SETELAH merenung semalam tekadnya pun bulat. Ia harus pergi
mencari apa yang disebut 'nasionalisme'. dan pagi itu ia bangun
bergegas, menguak pintu serta buru buru turun ke jalan.
Pagi Hari
Di lapangan yang longgar berjajar banyak orang. Semua lelaki.
Pakaian mereka seragam coklat tua dengan baret kuning sewarna
dengan tali yang melingkar di pundaknya. Di dada tersemat sebuah
lambang keemasan. Sabuk hitam, dan sebilah belati terselip di
pinggang. Lalu berbarislah mereka menurut aba-aba, kemudian
keluar memenuhi jalan seperti sengaja.
Itulah laskar Pertahanan Sipil dalam langkah yang gagah.
Terpilih dari antara kaum lelaki baik tua atau muda di
kampung-kampung di segenap penjuru kota. Wajah mereka nampak
optimis. Sanggup membela keamanan kampung dari segala
marabahaya. Menegakkan keamanan dan ketertiban di seluruh
wilayah negeri. Segenap keluarga aman mereka jaga.
Samar-samar terasa bahwa sejak zaman dulu kala 'nasionalisme'
mesti dijaga dengan sebilah belati. Selalu ada musuh nasional
yang mengendap-endap siap melulur siapa saja yang lengah. Sebab
itu (sebagai nampak dalam langkah mereka): siapa butuh
nasionalisme harus pandai berbaris menyamakan langkah.Dan
menyandang belati demi kewaspadaan menjaga keamanan serta
keutuhan bangsa.
D lapangan lain ia lihat murid sekolah melakukan upacara
bendera Berkumpul rapi dalam pakaian serba putih. Di depan
mereka berdiri guru pria dan wanita. Di tengah ada tiang, tapi,
serta sang sangka Merah Putih terletak di atas meja. Tiga orang
murid tampil. Dua menarik tali dan satu memberi aba-aba
menyanyi. Dan bergemalah lagu kcbangsaan 'Indonesia Raya'.
Sampai sang saka terpancang di puncak tiang. Lagu pun usai.
Angin bertiup sebisanya mengibarkan bendera.
Pak Kepala membantah bahwa 'nasionalisme' di sekolahnya cuma
berupa aba-aba.
- 'Saya bukan kepala sirkus di sini. Nasionalisme tidak saya
ajarkan kepada murid melalui aba-aba, tapi lewat lagu yang
dinyayikan bersama!Sebelum mereka terlanjur tua dan lantas
ngotot, mereka harus punya rasa kebangsaan. Payah kalau semua
orang langsung mau berdebat tentang Pancasila misalnya, atau
rupa-rupa soal lainnya, tapi tak punya rasa sebangsa. Coba
pikir, hampir tak masuk di kepala. Bagaimana mungkin menghimpun
wilayah yang demikian luas. Pulau-pulau terpencar dalam jarak
yang amat jauh. Sementara patriotisme daerah nampaknya makin
menonjol Bagaiama Indonesia tak akan hancur suatu ketika kalau
pemudanya tak mengerti hal? .... tapi, para penggubah lagu yang
dulu banyak mendendangkan cintanya pada nusa dan bangsa,
sekarang ini seperti kehabisan ilham tak ada lagi nyanyian
baru . . . ' Lalu Pak Kepala diam tepekur.
Siang Hari
Dalam sebuah ruangan besar yang banyak tamunya.
a: Tuan dari negeri mana?
b: (Dari sebuah negeri yang jaya, sejak dahulu hingga sekarang).
a: Tuan bekerja apa di sini?
b: Manajer keuangan sebuah perusahaan besar.
a: Berapa untung tuan di sini dibanding dengan yang tuan dapat
di negeri tuan sana?
b: Untung kami cukup moderat. Hanya kira-kira lima kali lipat.
Perusahaan lain ada yang sampai sepuluh kali lebih.
a: Tentu tuan bekerja lima kali lebih berat di sini.
b: Tak selalu berarti demikian. Ini adalah masa panen dari
teknik yang kami ciptakan. Suatu masa panen yang amat panjang.
a: Mengapa tuan tak merasa cukup mengambil untung dua kali lipat
saja?
b: Pertanyaan tuan seharga ribuan dolar. Saya belum punya di
saku saya, maaf.
a: Bagaimana pendapat tuan mengenai negeri kami?
b: Ya, seperti liturgi yang biasa: Negeri tuan amat subur,
rakyatnya ramah-ramah, serta pemerintah yang baik. Masa depan
negeri tuan tergantung pada kemauan untuk bekerja lebih keras,
serta bantuan teknik . . .
Sore Hari
Duduk di trotoir seorang yang amat lanjut usia, menunggu barang
jualannya. Sayur-mayur, wortel, kacang dan hasil bumi lainnya.
Ia bangga menjadi pendatang di abad yang sekarang? ia orang
kelahiran abad 19. Kebanggaan akan umur yang 90 itu masih
ditambah 'Orang pasti tak percaya aku masin semuda dan sekuat
ini'. Sejak ia masih perjaka('ting-ting', katanya) sudah
merantau ke tanah Sumatera.
- 'Aku memang orang Jawa, lantaran aku lahir di sini. Orang
tuaku orang Caruban, Tapi pantaskah aku merasa hanya sebagai
orang Jawa, padahal aku makan hasil bumi yang menghidupi orang
Sumantrah? Darah dan dagingku ini sebenarnya adalah darah dan
dagingnya orang Sumantrah. Aku pulang ke Jawa karena aku tak
kuasa lagi menggarap tanah. Biarlah aku mati di sini, karena
lahir di sini. Aku mencintai tanah-air sebagai wujudnya yang
benar-benar dapat kuraba, yaitu tanah dan air. Kita tak bisa
hidup tanpa tanah dan air. Tanah dan air secara harafiah.
Mengertikah kamu? Sebab itu aku amat benci melihat orang
nenjual tanah. ltu sama dengan menjual nyawa!'.
Kearifan orang tua itu lurus. Tapi ia pun maklum ketika hanya
sedikit dari apa yang diingininya terlaksana semasa hiupnya .
Tengah Malam
Para pemuda bertengger di perempatan. Berpakaian berbagai rupa,
dengan merek berbagai pula.Bordir bunga, serta kata-kata dalam
bahasa sana terjahit di baju dan celana. Begitu pula bendera
dari negara manca terpampang di dada, punggung serta lengan
mereka.
Dua drum bekas minyak ditabuh bersama selentingan gitar. Lalu
memetik lagu yang selalu bernada tinggi, seolah hendak menyentak
sepi. Suara mereka tak pernah sampai. Setiap kali berakhir
dengan suara seperti lolongan panjang. Di bawah lampu jalan
kentara mulut mereka menganga.
Pulang, ayoh! Nasionalisme luka parah di sini. Panggil Hansip
dan laporkan kepada mereka di tempat ini ada ancaman terhadap
nasionalisme. Di sini masih ada penjajah!".
Lalu pulanglah ia. Setelah letih mencari 'nasionalisme'
sepanjang hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini