Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mencari "nasionalisme" dari pagi...

Para penggubah lagu yang dulunya banyak menciptakan lagu tentang cinta pada nusa dan bangsa, kini tidak ada lagi. para pemuda dengan bangga menggunakan pakaian yang ditempeli bendera & tulisan asing.

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH merenung semalam tekadnya pun bulat. Ia harus pergi mencari apa yang disebut 'nasionalisme'. dan pagi itu ia bangun bergegas, menguak pintu serta buru buru turun ke jalan. Pagi Hari Di lapangan yang longgar berjajar banyak orang. Semua lelaki. Pakaian mereka seragam coklat tua dengan baret kuning sewarna dengan tali yang melingkar di pundaknya. Di dada tersemat sebuah lambang keemasan. Sabuk hitam, dan sebilah belati terselip di pinggang. Lalu berbarislah mereka menurut aba-aba, kemudian keluar memenuhi jalan seperti sengaja. Itulah laskar Pertahanan Sipil dalam langkah yang gagah. Terpilih dari antara kaum lelaki baik tua atau muda di kampung-kampung di segenap penjuru kota. Wajah mereka nampak optimis. Sanggup membela keamanan kampung dari segala marabahaya. Menegakkan keamanan dan ketertiban di seluruh wilayah negeri. Segenap keluarga aman mereka jaga. Samar-samar terasa bahwa sejak zaman dulu kala 'nasionalisme' mesti dijaga dengan sebilah belati. Selalu ada musuh nasional yang mengendap-endap siap melulur siapa saja yang lengah. Sebab itu (sebagai nampak dalam langkah mereka): siapa butuh nasionalisme harus pandai berbaris menyamakan langkah.Dan menyandang belati demi kewaspadaan menjaga keamanan serta keutuhan bangsa. D lapangan lain ia lihat murid sekolah melakukan upacara bendera Berkumpul rapi dalam pakaian serba putih. Di depan mereka berdiri guru pria dan wanita. Di tengah ada tiang, tapi, serta sang sangka Merah Putih terletak di atas meja. Tiga orang murid tampil. Dua menarik tali dan satu memberi aba-aba menyanyi. Dan bergemalah lagu kcbangsaan 'Indonesia Raya'. Sampai sang saka terpancang di puncak tiang. Lagu pun usai. Angin bertiup sebisanya mengibarkan bendera. Pak Kepala membantah bahwa 'nasionalisme' di sekolahnya cuma berupa aba-aba. - 'Saya bukan kepala sirkus di sini. Nasionalisme tidak saya ajarkan kepada murid melalui aba-aba, tapi lewat lagu yang dinyayikan bersama!Sebelum mereka terlanjur tua dan lantas ngotot, mereka harus punya rasa kebangsaan. Payah kalau semua orang langsung mau berdebat tentang Pancasila misalnya, atau rupa-rupa soal lainnya, tapi tak punya rasa sebangsa. Coba pikir, hampir tak masuk di kepala. Bagaimana mungkin menghimpun wilayah yang demikian luas. Pulau-pulau terpencar dalam jarak yang amat jauh. Sementara patriotisme daerah nampaknya makin menonjol Bagaiama Indonesia tak akan hancur suatu ketika kalau pemudanya tak mengerti hal? .... tapi, para penggubah lagu yang dulu banyak mendendangkan cintanya pada nusa dan bangsa, sekarang ini seperti kehabisan ilham tak ada lagi nyanyian baru . . . ' Lalu Pak Kepala diam tepekur. Siang Hari Dalam sebuah ruangan besar yang banyak tamunya. a: Tuan dari negeri mana? b: (Dari sebuah negeri yang jaya, sejak dahulu hingga sekarang). a: Tuan bekerja apa di sini? b: Manajer keuangan sebuah perusahaan besar. a: Berapa untung tuan di sini dibanding dengan yang tuan dapat di negeri tuan sana? b: Untung kami cukup moderat. Hanya kira-kira lima kali lipat. Perusahaan lain ada yang sampai sepuluh kali lebih. a: Tentu tuan bekerja lima kali lebih berat di sini. b: Tak selalu berarti demikian. Ini adalah masa panen dari teknik yang kami ciptakan. Suatu masa panen yang amat panjang. a: Mengapa tuan tak merasa cukup mengambil untung dua kali lipat saja? b: Pertanyaan tuan seharga ribuan dolar. Saya belum punya di saku saya, maaf. a: Bagaimana pendapat tuan mengenai negeri kami? b: Ya, seperti liturgi yang biasa: Negeri tuan amat subur, rakyatnya ramah-ramah, serta pemerintah yang baik. Masa depan negeri tuan tergantung pada kemauan untuk bekerja lebih keras, serta bantuan teknik . . . Sore Hari Duduk di trotoir seorang yang amat lanjut usia, menunggu barang jualannya. Sayur-mayur, wortel, kacang dan hasil bumi lainnya. Ia bangga menjadi pendatang di abad yang sekarang? ia orang kelahiran abad 19. Kebanggaan akan umur yang 90 itu masih ditambah 'Orang pasti tak percaya aku masin semuda dan sekuat ini'. Sejak ia masih perjaka('ting-ting', katanya) sudah merantau ke tanah Sumatera. - 'Aku memang orang Jawa, lantaran aku lahir di sini. Orang tuaku orang Caruban, Tapi pantaskah aku merasa hanya sebagai orang Jawa, padahal aku makan hasil bumi yang menghidupi orang Sumantrah? Darah dan dagingku ini sebenarnya adalah darah dan dagingnya orang Sumantrah. Aku pulang ke Jawa karena aku tak kuasa lagi menggarap tanah. Biarlah aku mati di sini, karena lahir di sini. Aku mencintai tanah-air sebagai wujudnya yang benar-benar dapat kuraba, yaitu tanah dan air. Kita tak bisa hidup tanpa tanah dan air. Tanah dan air secara harafiah. Mengertikah kamu? Sebab itu aku amat benci melihat orang nenjual tanah. ltu sama dengan menjual nyawa!'. Kearifan orang tua itu lurus. Tapi ia pun maklum ketika hanya sedikit dari apa yang diingininya terlaksana semasa hiupnya . Tengah Malam Para pemuda bertengger di perempatan. Berpakaian berbagai rupa, dengan merek berbagai pula.Bordir bunga, serta kata-kata dalam bahasa sana terjahit di baju dan celana. Begitu pula bendera dari negara manca terpampang di dada, punggung serta lengan mereka. Dua drum bekas minyak ditabuh bersama selentingan gitar. Lalu memetik lagu yang selalu bernada tinggi, seolah hendak menyentak sepi. Suara mereka tak pernah sampai. Setiap kali berakhir dengan suara seperti lolongan panjang. Di bawah lampu jalan kentara mulut mereka menganga. Pulang, ayoh! Nasionalisme luka parah di sini. Panggil Hansip dan laporkan kepada mereka di tempat ini ada ancaman terhadap nasionalisme. Di sini masih ada penjajah!". Lalu pulanglah ia. Setelah letih mencari 'nasionalisme' sepanjang hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus