Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YAYASAN Supersemar diwajibkan membayar ganti rugi lebih dari Rp 4 triliun kepada negara karena kalah di pengadilan. Kejaksaan Agung menggugatnya karena, alih-alih untuk beasiswa, uang dari keuntungan bank negara itu ditransfer ke perusahaan kroni mantan presiden Soeharto. Mahkamah Agung pun menghukumnya dengan denda sebesar itu pekan lalu.
Pendirian Yayasan Supersemar memang aneh sejak awal. Soeharto mendirikannya secara paksa. Anggotanya hanya 11 orang. Soeharto mengumpulkan 18 rektor perguruan tinggi dan meminta mereka memasukkan 100 nama mahasiswa sebagai penerima beasiswa pertama. Majalah Tempo mereportasekannya pada edisi 17 Agustus 1974:
"Adalah tugas kita semua untuk membuat semua orang Pancasilais sejati," berkata Presiden bulan lalu. Ini sehubungan dengan pertemuan antara Kepala Negara dan 18 rektor perguruan tinggi negeri se-Jawa. Soalnya ada seorang rektor yang menanyakan apakah Yayasan Supersemar—yang menawarkan beasiswa kepada tiap universitas dan institut negeri—juga memberikan beasiswa kepada anak-anak tahanan politik yang cerdas dan rajin. Pertanyaan ini sehubungan dengan persyaratan yang mencantumkan kriteria "Pancasilais sejati". Nah, Presiden menegaskan bahwa yayasan dilandasi oleh pandangan yang luas dan jauh ke muka. Ujar Presiden: "Belum tentu kalau bapaknya tapol, anaknya juga mesti tapol; atau bapaknya pencuri, anaknya lantas pencuri juga."
Dalam hubungan dengan tugas pemberian beasiswa tersebut, tiap perguruan tinggi diminta memasukkan nama 100 mahasiswa yang dinilai benar-benar memenuhi persyaratan. Kepada 18 rektor yang datang ke Bina Graha (UI, IKIP Jakarta—diwakili oleh Pembantu Rektor I—IPB, Unpad, ITB, IKIP Bandung, Unair, JTS, IKIP Surabaya, UGM, IKIP Yogyakarta, Universitas Diponegoro, IKIP Semarang, IKIP Surakarta, Universitas Brawijaya, IKIP Malang, Universitas Sudirulah Purwokerto, dan Universitas Jember), Presiden meminta mereka mengadakan penelitian untuk mendapat mahasiswa yang dimaksud—di samping juga meminta saran dari rektor sendiri. Misalnya bagaimana bentuk ikatan beasiswa itu, berapa lama akan diberikan, dan kepada mahasiswa tingkat berapa.
Yayasan sendiri bukan tidak punya persyaratan. Di samping Pancasilais sejati, yang mendapat beasiswa hanya yang pandai, rajin, berbakat, dan sudah tentu tidak mampu. Yayasan dapat memberi bantuan untuk satu tahun kuliah, tapi bila mahasiswa tersebut masih memenuhi syarat jangka bantuan dapat diperpanjang. Besar bantuan tidak melebihi gaji seorang sarjana—yang kini berkisar pada angka Rp 18 ribu sebulan. Yayasan juga memperhitungkan kondisi di mana perguruan tinggi itu berada, yang berakibat pada tingkat perbedaan harga. Jadi seperti cara menetapkan tarif SPP dulu. Maka mahasiswa Jakarta Raya, yang masuk rayon A, mendapat Rp 15.000; Bandung, Bogor, dan Surabaya (rayon B) memperoleh Rp 12.500; Yogyakarta, Semarang, Surakarta, dan Malang (rayon C) mendapat Rp 10.000; serta Jember dan Purwokerto (rayon D) hanya Rp 7.500—semuanya per bulan.
Adapun nama Supersemar memang sengaja dilekatkan pada badan amal itu, karena "sudah dikenal dan juga punya arti sejarah yang penting", kata Presiden, yang pasti mengingatkan orang pada peristiwa 11 Maret 1966. Pengurus yayasan yang diketuai Jenderal Soeharto itu bahkan berjumlah 11 orang juga—antara lain Thoyib Hadiwidjaja, Widjojo Nitisastro, Sudharmono, dan Ibnu Sutowo. Yayasan masih membuka kesempatan bagi anggota-anggota kehormatan dengan syarat bersedia memberi sumbangan Rp 100 juta minimal. Kelak beasiswa semacam ini juga ditujukan bagi murid SD, SLTP, SLTA, dan sekolah kejuruan.
Selaku Panglima Mandala, Soeharo sendiri pada 1962 sudah mendirikan Yayasan Yatim Piatu Trikora, yang membantu anak-anak yang orang tuanya gugur dalam hubungan dengan Trikora. Yayasan ini punya kapital Rp 50 juta—telah dimanfaatkan buat 484 anak yatim piatu kelompok ini. Pada 1980, yayasan akan berhenti karena diperkirakan anak-anak yang dibantu telah tamat. Pengalaman di yayasan yang satu inilah yang mendorong Presiden mendirikan Supersemar, dengan lingkup lebih luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo