yang memegang pentungan. Polisi dapat menguasai keadaan. Tapi
berbagai makian penduduk hinggap juga di telinga Dulai. Ada yang
bilang penipu, syekh porno dan dukun cabul. Dulai, bertampang
dukun tinggi besar dan gagah itu, hanya menundukkan kepala.
"Saya sesat ketika setua ini.... apa kah saya dapat bertobat?"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini