KETIKA mobil kepala merah dengan tangki kecil berwarna kelabu
milik DKI memasuki halaman kompleks Polri Pondok Karya (Jakarta
Selatan), beberapa orang yang melihatnya langsung tutup hidung.
Padahal mobil itu belum mengeluarkan apa-apa. Artinya, mobil
tersebut masih bersih, belum menyedot tinja dan baru akan
memulai tugasnya yang rutin.
"Ini masih belum apa-apa, Pak," nyeletuk Abdul Rochim. Umurnya
baru 19 tahun, karena tak ada pilihan kerja lain, dia bisa
terpakai sebagai crew mobil tinja tersebut. Tambah Rochim lagi:
"Malahan anak-anak sering ngeledek: mobil tahik, mobil tahik!
Makannya apa? Tahik! Badannya bau apa? Bau tahik! Apa ini tidak
keterlaluan?." Rochim jengkel, teman-teman Rochim kesal, tapi
apa mau dikata. Sebab Rochim akhirnya mengaku: "Habis, mau apa
lagi. Kita 'kan kerjanya memang begitu."
Rata-rata tiap bulan, ada sekitar 3.500 meter kubik tinja
disedot oleh mobil tinja milik DKI. Ini berlaku bagi mereka yang
bisa hidup secara layak di Jakarta. Artinya, punya rumah yang
genah dengan sistim buang air besar yang rapi pula. Berapa
prosen penduduk Jakarta memiliki kakus yang celengannya bisa
dikuras?
Perhitungan kasar dari Kepala Bagian Tinja DKI, Djazuli,
demikian. Sekitar 50% penduduk Jakarta yang tinggal di pinggiran
kota, tidak memiliki bak tinja atau septikteng. Artinya, mereka
membuang hajatnya di mana saja, sesuka hati. Boleh di kali, di
semak atau di sawah. Sckitar 30% penduduk Jakarta tinggal di
jalan-jalan kecil dan padat penduduk yang biasanya disebut rumah
di gang-gang. Dari penghuni gang ini, hanya 40% yang memiliki
bak tinja. Sisanya, toh ada kakus umum, got atau kakus yang
tidak memenuhi syarat. Dari yang 40% ini saja, tidak semuanya
bisa diberi pelayanan sedot tinja. Sebab kalau letak rumah
kelewat di dalam, mobil tak bisa masuk, mau bikin apa? Semakin
panjang memasang slang, semakin besar kemungkinan kompresor
penyedot cepat rusak. Kata Djazul: "Kompresor jadi panas dan
berkurang daya sedotnya." Nah, hanya 20% sajalah penghuni
Jakarta yang tinggal di rumah sempurna, mempunyai bak tinja dan
kakus yang memenuhi syarat.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Cece Rahman memperkirakan begini.
Kalau penduduk Jakarta berjumlah 5,5 juta orang. "Coba silakan
hitung sendiri,5,5 juta kali 200 gram," ujarnya. Tambahnya lagi:
"Sama dengan 1,1 juta kg. Jangan lupa, Jakarta dari menit ke
menit, selalu dikunjungi orang luar. Kemungkinan dia buang hajat
di Jakarta, 'kan tidak mustahil."
Sekarang Jakarta mempunyai 35 buah mobil tinja. Jumlah ini
dirasa cukup untuk melayani tinja warga yang dapat disedot. Dari
jumlah mobil tersebut, 20 buah berukuran kecil dengan kapasitas
muat 2 meter kubik. Sisanya, berukuran besar, dengan kapasitas 6
meter kubik.Biaya penyedotan setiap meter kubik ditarik Rp 1.000
ditambah lagi ongkos slang Rp 1.000. Mereka yang kebetulan
tinggal di rumah gedongan tapi di dalam gang, masih lagi harus
membayar uang tambahan slang. Slang mobil resminya cuma 20 meter
saja. Kalau mobil tak bisa berhenti di mulut pintu, pemesan
harus membayar Rp 1.000 sebagai uang tambah slang. Total
jenderal kalau yang tiba mobil tinja ukuran kecil, pemesan harus
membayar Rp 4,000 dengan ditanggung seluruh isi celengan pemesan
bersih dikuras.
Cece Rahman kemudian menceritakan sistim pengelolaan tinja
setelah diangkut dengan truk di luar negeri. Cece sudah meninjau
sistim kebersihan di seantero kota-kota besar di luar negeri.
Menurutnya di luar negeri ada sebuah alat - dia tidak
menyebutkan nama alat tersebut -- yang kerjanya memisahkan
kotoran (untuk kemudian dijadikan seringkas mungkin) dengan air
yang turut dalam kotoran tersebut. Biasanya setiap 5 rumah
tangga ada sebuah alat demikian.
DKI memang mempunyai alat demikian. Cuma sebuah saja, berada di
belakang kantor Cece di Cililitan. Rupanya alat tersebut cukup
mahal untuk ukuran Jakarta, biarpun cuma mempergunakan listrik
10 watt saja kalau alat itu bekerja. Alat yang cukup untuk 5
rumahtangga saja harganya setengah juta rupiah.Karena itu,
ibukota republik ini masih mempergunakan mobil tinja. Cuma ke
mana 3.500 meter kubik kotoran manusia itu dibuang?
"Ke kali dibuangnya," ujar Cece, "yang pasti ke kali yang tidak
begitu kelihatan orang banyak." Wah, mana ada kali di Jakarta
ini yang tidak bisa tampak oleh orang? Cece tidak mau
menyebutkan kali mana yang sepi oleh manusia. Tak pelak lagi,
beberapa bulan yang lalu ada seorang penduduk protes lewat surat
pembaca sebuah koran. Karena kali kecil dekat tempat tinggalnya
di Cipinang Muara, telah jadi sasaran pembuangan tinja dari
celengan rumah penduduk, cuma lewat perut mobil tinja, terus
dilempar lagi ke kali dekat rumahnya.
Kopi Dan Minyak Tanah
Membuang kotoran dari mobil tinja ke kali tidak banyak makan
waktu. Paling banter, 5 menit selesai. Dan bau yang keluar pun
tidak begitu menusuk hidung, mungkin karena tempat pembuangan
cukup terbuka. Atau memang tidak ada hidung yang mencium di
seputar tempat itu. Untuk Jakarta bagian selatan dan timur,
pembuangannya memang di sepanjang kali yang sejajar dengan Jalan
Jakarta bypass. Lagi derah Kemayoran dan seputarnya, dengan
tenang bisa dibuang d sekitar Jembatan Merah atau kalau mau
lebih sip lagi tanpa dicaci penduduk, di ujung mulut kali
Ciliwung. Polusi atau pencemaran air laut, agaknya belum
difikirkan.
Untuk melayani permintaan penduduk, Dinas Kebersihan DKI sudah
cukup kewalahan. Biarpun sudah dibantu oleh beberapa perusahaan
yang kerjanya juga membersihkan kakus-kakus di Jakarta. Cuma
yang terakhir ini punya tarip lebih mahal, dan mungkin servisnya
lebih cepat. Drs. MA Chosim yang dalam iklan perusahaannya
selalu pasang merek "ahli wc", pasang tarip Rp 2.500 tiap meter
kubik. tambah lagi ketentuan lain minimal harus menyedot 4
meter kubik tinja, tambah uang slang pula Rp 2.000. Tapi Chosim
sendiri tidak memiliki armada truk tinja. Dia menyewa lagi dari
Dinas Kebersihan DKI, sebab itulah harganya lebih mahal. Dia
bahkan melayani luar kota segala, seputar Jakarta, seperti
Karawang, Bekasi atau Bogor. Tarip untuk luar Jakarta lebih
mencekek leher lagi, Rp 6.000 per meter kubik, minimal pemesan
harus memiliki 6 meter kubik!
Suwito yang letak perusahaannya di Kebayoran, juga demikian. Ia
begitu saja mencegat mobil tinja DKI. Istilahnya "Berurusan
saja dengan supir tinja." Beres. Suwito kemudian bayar saja
sama supir seharga tarif DKI. Diserahkan atau tidak ke kas DKI,
"itu urusan supir," ujar Suwito. Sering Suwito mendapat order
sehari sebanyak tiga kali. Tak heran jika dalam waktu 2 bulan
saja bergerak dalam urusan tinja, Suwito sudah bisa membeli
sepeda motor. Pengalamannya pun cukup lama. Suwito bekerja 21
tahun sudah untuk urusan ini. Karena sudah merasa sangat ahli,
dia menyebut dirinya "ahli wc" pula seperti Chosim.
"Dan bukannya tidak ada bahaya untuk menyedot beginian ini,"
ujar Suwito. Sebab ada seorang anak buahnya yang mati lemas
ketika berada dalam bak. Servis yang diberikan Suwito untuk
pemesannya adalah sang anak buah (dan sering dia sendiri) masuk
langsung ke bak yang sudah selesai dikuras. Agar yang punya
celengan puas, bahwa celengannya betul-betul sudah dikuras.
Ludas.
Untuk menghindari mati lemas dalam bak begituan, biasanya Suwito
mencoba memasukkan seekor ayam atau kelinci ke dalam bak
dulu. Atau api. kalau ayam, kelinci atau api tetap hidup dalam
bak, biarpun bau, udara di situ pasti sip. "Ada pula yang bak
tinjanya disiram air accu," ujar Suwito. Entah sebab ceroboh
atau biar lebih sip, pemilik rumah selalu membuang air accu yang
jahat itu ke dalam bak. Untuk menghindari bahaya demikian,
Suwito yang sudah profesor dalam hal ini, mempunyai resep cukup
jitu. Yaitu campurkan 1/4 kg kopi dengan 1 liter minyak tanah.
Oleskan ke tubuh yang akan berjibaku ke dalam bak dan sisanya
siramkan ke dalam bak. "Biar ada apa saja di dalam bak, pasti
selamat," kata Pak Wito ini.
Sedot Terus, Ngotot
Cerita di atas bukan berarti bahwa pegawai-pegawai atau "crew"
mobil tinja yang di bawah naungan DKI, merosot dalam servis.
Seperti misalnya diakui oleh Sukardi (35 tahun) yang merangkap
jadi supir dan juga awak "Dulu memang kami sering dihadang di
tengah jalan, baik oleh orang gedongan atau yang punya
perusahaan. Sekarang sih tidak. Biasanya, saya silakan lapor ke
DKI. Sebab saya takut, karena uang Rp 2.000 saya dipecat. Kalau
lapor hari ini, sekarang bisa juga dikerjakan hari ini. "
Dia bercerita pula, ada pemesan yang baik hati memberi uang
ekstra misalnya Rp 500 sebagai uang rokok. Jumlah itu untuk
seluruh awak. Biasanya, Sukardi bertanya dulu, uang lebih ini
apa maksudnya. "Kalau tuan rumah berkata tidak ada maksud
apa-apa, cuma rasa kasihan, saya terima. Itu namanya kasih tanpa
ikatan apa-apa." Sukardi sendiri telah bekerja selama 14 tahun
di Bidang pembersihan ini. Mempunyai anak 5 orang, dengan gaji
Rp 19.500 sebulan. Sukardi sendiri cukup senang dan tenang
bekerja di Dinas Kebersihan. Yang dikuatirkannya hanya,
pendidikan anak-anaknya. Yang terbesar saja baru berusia 10
tahun, "padahal anak-anak saya rajin dan pinter," ujarnya.
Tapi tidak selamanya, para pekerja di Dinas Kebersihan ini
mendapat perlakuan manis. Ada rumah yang mentereng, tapi nyonya
rumahnya judes dan pelit. Jangan mengharap segelas air es,
bahkan sering antara "crew" tinja dan nyonya rumah saling
ngotot. Isi celengan sudah terkuras tabung pengukur sudah
menunjukkan titik tertinggi, nyonya rumah masih ngotot
mengatakan isi bak belum terkuras semua.
Belum lagi kalau mencari alamat tidak ketemu. Ada pula yang
sudah ketemu alamat rumahnya, tapi penghuni tidak tahu di mana
letak bak tinja. Biasanya mereka yang mengkontrak rumah orang
lain. Isi celengan penuh, tidak tahu di mana persisnya letak bak
pembuka celengan. Penghuni memaksa pegawai Dinas Kebersihan
untuk mencari ke sana-sini dengan cangkul. Padahal, hal beginian
tidak termasuk tugasnya.
Kalau hanya diledek anak-anak kecil, ini diangap biasa. Namanya
juga anak kecil. "Mobil tahik, bau ! Bau ! Bau!," seru
anak-anak. Biasanya mereka tidak peduli akan ucapan ini. Setelah
merapikan letak mobil, kemudian menurunkan slang yang
berdiameter 7 cm itu, untuk disambung-sambung. Belum sampai ke
lubang tujuan, sekitar 10 anak kecil datang mengganggu dengan
main ular-ularandi seputar slang. Sambil bernyanyi setengah
berteriak "Ular tahik panjangnya, bukan kepalang," dan
kaki-kaki kecil itu meliuk-liuk di antara slang. Mereka jengkel.
Kerja yang serba kotor dengan gaji yang kecil ini biasanya
diakhiri dengan gertakan: "Hei, anak-anak minggir! Entar kesedot
lu !. " Anak-anak kemudian menyingkir. Tapi dari mulut mereka
tak urung keluar lagi: "Hei, bau! Bau! Bau!.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini