Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Berita itu muncul di surat kabar Revolusioner Edisi 19 Agustus 1948. Isinya adalah suatu lukisan yang dramatis tentang pertemuan Bung Karno dengan Muso—tokoh Peristiwa Madiun—yang baru kembali dari Uni Soviet. "Bung Karno memeluk Muso, dan Muso memeluk Sukarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka yang menggambarkan kegembiraan itu." Hanya sebulan kemudian, peluk-cium tak lagi bersisa. Keduanya terlibat perang kata-kata di radio dan koran, yang mengawali Peristiwa Madiun 19 September 1948.
Bung Karno bilang, "Pilih Sukarno-Hatta atau Muso." Muso bilang, "Pilih Muso-PKI atau Sukarno-Hatta, yang antek imperialisme asing." Lalu, meletuslah peristiwa berdarah itu. Muso, Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, dan kawan-kawan tewas ditembak tentara pro-Republik. Revolusi dalam perspektif sejarah memang bisa menghadirkan aroma kekerasan, ihwal romantisisme, serta tumbuhnya rasa kemanusiaan sekaligus.
Buku ini merupakan salah satu upaya memperkaya pengetahuan kita tentang Peristiwa Madiun. Berasal dari skripsi sarjana, buku ini tampaknya ingin menarik "benang merah" antara Peristiwa Madiun dan pemogokan buruh pabrik goni, perkebunan rami dan kapas, selama 35 hari dari Mei hingga Juni 1948. Penulis terlihat ingin memperkuat hipotesis yang bersifat mainstream tentang Peristiwa Madiun, yakni bahwa pemogokan buruh Delanggu dan penolakan kesatuan-kesatuan tentara—termasuk Divisi Senopati di Solo—untuk dilikuidasi, sebagai konsekuensi pelaksanaan program reorganisasi-rasionalisasi Kabinet Hatta, merupakan awal dari strategi Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan PKI untuk memberontak.
Peristiwa Madiun punya banyak dimensi. Karena itu, upaya mendekati peristiwa Madiun dari perspektif sejarah lokal (Delanggu) dan sektoral (pemogokan buruh) ibaratnya meletakkan satu pigura gambar pada sebuah permainan (puzzle)
Seperti halnya berbagai momen sejarah penting di Indonesia, Peristiwa Madiun juga tak lepas dari pengaruh Amerika Serikat. D.C. Anderson dalam artikel The Military Aspects of the Madiun Affair, yang dia tulis untuk majalah Indonesia milik Universitas Cornell, edisi April 1976, memaparkan upaya AS memperkuat posisi Hatta dan TNI dalam menghadapi kekuatan sayap kiri di Indonesia. Dari perspektif sejarah yang kritis, John Easton dalam makalah Kisah Perjuangan Hatta 1948, yang dipresentasikan untuk seminar Sejarah Politik Asia Tenggara di Tokyo, Jepang, tahun 1987, menguraikan secara sistematis kondisi-kondisi yang mematangkan Peristiwa Madiun.
Sementara kedua tulisan di atas berada pada posisi yang "berseberangan" dengan karya sejarah mainstream tentang Peristiwa Madiun, hasil penelitian skripsi Soe Hok Gie (1997), Orang-Orang di Persimpangan Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun 1948, mencoba bersikap lebih obyektif. Melalui Hok Gie, kita jadi memahami beberapa detail tentang prakondisi "revolusi" Madiun yang kurang dieksplorasi oleh penulis buku ini. Hipotesis yang ingin dibangun oleh buku ini merupakan simplifikasi terhadap kerumitan dan keruwetan sebenarnya dari upaya merekonstruksi sejarah peristiwa itu sendiri.
Sebagai suatu karya sejarah pemogokan buruh, penulisnya cukup berhasil tatkala menjelaskan unsur-unsur bekerjanya moda produksi kapitalisme perkebunan di Delanggu; terbentuknya formasi sosial, atau struktur dari aktor-aktor yang terlibat di pabrik; serta sifat atau watak eksploitatif dari moda produksi yang terjadi di pabrik. Tapi, penambahan subjudul Sebuah Studi Awal dari Pemberontakan PKI Madiun—untuk memperkuat bangunan teori persiapan coup d'etat (kudeta) FDR/PKI—malah memunculkan persepsi yang berbeda.
Apa yang terjadi di Delanggu lebih merupakan refleksi kekecewaan terhadap kondisi kesulitan ekonomi yang dihadapi kaum buruh. Juga faktor psikologis karena hilangnya label heroisme dan revolusioner sebagai akibat politik Rera-nya Hatta. Satu pertanyaan: jika Peristiwa Madiun adalah kudeta, mengapa hari-hari berikutnya pemerintah mudah saja menangkapi ribuan anggota dan kader Sarbupri, FDR, dan PKI? Juga melucuti tentara yang pro-FDR/PKI? Jadi, Peristiwa Madiun lebih tepat disebut "stadsgreep" atau penguasaan kota. Tidak lebih.
Togi Simanjuntak, sejarawan dan peneliti ISAI, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo