Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Akhirnya Ke Sungai Juga

Penduduk Jakarta yang kakusnya penuh dapat melapor ke dinas kebersihan DKI untuk disedot tinjanya. Kotoran dari mobil tinja kemudian dibuang ke kali. Sekilas pengalaman petugas pembersih tinja. (ils)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA mobil kepala merah dengan tangki kecil berwarna kelabu milik DKI memasuki halaman kompleks Polri Pondok Karya (Jakarta Selatan), beberapa orang yang melihatnya langsung tutup hidung. Padahal mobil itu belum mengeluarkan apa-apa. Artinya, mobil tersebut masih bersih, belum menyedot tinja dan baru akan memulai tugasnya yang rutin. "Ini masih belum apa-apa, Pak," nyeletuk Abdul Rochim. Umurnya baru 19 tahun, karena tak ada pilihan kerja lain, dia bisa terpakai sebagai crew mobil tinja tersebut. Tambah Rochim lagi: "Malahan anak-anak sering ngeledek: mobil tahik, mobil tahik! Makannya apa? Tahik! Badannya bau apa? Bau tahik! Apa ini tidak keterlaluan?." Rochim jengkel, teman-teman Rochim kesal, tapi apa mau dikata. Sebab Rochim akhirnya mengaku: "Habis, mau apa lagi. Kita 'kan kerjanya memang begitu." Rata-rata tiap bulan, ada sekitar 3.500 meter kubik tinja disedot oleh mobil tinja milik DKI. Ini berlaku bagi mereka yang bisa hidup secara layak di Jakarta. Artinya, punya rumah yang genah dengan sistim buang air besar yang rapi pula. Berapa prosen penduduk Jakarta memiliki kakus yang celengannya bisa dikuras? Perhitungan kasar dari Kepala Bagian Tinja DKI, Djazuli, demikian. Sekitar 50% penduduk Jakarta yang tinggal di pinggiran kota, tidak memiliki bak tinja atau septikteng. Artinya, mereka membuang hajatnya di mana saja, sesuka hati. Boleh di kali, di semak atau di sawah. Sckitar 30% penduduk Jakarta tinggal di jalan-jalan kecil dan padat penduduk yang biasanya disebut rumah di gang-gang. Dari penghuni gang ini, hanya 40% yang memiliki bak tinja. Sisanya, toh ada kakus umum, got atau kakus yang tidak memenuhi syarat. Dari yang 40% ini saja, tidak semuanya bisa diberi pelayanan sedot tinja. Sebab kalau letak rumah kelewat di dalam, mobil tak bisa masuk, mau bikin apa? Semakin panjang memasang slang, semakin besar kemungkinan kompresor penyedot cepat rusak. Kata Djazul: "Kompresor jadi panas dan berkurang daya sedotnya." Nah, hanya 20% sajalah penghuni Jakarta yang tinggal di rumah sempurna, mempunyai bak tinja dan kakus yang memenuhi syarat. Kepala Dinas Kebersihan DKI Cece Rahman memperkirakan begini. Kalau penduduk Jakarta berjumlah 5,5 juta orang. "Coba silakan hitung sendiri,5,5 juta kali 200 gram," ujarnya. Tambahnya lagi: "Sama dengan 1,1 juta kg. Jangan lupa, Jakarta dari menit ke menit, selalu dikunjungi orang luar. Kemungkinan dia buang hajat di Jakarta, 'kan tidak mustahil." Sekarang Jakarta mempunyai 35 buah mobil tinja. Jumlah ini dirasa cukup untuk melayani tinja warga yang dapat disedot. Dari jumlah mobil tersebut, 20 buah berukuran kecil dengan kapasitas muat 2 meter kubik. Sisanya, berukuran besar, dengan kapasitas 6 meter kubik.Biaya penyedotan setiap meter kubik ditarik Rp 1.000 ditambah lagi ongkos slang Rp 1.000. Mereka yang kebetulan tinggal di rumah gedongan tapi di dalam gang, masih lagi harus membayar uang tambahan slang. Slang mobil resminya cuma 20 meter saja. Kalau mobil tak bisa berhenti di mulut pintu, pemesan harus membayar Rp 1.000 sebagai uang tambah slang. Total jenderal kalau yang tiba mobil tinja ukuran kecil, pemesan harus membayar Rp 4,000 dengan ditanggung seluruh isi celengan pemesan bersih dikuras. Cece Rahman kemudian menceritakan sistim pengelolaan tinja setelah diangkut dengan truk di luar negeri. Cece sudah meninjau sistim kebersihan di seantero kota-kota besar di luar negeri. Menurutnya di luar negeri ada sebuah alat - dia tidak menyebutkan nama alat tersebut -- yang kerjanya memisahkan kotoran (untuk kemudian dijadikan seringkas mungkin) dengan air yang turut dalam kotoran tersebut. Biasanya setiap 5 rumah tangga ada sebuah alat demikian. DKI memang mempunyai alat demikian. Cuma sebuah saja, berada di belakang kantor Cece di Cililitan. Rupanya alat tersebut cukup mahal untuk ukuran Jakarta, biarpun cuma mempergunakan listrik 10 watt saja kalau alat itu bekerja. Alat yang cukup untuk 5 rumahtangga saja harganya setengah juta rupiah.Karena itu, ibukota republik ini masih mempergunakan mobil tinja. Cuma ke mana 3.500 meter kubik kotoran manusia itu dibuang? "Ke kali dibuangnya," ujar Cece, "yang pasti ke kali yang tidak begitu kelihatan orang banyak." Wah, mana ada kali di Jakarta ini yang tidak bisa tampak oleh orang? Cece tidak mau menyebutkan kali mana yang sepi oleh manusia. Tak pelak lagi, beberapa bulan yang lalu ada seorang penduduk protes lewat surat pembaca sebuah koran. Karena kali kecil dekat tempat tinggalnya di Cipinang Muara, telah jadi sasaran pembuangan tinja dari celengan rumah penduduk, cuma lewat perut mobil tinja, terus dilempar lagi ke kali dekat rumahnya. Kopi Dan Minyak Tanah Membuang kotoran dari mobil tinja ke kali tidak banyak makan waktu. Paling banter, 5 menit selesai. Dan bau yang keluar pun tidak begitu menusuk hidung, mungkin karena tempat pembuangan cukup terbuka. Atau memang tidak ada hidung yang mencium di seputar tempat itu. Untuk Jakarta bagian selatan dan timur, pembuangannya memang di sepanjang kali yang sejajar dengan Jalan Jakarta bypass. Lagi derah Kemayoran dan seputarnya, dengan tenang bisa dibuang d sekitar Jembatan Merah atau kalau mau lebih sip lagi tanpa dicaci penduduk, di ujung mulut kali Ciliwung. Polusi atau pencemaran air laut, agaknya belum difikirkan. Untuk melayani permintaan penduduk, Dinas Kebersihan DKI sudah cukup kewalahan. Biarpun sudah dibantu oleh beberapa perusahaan yang kerjanya juga membersihkan kakus-kakus di Jakarta. Cuma yang terakhir ini punya tarip lebih mahal, dan mungkin servisnya lebih cepat. Drs. MA Chosim yang dalam iklan perusahaannya selalu pasang merek "ahli wc", pasang tarip Rp 2.500 tiap meter kubik. tambah lagi ketentuan lain minimal harus menyedot 4 meter kubik tinja, tambah uang slang pula Rp 2.000. Tapi Chosim sendiri tidak memiliki armada truk tinja. Dia menyewa lagi dari Dinas Kebersihan DKI, sebab itulah harganya lebih mahal. Dia bahkan melayani luar kota segala, seputar Jakarta, seperti Karawang, Bekasi atau Bogor. Tarip untuk luar Jakarta lebih mencekek leher lagi, Rp 6.000 per meter kubik, minimal pemesan harus memiliki 6 meter kubik! Suwito yang letak perusahaannya di Kebayoran, juga demikian. Ia begitu saja mencegat mobil tinja DKI. Istilahnya "Berurusan saja dengan supir tinja." Beres. Suwito kemudian bayar saja sama supir seharga tarif DKI. Diserahkan atau tidak ke kas DKI, "itu urusan supir," ujar Suwito. Sering Suwito mendapat order sehari sebanyak tiga kali. Tak heran jika dalam waktu 2 bulan saja bergerak dalam urusan tinja, Suwito sudah bisa membeli sepeda motor. Pengalamannya pun cukup lama. Suwito bekerja 21 tahun sudah untuk urusan ini. Karena sudah merasa sangat ahli, dia menyebut dirinya "ahli wc" pula seperti Chosim. "Dan bukannya tidak ada bahaya untuk menyedot beginian ini," ujar Suwito. Sebab ada seorang anak buahnya yang mati lemas ketika berada dalam bak. Servis yang diberikan Suwito untuk pemesannya adalah sang anak buah (dan sering dia sendiri) masuk langsung ke bak yang sudah selesai dikuras. Agar yang punya celengan puas, bahwa celengannya betul-betul sudah dikuras. Ludas. Untuk menghindari mati lemas dalam bak begituan, biasanya Suwito mencoba memasukkan seekor ayam atau kelinci ke dalam bak dulu. Atau api. kalau ayam, kelinci atau api tetap hidup dalam bak, biarpun bau, udara di situ pasti sip. "Ada pula yang bak tinjanya disiram air accu," ujar Suwito. Entah sebab ceroboh atau biar lebih sip, pemilik rumah selalu membuang air accu yang jahat itu ke dalam bak. Untuk menghindari bahaya demikian, Suwito yang sudah profesor dalam hal ini, mempunyai resep cukup jitu. Yaitu campurkan 1/4 kg kopi dengan 1 liter minyak tanah. Oleskan ke tubuh yang akan berjibaku ke dalam bak dan sisanya siramkan ke dalam bak. "Biar ada apa saja di dalam bak, pasti selamat," kata Pak Wito ini. Sedot Terus, Ngotot Cerita di atas bukan berarti bahwa pegawai-pegawai atau "crew" mobil tinja yang di bawah naungan DKI, merosot dalam servis. Seperti misalnya diakui oleh Sukardi (35 tahun) yang merangkap jadi supir dan juga awak "Dulu memang kami sering dihadang di tengah jalan, baik oleh orang gedongan atau yang punya perusahaan. Sekarang sih tidak. Biasanya, saya silakan lapor ke DKI. Sebab saya takut, karena uang Rp 2.000 saya dipecat. Kalau lapor hari ini, sekarang bisa juga dikerjakan hari ini. " Dia bercerita pula, ada pemesan yang baik hati memberi uang ekstra misalnya Rp 500 sebagai uang rokok. Jumlah itu untuk seluruh awak. Biasanya, Sukardi bertanya dulu, uang lebih ini apa maksudnya. "Kalau tuan rumah berkata tidak ada maksud apa-apa, cuma rasa kasihan, saya terima. Itu namanya kasih tanpa ikatan apa-apa." Sukardi sendiri telah bekerja selama 14 tahun di Bidang pembersihan ini. Mempunyai anak 5 orang, dengan gaji Rp 19.500 sebulan. Sukardi sendiri cukup senang dan tenang bekerja di Dinas Kebersihan. Yang dikuatirkannya hanya, pendidikan anak-anaknya. Yang terbesar saja baru berusia 10 tahun, "padahal anak-anak saya rajin dan pinter," ujarnya. Tapi tidak selamanya, para pekerja di Dinas Kebersihan ini mendapat perlakuan manis. Ada rumah yang mentereng, tapi nyonya rumahnya judes dan pelit. Jangan mengharap segelas air es, bahkan sering antara "crew" tinja dan nyonya rumah saling ngotot. Isi celengan sudah terkuras tabung pengukur sudah menunjukkan titik tertinggi, nyonya rumah masih ngotot mengatakan isi bak belum terkuras semua. Belum lagi kalau mencari alamat tidak ketemu. Ada pula yang sudah ketemu alamat rumahnya, tapi penghuni tidak tahu di mana letak bak tinja. Biasanya mereka yang mengkontrak rumah orang lain. Isi celengan penuh, tidak tahu di mana persisnya letak bak pembuka celengan. Penghuni memaksa pegawai Dinas Kebersihan untuk mencari ke sana-sini dengan cangkul. Padahal, hal beginian tidak termasuk tugasnya. Kalau hanya diledek anak-anak kecil, ini diangap biasa. Namanya juga anak kecil. "Mobil tahik, bau ! Bau ! Bau!," seru anak-anak. Biasanya mereka tidak peduli akan ucapan ini. Setelah merapikan letak mobil, kemudian menurunkan slang yang berdiameter 7 cm itu, untuk disambung-sambung. Belum sampai ke lubang tujuan, sekitar 10 anak kecil datang mengganggu dengan main ular-ularandi seputar slang. Sambil bernyanyi setengah berteriak "Ular tahik panjangnya, bukan kepalang," dan kaki-kaki kecil itu meliuk-liuk di antara slang. Mereka jengkel. Kerja yang serba kotor dengan gaji yang kecil ini biasanya diakhiri dengan gertakan: "Hei, anak-anak minggir! Entar kesedot lu !. " Anak-anak kemudian menyingkir. Tapi dari mulut mereka tak urung keluar lagi: "Hei, bau! Bau! Bau!.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus