Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahapan pemilihan umum kepala daerah serentak sudah dimulai, tapi audit Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan anggaran dan sumber daya manusia saat ini diyakini belum dapat mendukung proses itu. Salah satu yang dinilai belum siap adalah Mahkamah Konstitusi, karena belum menetapkan kesepakatan tata kerja (SOP) penyelesaian sengketa pilkada. Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, 59 tahun, membantah jika lembaganya disebut belum siaga. Menurut dia, semua aturan sudah dirancang dan tinggal menunggu diteken. "Secara konsep semuanya sudah jadi, cuma memang belum ditandatangani," katanya.
Arief menegaskan, nanti tak sembarang calon kepala daerah dalam pemilihan serentak boleh berkasus di Mahkamah Konstitusi. Hanya daerah dengan ambang selisih tertentu yang sengketanya bisa diputus hakim konstitusi. Sedangkan sengketa yang sifatnya administratif bakal diselesaikan lembaga lain, seperti Badan Pengawas Pemilu dan pengadilan tata usaha negara, sebelum bermuara di Mahkamah Konstitusi.
Hanya, menangani perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dalam pilkada serentak membuat kasus di Mahkamah Konstitusi tak menumpuk. Ini, menurut Arief, membuat Mahkamah Konstitusi jadi semacam mahkamah kalkulator karena memutus sengketa pilkada berdasarkan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum dan pihak beperkara. "Jadi nanti tugas kami akan lebih ringan," ujar Arief kepada wartawan Tempo Tulus Wijanarko dan Isma Savitri serta fotografer Dhemas Reviyanto Atmojo dalam wawancara yang berlangsung di ruang kerjanya di Mahkamah Konstitusi, Jumat pagi tiga pekan lalu.
Seperti apa implikasi pemilihan kepala daerah serentak terhadap sengketa yang ditangani Mahkamah Konstitusi?
Dengan adanya aturan baru, dan calon kepala daerahnya yang taat hukum dan tidak mencari-cari masalah, saya kira jumlah sengketa yang masuk ke MK tidak banyak karena sudah selesai pada tingkat sebelumnya. Tapi bisa saja si calon kepala daerah tetap merasa enggak mau kalah. Sebab, di Indonesia itu kan ada kultur "Saya malu kalau kalah di lapangan. Saya akan merasa puas kalau yang mengalahkan adalah MK". Jadi itu hanya masalah kehormatan. Padahal itu kultur hukum yang tidak mendukung proses demokratisasi dan penegakan hukum yang baik di Indonesia.
Sebelum ini, ada berapa persen dari pilkada langsung yang bermuara di MK?
Kalau pilkada dulu hampir semuanya berujung di MK.
Sengketanya soal apa saja?
Soal selisih suara. Kalau yang rasional atau bisa digugat kan semestinya yang selisihnya tipis karena bisa saja terjadi kekeliruan. Tapi kalau jaraknya jauh, ya, enggak mungkin (disebabkan oleh kekeliruan penghitungan). Tapi akhirnya beberapa calon kepala daerah juga tidak siap kalah di MK, lalu coba-coba mendekati hakim. Itu berujung pada kekeliruan di MK yang menyangkut ketua kami dulu.
Dalam undang-undang yang sekarang, yang bisa mengajukan gugatan ke MK adalah daerah dengan ambang selisih tertentu. Dengan demikian, ada batasan untuk tidak membawa sengketa selisih suara ke MK. Ini fungsi hukum yang mengondisikan para pasangan agar legowo dan siap kalah.
Dan hakim MK jadi tidak kewalahan menangani perkara....
Bukan masalah itu, melainkan masalah ongkos yang dikeluarkan banyak pihak, baik yang dikeluarkan negara maupun calon kepala daerah. Kita harus efisien. Kalau kita bernegara enggak efisien dan efektif, untuk apa? Semua pihak keluar banyak energi hanya untuk masalah ini. Padahal itu bisa kita pakai untuk membenahi bidang yang lain.
Selain itu, undang-undang yang sekarang sudah membatasi sejumlah masalah agar diselesaikan di tingkat di bawah MK. Misalnya untuk masalah administratif diselesaikan di Panwas dan Bawaslu. Lalu ada masalah yang diselesaikan oleh Penegakan Hukum Terpadu dan ada pula yang ditangani pengadilan tata usaha negara. Baru untuk PHPU—perselisihan hasil pemilihan umum—masuk ke Mahkamah. Jadi sebetulnya sudah ada filter sehingga kita harapkan tidak banyak kasus yang sampai ke MK.
Bagaimana dengan instrumen pengawasan supaya tidak terjadi penyimpangan penyelesaian PHPU?
Saya sudah menyiapkan itu. Termasuk sistemnya, dari bagaimana cara pendaftaran di MK sampai penanganan perkaranya. Kalau sudah selesai—sudah pasti dan saya tanda tangani Agustus ini—kemudian akan kami sosialisasi.
Bagaimana mencegah upaya calon yang kalah bermain di MK dengan mendekati hakim konstitusi?
Ini ada mekanisme. Saya juga menyiapkan itu. Nanti perangkat tersebut akan disosialisasi ke Komisi Pemilihan Umum, calon kepala daerah, dan tim suksesnya. Salah satu materi sosialisasi bertujuan mencegah jangan sampai ada suap. Dalam sosialisasi ini, saya juga mengundang KPK memberi ceramah agar jangan sampai ada pasangan calon yang "bermain-main". Dengan KPK, kami sudah punya nota kesepahaman (MOU). Selain itu, kami akan mengundang KPK menempatkan personelnya untuk mengawasi di MK.
Mengawasi persidangan?
Dalam proses persidangan. Selain KPK yang unsur eksternal, kami sudah punya Dewan Etik, yang selama ini mengawasi hakim secara independen. Nah, untuk pegawai dan panitera juga ada dewan etiknya. Jadi ada pengawas dari KPK, Dewan Etik, sehingga kami berharap bisa lebih baik dalam menyelesaikan kasus-kasus pilkada di MK. Kami menjaga jangan sampai terulang seperti yang lalu.
Ada hakim MK yang berasal dari unsur partai politik. Bukankah mereka rawan konflik kepentingan?
Hakim MK kan diisi oleh tiga orang dari MK, tiga dari DPR, dan tiga dari presiden. Sedangkan syarat pertamanya adalah negarawan. Maka kalau dia berasal dari partai politik, saat menjadi hakim MK, ya, hal-hal partisan harus ditinggalkan.
BPK mengeluarkan hasil audit terhadap Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan belum ada SOP di MK dalam penyelesaian sengketa pilkada.
Oh, enggak itu. Karena ini masih bergeser. Bersama teman di MK, seluruh standar operasional yang dipakai sudah kami siapkan. Secara konsep semuanya sudah jadi, cuma memang belum ditandatangani. Kami masih merencanakan penyelesaiannya dalam 45 hari, tapi kemudian ada evaluasi yang mempertanyakannya sehingga menawarkan opsi 60 hari. Tapi kami menjalankan undang-undang. Kalau memang 45 hari, kami sudah siap.
Selama ini sebagian putusan MK memuat adanya dugaan suap dalam proses pilkada. Mengapa ini tidak dilaporkan saja ke KPK?
Kalau model aturan yang sekarang, soal seperti itu sudah selesai di bawah, tidak sampai ke MK. Maka yang masuk di sini ya perkara PHPU. Nah, kalau yang lalu memang itu bukan kewenangan MK, melainkan Penegakan Hukum Terpadu. Kami enggak bisa apa-apa, kan. Tapi biasanya, di mana pun, termasuk di Indonesia, kalau persoalan pemilunya sudah selesai, persoalan yang lain juga dianggap selesai.
Mahkamah Konstitusi sempat disorot karena membikin putusan yang dianggap pro-politik dinasti terkait dengan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Apakah bagi MK putusan itu tidak malah mencederai demokrasi?
Ini saya bukan mengomentari putusan MK, ya, melainkan menjelaskan. Kita harus membaca utuh putusan tersebut. Pasal itu kan mengatakan "yang mempunyai konflik kepentingan dengan inkumben". Menurut kami, pasal itu mengandung ketidakpastian hukum. Memangnya yang disebut mempunyai konflik kepentingan dengan inkumben itu apa? Enggak jelas. Lalu kemudian dalam penjelasannya ditulis, yang dimaksud konflik kepentingan dengan inkumben adalah yang punya hubungan kekerabatan dalam garis lurus.
Sepertinya sikap Mahkamah Konstitusi soal hak konstitusional itu menjadi kode positif untuk daerah yang hanya punya satu calon tunggal.
(Tidak mau menjawab.) Pasal itu ibarat menggaruk yang tidak gatal. Yang gatal sebelah kiri, eh yang digaruk sebelah kanan. Ya tetap gatal.
Faktanya, di Indonesia, politik dinasti cenderung korup....
Itu persoalan lain. Malah ini bisa jadi pelajaran kepada masyarakat agar cerdas dalam memilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo