Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal Penempatan Sarjana Kesehatan Masyarakat
RASIO sarjana kesehatan masyarakat pada kebijakan 2005 sudah cukup baik, yakni 49 per 100 ribu penduduk. Entah kenapa pada 2015 diturunkan menjadi 13 per 100 ribu, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan 2015.
Padahal surat keputusan Menteri Kesehatan tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019 memprioritaskan tenaga kesehatan masyarakat tersedia di layanan primer. Bukan hanya kebijakan nasional, kebijakan daerah juga ikut-ikutan membuat peraturan upaya kesehatan masyarakat tanpa melibatkan sarjana kesehatan masyarakat sebagai tenaga kesehatan. Sebut saja Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Perda Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Tenaga Kesehatan.
Kedua perda itu tidak menyebutkan adanya sarjana kesehatan masyarakat sebagai tenaga kesehatan masyarakat yang ditempatkan di desa atau kelurahan bersama keempat jenis tenaga kesehatan lain. Yakinkah upaya kesehatan masyarakat akan berjalan baik dan lancar tanpa sarjana kesehatan masyarakat? Negeri ini sudah menyediakan puluhan ribu sarjana kesehatan masyarakat setiap tahun, jadi ini potensi emas yang sayang kalau tidak difungsikan. Berikan kesempatan dan kepercayaan untuk menyehatkan bangsa ini.
Belum lagi kalau kita lihat data pusat kesehatan masyarakat tahun 2016, sebanyak 89,5 persen dari 9.655 puskesmas di Indonesia belum memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan standar. Salah satu jenis tenaga kesehatan yang belum memenuhi itu adalah sarjana kesehatan masyarakat. Sebuah data tenaga kesehatan puskesmas 2014 di salah satu provinsi di Pulau Jawa mengungkap, setidaknya ada tiga kabupaten/kota tidak atau belum memiliki tenaga kesehatan masyarakat sama sekali (kosong) di semua puskesmasnya.
Jika Pulau Jawa dengan akses yang lebih baik saja masih demikian, lalu bagaimana dengan keadaan tenaga kesehatan masyarakat di luar Jawa?
Data yang dihimpun Kementerian Desa pada 2016 mengungkap, dari 28,7 juta penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 17,9 juta tinggal di desa; 14 persen dari 74.093 desa tidak memiliki sekolah dasar; 11 persen keluarga dari 50,6 juta keluarga yang tinggal di desa belum ada akses listrik; dan 32,5 persen dari 74.093 desa belum memiliki akses air bersih. Lalu 9,4 persen desa di Indonesia tidak memiliki sinyal telekomunikasi dan 14 persen desa dengan akses jalan yang buruk.
Desa sangat tertinggal mencapai 13.453 atau 18,25 persen, desa tertinggal ada 33.592 atau 45,57 persen, desa berkembang sebanyak 22.882 atau 31,04 persen, desa maju mencapai 3.608 atau 4,89 persen, dan desa mandiri hanya 0,24 persen. Data ini baru sebagian kecil yang merupakan sebuah fakta akan problem akses di masyarakat yang dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan masyarakat.
Sesungguhnya telah siap tenaga kesehatan yang dibekali pendidikan formal (sedikitnya empat tahun) dengan kompetensi tenaga teknis atau analis masalah kesehatan masyarakat; memiliki beberapa metode teknis membina perilaku dan memberdayakan masyarakat yang sehat ataupun yang sakit (bukan penyembuhan penyakit) untuk lebih sehat, kreatif, dan produktif; serta mampu melibatkan kerja sama lintas sektor baik pemerintah maupun swasta terkait guna menunjang terpenuhinya akses dan mutu layanan kesehatan, yaitu sarjana kesehatan masyarakat.
Kebijakan penempatan sarjana kesehatan masyarakat di desa/kelurahan tentu harus diimplementasikan secepat mungkin oleh semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan hak dasar hidup masyarakat, yaitu sehat. Bukan hanya itu, keberadaan sarjana kesehatan masyarakat juga dapat meningkatkan akses dan mutu layanan kesehatan masyarakat. Mari sehatkan setiap kebijakan kita demi masa depan anak-cucu kita.
Agus Samsudrajat S., SKM
Anggota Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo